Walisongo
dalam pengertian yang paling familiar oleh masyarakat Indonesia ialah wali
Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Siapa saja yang termasuk
dalam kelembagaan walisongo? Banyak versi. Agus Sunyoto mengemukakan anggota
walisongo yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Gunung Jati, Sunan Drajat, Syaikh Siti Jenar, Sunan Kudus, dan Raden Patah.
Sedangkan
Arman Arroisi menjelaskan biografi walisongo dengan anggota yang secara umum
kita telah mengetahui yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan
Kudus, dan Sunan Muria.
Manakah yang tepat? Kita di sini tidak bermaksud membahas yang demikian.
Walisongo
merupakan tokoh yang sangat fenomenal, sebab dengan berbagai tradisi, budaya,
dan kepercayaan orang-orang Nusantara yang sangat beragam, namun dapat
menyebarkan misi agama Islam dengan baik sehingga tidak menimbulkan konflik
secara frontal.
Pendekatan
yang digunakan oleh para wali dalam meng-Islamkan Nusantara perlu menjadi
pijakan intelektual. Sebab, bangunan atau konstruksi pemikiran sosial yang
dibalut dengan kebudayaan yang berkembang pesat di Nusantara justru menjadi
energi positif bagi para wali dalam berdakwah.
Berangkat
dari latar belakang itu, Konstruksi pemikiran sosial dan kebudayaan seperti
apakah yang digunakan oleh para Walisongo?
1. Teori
Konstruksi Sosial
Teori
Konstruksi Sosial merupaka bangunan teoritik
yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann.
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang
melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu
yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki
kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya
dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif
nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas
sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh
banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar
terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi
bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi
Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri
aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan
terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi.
Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas
Berger dan Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah
memperoleh lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial.
Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber,
Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann.
Hal
ini bukan bukan bermaksud mengidentifikasi konstruk pemikiran social walisongo
dengan tokoh-tokoh barat tersebut. Namun, komparasi dan korelasi antara
keilmuan masa kini.
2. Konstruksi
Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Walisongo
Tradisi dan
budaya yang berkembang di Nusantara ketika itu cukup beragam dengan banyaknya
macam-macam bentuk budaya, serta aliran kepercayaan sebelum Islam yang dibawa
oleh walisongo.
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap
kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan
mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan,
meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam.
Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana
dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan
lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup
bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar
belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah
kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan
berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja
mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai
Islam.
Dengan kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan
dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi
budaya yang dikembangkan oleh Walisongo, yakni aristektur masjid sebagai
representasi tatanan sosial egaliter,
wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan
kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.
1) Arsitektur
Masjid Representasi Tatanan Sosial Egaliter
Arsitektur masjid dapat dipandang sebagai bentuk
adopsi dari konsep masjid yang ada di Timur Tengah dengan vihara, pura, dan
candi. Setidaknya, ada tiga entitas arsitektur masjid yang perlu dielaborasi,
yakni atap masjid bersusun tiga, bentuk
mustaka, dan bentuk menara.
Model arsitektur masjid yang demikian itu tidak ditemukan
di negara asal Islam, yakni Saudi Arabia khususnya dan Timur Tengah pada
umumnya. Pertama, atap masjid yang tersusun dari atas tiga lapis
atap sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Agung Demak dan masjid-masjid
lainnya dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari pura. Dalam tradisi Hindu
yang syarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan
orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannya.
Pura beratap susun sebelas adalah pura yang
dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan), dan hanya boleh
digunakan untuk beribadah bagi para raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan
atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja atau
bangsawan, dan hanya digunakan untuk para raja dan bangsawan.
Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang
dibangun oleh rakyat biasa, dan digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Pura
model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan, tetapi ia dipergunakan
untuk ibadah rakyat jelata.
Mungkin sekali, Walisongo dengan sengaja
mengadopsi filosofi arsitektur Pura dengan atap bersusun tiga tersebut untuk membuat
rakyat jelata tidak canggung untuk bergabung di tempat tersebut.
Namun demikian, Walisongo tidak menjadikan masjid
dengan atap bersusun tiga tersebut hanya untuk para rakyat jelata, melainkan
untuk umat Islam secara keseluruhan, termasuk para bangsawan dan bahkan raja.
Di samping sebagai raja, Raden Patah juga sekali waktu menjadi imam di Masjid
Agung Demak yang diikuti oleh para bangsawan dan rakyat
jelata. Dengan demikian, Walisongo sebenarnya secara cultural telah berusaha
melakukan perombakan tatatan masyarakat yang kental dengan sistem kasta dan
status sosial menjadi masyarakat yang egaliter dan berkeadilan—yang merupakan
bagian dari esensi ajaran Islam.
Arsitektur masjid yang terdiri dari tiga atap
juga dapat diangap sebagai adopsi dari konsep arsitektur candi agama Budha. Dalam
filsafat Budha, candi yang terdiri dari tiga lantai merepresentasikan filsafat
perjalanan ruh manusia. Lantai pertama
sebagai representasi alam sebelum manusia; lantai
kedua sebagai representasi alam manusia; dan lantai ketiga sebagai representasi
alam pasca melewati lingkaran karma. Adapun stupa merupakan representasi
penyatuan ruh manusia dengan jiwa kosmik penggerak lingkaran karma. Masjid yang
beratap tiga lapis dengan puncaknya diletakkan mustaka dapat dilihat sebagai adopsi dari candi Budha tersebut.
Hanya saja, Islam memberikan penjelasan teologi
yang berbeda dari agama Budha. Dalam Islam, proses perjalanan ruh manusia dari
alam arwah ke alam dunia ke alam kubur, dan selanjutnya ke alam akhirat hanya
berlangsung sekali. Oleh karena itu, perbedaan yang paling mendasar adalah
bahwa Islam tidak mengenal adanya konsep reinkarnasi sebagaimana agama Budha.
Hal ini menunjukkan bahwa para Walisongo menyadari frame pemikiran masyarakat
tentang arsitektur tempat ibadah. Jadi, mereka mendekatkan ajaran teologi Islam
dengan menggunakan instrumen budaya yang telah ada, dan mengisinya dengan
ajaran Islam.
Pertanyaan yang kemudan muncul adalah apakah
desain arsitketur masjid dengan atap berlapis tiga tersebut lebih merupakan
adopsi dari arsitektur Pura atau atau Candi Budha? Dilihat dari filosofi dan
semangat budaya yang dibangun tampaknya penyesuaian dengan Pura lebih dekat
daripada penyesuaiannya dengan Candi Budha. Alasannya adalah ketika Islam
datang maka daerah-daerah yang menjadi sasaran dakwah Walisongo lebih banyak
terpengaruh oleh ajaran dan budaya Hindu daripada Budha. Selain itu, ide
persamaan harkat kemanusiaan yang diusung melalui simbolisasi penggunaan masjid
untuk semua umat tanpa melihat kelas sosial dipandang lebih dapat menyentuh
langsung hati masyarakat yang ketika itu sangat kental dengan sistem kasta
daripada konsep teologi kehidupan ataupun eskatologi yang biasanya akan
dibangun belakangan. Namun demikian, bisa jadi Walisongo mengadopsi kedua bentuk
tersebut, pura dan Candi Budha, secara bersamaan agar lebih mendekati
masyarakat yang sudah terkena pengaruh Hindu dan Budha dalam waktu yang
panjang.
Kedua, mustaka masjid yang berbetuk seperti nanas adalah khas
Indonesia. Hal ini lebih merupakan model dari arsitektur Pura atau Vihara dalam
budaya Jawa. Penulis menduga bahwa mustaka yang
berbentuk setengah lingkaran dengan atasnya lancip barulah ditemukan
diakhir-akhir abad 18 di Indonesia setelah kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera
Pasai di Aceh, kuat dan mempunyai hubungan langsung dengan negara-negara Islam
di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia. Masjid dengan model mustakasetengah lingkaran tersebut utamanya terdapat di Aceh. Adapun masjid
di Jawa masih didominasi oleh model mustaka berbentuk
nanas sampai pertengahan abad ke-20. Hal itu menunjukkan bahwa bahwa arsitektur
masjid sebagai pusat pengembangan komunitas Muslim dirancang oleh Walisongo
sesuai dengan budaya setempat. Walisongo tampaknya tidak khawatir bahwa mustaka yang bergaya pura atau vihara tersebut akan menghilangkan identitas
Islam.
Hal ini dapat diartikan bahwa Walisongo lebih
menekankan pada dimensi esensi daripada dimensi artifisial dalam beragama.
Mereka dapat membedakan antara inti ajaran dari kebudayaan yang melingkupinya.
Mereka lebih mementingkan dilaksanakannya esensi atau substansi ajaran agama
oleh masyarakat daripada maraknya simbol keagamaan. Mereka mengusahakan agar
Islam dapat memberikan kontribusi riil bagi masyarakat daripada mengusahakan
Islam diterima secara
Formalistic dan dipahami secara formalistik pula.
Ketiga, menara-menara3masjid yang dibangun pada masa
Walisongo maupun masa setelahnya sangat khas dengan budaya Jawa. Bahkan, menara
Masjid Sunan Kudus memanfaatkan menara dari bekas menara Pura. 4 Fenomena ini
juga mempertegas sikap adaptif Walisongo terhadap budaya masyarakat setempat.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh
Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter,
inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh
pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial
secara proporsional. Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada
saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status
sosial.
Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak
sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi
Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan
masyarakat setempat. Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan
transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama
dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari
cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan
bersama bagi kemanusiaan.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh
Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter,
inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh
pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial
secara proporsional.
Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang
ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia
berdasarkan status sosial. Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak
sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi
Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan
masyarakat setempat.
Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif
dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai
agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat
dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju
kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.
2) Wayang Sarana
Membangun Teologi dan Konstruksi Sosial
Wayang merupakan bentuk kebudayaan Hindu-Budha
yang diadopsi Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan,
kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai
pengganti dari teologi Hindu. Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan
masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabaratadan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu.
Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan
memasukkan unsur nilainilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya,
walisogo hanya mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan
memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu
(dan tentunya juga teologi Budha) yang terdapat di dalamnya.
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna
konsep “Jimat Kalimah
Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang
bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan
pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada
Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut
merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Dalam cerita
pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan
senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat
tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian
Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai
pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci Surga” yang berarti
sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan
akhirat. Maksudnya, “syahadat”
tersebut dalam perspektif muslim mempunyai
kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan
seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam
sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.5Pemaknaan baru tersebut
tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun nilai-nilai
Islam dalam cerita pewayangan.
Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk
membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan
berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan,
Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi
visi sosial kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan
bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi.
Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan
figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata maupun
Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa.
Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah,
syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan
tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong)
sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian
Muslim yang ideal. Semar,
sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata
ismar yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis.
Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik
bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti seorangyang mempunyai banyak teman.
Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan
berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman.
Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada
Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi
dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal
dari kata baghá yang berarti menolak segala hal yang bersifat
buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam
masyarakat.
Enam Karakter-karakter punakawan tersebut cukup
merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan
segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya,
berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik,
mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain
sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan
yang baik dengan sesame manusia, Tuhan, dan alam semesta.
3) Seni Islam
Bernuansa Lokal
Jika dilakukan inventarisasi secara intensif,
maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya Islam yang dikembangkan oleh
Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat. Dari sisi
kesenian, kita dapat mencatat kreasi Walisongo yang berupa tembang macapat,
lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan, dan bentukbentuk permainan untuk
anak-anak dan remaja.
Walisongo mengembangkan lirik dan langgam
tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat.
Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari
tembang tersebut.
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo
adalah gambuh, sinom, mijil, dan dandang gula. Walisongo juga menciptakan
lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti ilir-ilir,
bagi masyarakat umum.
Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan
lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungan dan trempolo kendang.
Dalam banyak hal, permainan tersebut dimainkan
dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu dan mainan tersebut banyak
dilakukan di sekitar masjid sehingga mendekatkan remaja dan anak-anak kepada
masjid. Di samping itu, lagu-lagu dolanan, model-model permainan maupun lagu macapat tersebut dirancang secara
filosofis sehigga mereka mempunyai nilai
pedagogis.
Dalam perspektif ini, ketika anak-anak bermain
dan menyanyikan lagu dolanan ataupun orang dewasa melantunkan lagu macapat,
mereka sebenarnya sedang mempelajari, memahami, dan meresapi sebagian dari
ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam elemen budaya tersebut. Oleh karena
itu, tidak menjadi masalah jika aktivitas itu dilakukandi sekiar masjid—yang
ketika itu merupakan arena publik dengan multi fungsi—termasuk tempat kesenian
dan hiburan rakyat.
KESIMPULAN
Pemahaman Walisongo dan generasi sesudahnya dan
sampai sekarang di Indonesia terhadap agama dan budaya membuat mereka dapat
menghargai kebudayaan dan situs budaya lokal yang telah ada dan terus
berkembang. Mereka menjaga sikap toleran dan inklusif-transformatif tersebut
meskipun mereka pada akhirnya menjadi masyarakat mayoritas. Oleh karena itu,
hingga sekarang kita masih dapat menyaksikan megahnya candi Borobudur, candi
Prambanan, candi Gedong Songo, Menara Kudus, dan lain-lain.
Kreasi budaya yang dipromosikan Walisongo selalu
mengapresiasi budaya setempat. Hal itu semua dilakukan oleh Walisongo untuk
menghormati budaya setempat tanpa menghilangkan keharusan untuk
menginternalisasikan ajaran Islam.
Bahkan, penghargaan terhadap tradisi juga masih
ada yang berkembang hingga sekarang. Sebagai contoh, larangan Sunan Kudus bagi
masyarakat muslim Kudus untuk memakan daging sapi, menurut Abdurrahman Mas’ud,
masih dijaga hingga
sekarang meskipun mereka mengetahuinya sebagai
halal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari toleransi budaya yang menyatu
dalam diri mereka.
Walisongo merupakan desainer dan perancang
masyarakat Muslim yang inklusif-transformatif. Mereka mengembangkan Islam
dengan menggunakan media kebudayaan lokal setelah diberi muatan nilai-nilai
Islam terhadapnya. Hal ini bukan berarti bahwa Walisongo mengaburkan ajaran
Islam dan menghilangkan identitas umat Islam.
Islam tidak kehilangan identitasnya karena
akulturasi budaya merupakan strategi kebudayaan, bukan tujuan akhir dari proses
rekonsruksi masyarakat itu sendiri.
Walisongo sebagai pemimpin umat Islam sekaligus
pengembang Islam dan pengelola masyarakat muslim awal di Indonesia telah
menggunakan strategi akulturasi budaya.
Hal itu mengimplikasikan kesadaran mereka
terhadap kenyataan latar belakang budaya dan keyakinan yang plural yang
terdapat di Indonesia.
Setidaknya, Walisongo telah membuktikan dalam
sejarah bahwa strategi akulturasi budaya telah mampu membangun masyarakat Islam
di tengah-tengahmasyarakat plural, tanpa kehilangan indentitas keislamannya.
Keberhasilan tersebut dapat menjadi titik tolak refleksi umat muslim Indonesia
untuk membangun peradaban Islam dan bingkai keindonesiaan.
Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian
Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: Insan Cendekian, 2002.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002.
“Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan” dalam Islam
dan Kebudayaan Jawa. (Ed.). Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma
Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Barat danDakwah. Yogyakarta:
SIPRESS.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan
Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Sternbrink, Karel A. 1974. Pesantren,
Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Sudarto. 2002. “Interelasi Nilai
Jawa dalam Pewayangan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. Ed. Darori Amin.
Yogyakarta: Gama Media.
Endnote:
Basrowi, Sukidin, Metode
Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya : Insan Cendekian,
2002).hlm. 204
Menara masjid
mungkin sekali merupakan hasil dari pengadopsian Islam terhadap tower tempat
api bagi agama Majusi di Persia. Menara berasal dari bahasa Arab manárah artinya
adalah tempat api. Di kalangan Persia, ada tempat yang tinggi yang
ditempatkannya api abadi dan merupakan arah bagi umat Majusi Persia dalam
menyembah Dewa Api. Sebagai agama yang datang kemudian, Islam mengadopsi
modelnya sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan agar suaranya terjangkau
sampai jarak yang jauh.
Abdurrahman
Mas’ud, “The Religion of Pesantren” dalam International Conference on
Religious Harmony: Problem, Practice, and Education in Yogyakarta-Semarangpada
27 September-3 Oktober 2004 yang diselenggarakan oleh International Association
for History of Religion (IAHR), hal. 3.