Oleh Fathoni Ahmad
Tradisi identik dengan kebiasaan yang
dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat dengan tujuan tertentu dengan
berbagai pola dan berlangsung secara terus-menerus. Tardisi memiliki peran
penting oleh kebanyakan masyarakat yang meyakininya. Jika seseorang atau
sekelompok orang tidak menjalani tradisi yang telah berlangsung lama, hal
tersebut dianggap asing, aneh dan tidak biasa. Hal demikian tentu tradisi yang
berkaitan dengan amalan sebuah agama tertentu.
Tradisi
tidak hanya berlaku dalam sebuah amalan ibadah, namun juga dalam dalam berbagai
pola kehidupan masyarakat tak terkecuali transfer ilmu yang menghasilkan sebuah
pemikiran yang diyakini (intelektualisme). Proses menghasilkan sebuah ilmu atau
pemikiran, tentu dipilih sebuah tradisi yang mudah dilakukan berdasarkan
kecerdasan ilhami (intelegensi intuitif) seorang guru atau Kiai sebagai media
penyebaran ilmu secara shahih.
Islam tidak tersebar dengan begitu saja. Ia
melalui berbagai jaringan intelektual yang saling sambung-menyambung.
Katakanlah sumber terpercaya dari Sang Nabi SAW ialah sahabat-sahabat dekatnya,
seperti Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khattab, dan lain-lain hingga kepada Ulama
zaman sekarang. Kiai-kiai dan ulama Nusantara zaman dulu dalam dinamika
keilmuan, intelektualisme atau pemikiran pun tak lepas dari jaringan, silsilah,
maupun sanad sehingga intelektualismenya dapat dipertanggungjawabkan dan
dipercaya.
Inilah
ciri khas yang paling menyolok dalam tradisi intelektualisme pesantren yaitu
jaringan, silsilah, sanad, ataupun geneologi yang bersifat mualsal
(berkesinambungan) untuk tingkat efisoterisitas dan kualitas keulamaan seorang
intelektual. Tentu intelektual yang dimaksud di sini ialah ulama atau seorang kiai. Dengan
keilmuannya tersebut, ulama dan kiai terus melakukan perbaharuan
intelektualismenya dengan merepresentasikan diri terhadap tradisi keilmuan yang
berkembang dari zaman ke zaman dengan tidak menghilangkan esensi dari
prinsip-prinsip Islam terutama Islam Nusantara yang kaya akan budaya dan
tradisi masyarakat lokal.
Dalam
perkembangannya, Islam di Nusantara yang digawangi oleh para Wali Songo
menggunakan tradisi lokal sebagai instrumen budaya untuk penyebaran Agama Islam
atau dinamisasi tradisi untuk intelektualisme Islam. Wali Songo tidak serta
merta mereduksi tradisi lokal, tinggal mensisipi saja dengan nilai-nilai Islam
sehingga proses akulturasi terjadi, bukan asimilasi yang berarti melebur dan
hilang. Wali Songo tidak mengubah Islam secuil pun, hanya menggunakan tradisi
lokal sebagai instrumen penyebaran Islam.
Intelektualisme
Islam di Nusantara juga telah kita pahami bersama yaitu tak jarang dipenuhi
dengan mistifikasi. Dalam hal ini, banyak ulama dan kiai yang mempunyai ilmu
ladunni atau ilmu yang bersumber langsung dari Tuhan karena biasa menjalani
laku tirakatan. Hingga kini, belum ada yang dapat membuktikan rahasia dibalik
kepandaian orang-orang yang mempunyai ilmu ladunni tersebut.
Realitas
intelektualisme Islam nusantara tersebut memang kental dalam sejarah Islam
kita. Namun demikian, intelektualisme mereka diakui, baik di kalangan Istana
atau Raja, maupun dikalangan orang-orang pesantren atau muslim di Nusantara
pada umumnya. Sesungguhnya jaringan intelektualisme Islam Nusantara atau
geneologi ulama dan kiai pesantren dapat dilacak dengan mudah dan secara pasti
ada. Karena mengingat tradisi intelektualisme pesantren yang mengenal Ijazahan.
Seorang murid yang mendapat ijazah dari gurunya, berhak secara sah untuk
mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Artinya sanad ilmu sangat
jelas di sini. Namun, tidak dapat terpungkiri bahwa mempelajari geneologi intelektualisme
Islam Nusantara bukan pekerjaan yang mudah.
Hal
ini disebabkan, meskipun akar-akar tradisi intelektualisme Islam Nusantara
relatif sama dan tradisional, namun ekspresi yang ditampilkan oleh tokoh
intelektual Islam Nusantara ternyata sangat beragam, sehingga harus melibatkan
banyak elemen dan variabel-variabel tertentu. Di dunia Islam Nusantara terdapat
misalnya, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Abdul
Hamdi Abulung, yang secara ideologi bersebarangan dengan Wali Songo, Nuruddin ar-Raniri,
maupun Muhammad Arsyad al-Banjari, dan sebagainya, dimana masing-masing kubu
mempunyai jaringan intelektualisme tersendiri. Inilah yang menyebabkan
pelacakan intelektualisme Islam Nusantara menjadi tidak gampang.
Kesulitan
ini semakin bertambah dikarenakan kajian intelektualisme Islam Nusantara yang
memang lekat dengan orang-orang pesantren tergolong bidang kajian yang
terlantar. Mungkin karena sudah terlanjur penyitraan pesantren sebagai
komunitas tradisional, sehingga kalaupun ada penelitian tokoh-tokoh pesantren
atau Islam Nusantara, hal itu hanya terbatas pada sudut pandang kapabilitas
mereka di panggung politik dan kekuasaan.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku dan karya-karya tentang tokoh-tokoh
Islam Nusantara dalam pergulatan politik dan kekuasaan. Sementara karya yang
mengulas tentang jaringan intelektualisme Islam Nusantara relatif sangat
sedikit. Geneologi ini sangat berkaitan dengan tradisi, karena perkembangan
intelektualisme Islam Nusantara sangat terkait dengan tradisi lokal sebagai
instrumen penyebarannya.
Asumsi
bahwa intelektualisme pesantren itu kental dengan tradisionalisme, sesungguhnya
bisa direduksi dengan pekerjaan-pekerjaan ilmiah. Ini tentu pekerjaan yang
sangat menarik, sebab tentu hal ini merupakan usaha memodernisasi Islam Nusantara tetapi tidak mereduksi tradisi. Karena dalam sejarah intelektualisme Islam Nusantara, pernah
berdiri sederet “tokoh bersarung” tapi intelektualitasnya berkaliber
Internasional dan menjadi ‘guru besar’ di pusat Islam, Haramain
(Mekkah-Madinah). Sebutlah Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasi,
Syekh Yasin al-Fadani, dan lain sebagainya. Mereka yang biasa disebut dengan
“Bapak Pesantren” ini tidak hanya diakui kualitas intelektualnya di Nusantara,
namun juga di manca negara. Intelektual
mereka membawa tradisi lokal Nusantara sehingga corak Islam mereka kental
dengan pemikiran-pemikiran yang terbuka (inklusif), tidak bersifat eksklusif, dan tidak
kaku dalam menerima produk-produk intelektualisme baru.
Jakarta, 10 April 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi