Senin, 14 April 2014

Memodernisasi Tradisionalitas Islam Nusantara

Oleh Fathoni Ahmad

Tradisi identik dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat dengan tujuan tertentu dengan berbagai pola dan berlangsung secara terus-menerus. Tardisi memiliki peran penting oleh kebanyakan masyarakat yang meyakininya. Jika seseorang atau sekelompok orang tidak menjalani tradisi yang telah berlangsung lama, hal tersebut dianggap asing, aneh dan tidak biasa. Hal demikian tentu tradisi yang berkaitan dengan amalan sebuah agama tertentu.

Tradisi tidak hanya berlaku dalam sebuah amalan ibadah, namun juga dalam dalam berbagai pola kehidupan masyarakat tak terkecuali transfer ilmu yang menghasilkan sebuah pemikiran yang diyakini (intelektualisme). Proses menghasilkan sebuah ilmu atau pemikiran, tentu dipilih sebuah tradisi yang mudah dilakukan berdasarkan kecerdasan ilhami (intelegensi intuitif) seorang guru atau Kiai sebagai media penyebaran ilmu secara shahih.

Islam tidak tersebar dengan begitu saja. Ia melalui berbagai jaringan intelektual yang saling sambung-menyambung. Katakanlah sumber terpercaya dari Sang Nabi SAW ialah sahabat-sahabat dekatnya, seperti Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khattab, dan lain-lain hingga kepada Ulama zaman sekarang. Kiai-kiai dan ulama Nusantara zaman dulu dalam dinamika keilmuan, intelektualisme atau pemikiran pun tak lepas dari jaringan, silsilah, maupun sanad sehingga intelektualismenya dapat dipertanggungjawabkan dan dipercaya.

Inilah ciri khas yang paling menyolok dalam tradisi intelektualisme pesantren yaitu jaringan, silsilah, sanad, ataupun geneologi yang bersifat mualsal (berkesinambungan) untuk tingkat efisoterisitas dan kualitas keulamaan seorang intelektual. Tentu intelektual yang dimaksud di sini ialah ulama atau seorang kiai. Dengan keilmuannya tersebut, ulama dan kiai terus melakukan perbaharuan intelektualismenya dengan merepresentasikan diri terhadap tradisi keilmuan yang berkembang dari zaman ke zaman dengan tidak menghilangkan esensi dari prinsip-prinsip Islam terutama Islam Nusantara yang kaya akan budaya dan tradisi masyarakat lokal.

Dalam perkembangannya, Islam di Nusantara yang digawangi oleh para Wali Songo menggunakan tradisi lokal sebagai instrumen budaya untuk penyebaran Agama Islam atau dinamisasi tradisi untuk intelektualisme Islam. Wali Songo tidak serta merta mereduksi tradisi lokal, tinggal mensisipi saja dengan nilai-nilai Islam sehingga proses akulturasi terjadi, bukan asimilasi yang berarti melebur dan hilang. Wali Songo tidak mengubah Islam secuil pun, hanya menggunakan tradisi lokal sebagai instrumen penyebaran Islam.

Intelektualisme Islam di Nusantara juga telah kita pahami bersama yaitu tak jarang dipenuhi dengan mistifikasi. Dalam hal ini, banyak ulama dan kiai yang mempunyai ilmu ladunni atau ilmu yang bersumber langsung dari Tuhan karena biasa menjalani laku tirakatan. Hingga kini, belum ada yang dapat membuktikan rahasia dibalik kepandaian orang-orang yang mempunyai ilmu ladunni tersebut.

Realitas intelektualisme Islam nusantara tersebut memang kental dalam sejarah Islam kita. Namun demikian, intelektualisme mereka diakui, baik di kalangan Istana atau Raja, maupun dikalangan orang-orang pesantren atau muslim di Nusantara pada umumnya. Sesungguhnya jaringan intelektualisme Islam Nusantara atau geneologi ulama dan kiai pesantren dapat dilacak dengan mudah dan secara pasti ada. Karena mengingat tradisi intelektualisme pesantren yang mengenal Ijazahan. Seorang murid yang mendapat ijazah dari gurunya, berhak secara sah untuk mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Artinya sanad ilmu sangat jelas di sini. Namun, tidak dapat terpungkiri bahwa mempelajari geneologi intelektualisme Islam Nusantara bukan pekerjaan yang mudah.

Hal ini disebabkan, meskipun akar-akar tradisi intelektualisme Islam Nusantara relatif sama dan tradisional, namun ekspresi yang ditampilkan oleh tokoh intelektual Islam Nusantara ternyata sangat beragam, sehingga harus melibatkan banyak elemen dan variabel-variabel tertentu. Di dunia Islam Nusantara terdapat misalnya, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Abdul Hamdi Abulung, yang secara ideologi bersebarangan dengan Wali Songo, Nuruddin ar-Raniri, maupun Muhammad Arsyad al-Banjari, dan sebagainya, dimana masing-masing kubu mempunyai jaringan intelektualisme tersendiri. Inilah yang menyebabkan pelacakan intelektualisme Islam Nusantara menjadi tidak gampang.

Kesulitan ini semakin bertambah dikarenakan kajian intelektualisme Islam Nusantara yang memang lekat dengan orang-orang pesantren tergolong bidang kajian yang terlantar. Mungkin karena sudah terlanjur penyitraan pesantren sebagai komunitas tradisional, sehingga kalaupun ada penelitian tokoh-tokoh pesantren atau Islam Nusantara, hal itu hanya terbatas pada sudut pandang kapabilitas mereka di panggung politik dan kekuasaan.

Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku dan karya-karya tentang tokoh-tokoh Islam Nusantara dalam pergulatan politik dan kekuasaan. Sementara karya yang mengulas tentang jaringan intelektualisme Islam Nusantara relatif sangat sedikit. Geneologi ini sangat berkaitan dengan tradisi, karena perkembangan intelektualisme Islam Nusantara sangat terkait dengan tradisi lokal sebagai instrumen penyebarannya.   

Asumsi bahwa intelektualisme pesantren itu kental dengan tradisionalisme, sesungguhnya bisa direduksi dengan pekerjaan-pekerjaan ilmiah. Ini tentu pekerjaan yang sangat menarik, sebab tentu hal ini merupakan usaha memodernisasi Islam Nusantara tetapi tidak mereduksi tradisi. Karena dalam sejarah intelektualisme Islam Nusantara, pernah berdiri sederet “tokoh bersarung” tapi intelektualitasnya berkaliber Internasional dan menjadi ‘guru besar’ di pusat Islam, Haramain (Mekkah-Madinah). Sebutlah Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasi, Syekh Yasin al-Fadani, dan lain sebagainya. Mereka yang biasa disebut dengan “Bapak Pesantren” ini tidak hanya diakui kualitas intelektualnya di Nusantara, namun juga di manca negara. Intelektual mereka membawa tradisi lokal Nusantara sehingga corak Islam mereka kental dengan pemikiran-pemikiran yang terbuka (inklusif), tidak bersifat eksklusif, dan tidak kaku dalam menerima produk-produk intelektualisme baru. 


Jakarta, 10 April 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi