Selasa, 13 Oktober 2015

Dari Wisuda ke Wisuda

Oleh Fathoni Ahmad

Wisuda bisa dikatakan merupakan dampak dari sebuah kelulusan seseorang dari bangku kuliah. Dulu wisuda sungguh menarik terdengar di telinga bagi sebagian mahasiswa yang telah menyelasaikan studinya di perguruan tinggi. Namun demikian, kini bagi saya pribadi serasa tidak istimewa lagi. Karena anak sekolah mulai dari jenjang PAUD, TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMA/SMK juga menggunakan istilah wisuda setelah lulus. Mungkin saya adalah generasi terakhir yang masih menggunakan istilah ‘Pelepasan’ di akhir tahun 2007 silam setelah lulus dari SMA.

Istilah wisuda di satu sisi sangat fair, karena sama-sama lulus dari masing-masing jenjang pendidikan. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk membahas panjang lebar tentang hal ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman saya dari wisuda ke wisuda di jenjang perguruan tinggi. Saya pandang hal ini menarik. Ya, menarik, itu aja.

“Wah, Toni, sapaan akrabku, tiap tahun wisuda,” itulah ucapan yang keluar dari setiap teman karibku saat berpapasan, baik tatkala sebelum wisuda, maupun saat prosesi wisuda S2-ku, Selasa (29/9/2015) di Gedung Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.

Pertanyaan maraton ini muncul, karena wisuda S1-ku dilaksanakan di tahun 2014, tepatnya tanggal 7 Mei 2014 di tempat yang sama di TMII. Saya hanya bisa berujar, bahwa saya dinyatakan lulus S1 pada tanggal 23 Maret 2013. Saat itu almamaterku masih menjalankan sistem wisuda dua tahun sekali. Angkatan saya ketika itu termasuk pada kelompok yang harus menunggu satu tahun untuk diwisuda.

Saya sendiri berinisiatif untuk langsung mengambil studi S2 di STAINU Jakarta tanpa harus menunggu diwisuda terlebih dahulu. Akhirnya saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa S2 di Pascasarjana Program Magister (PPM) STAINU Jakarta dengan mengambil Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan konsentrasi Kajian Islam Nusantara. Dengan kata lain, ketika wisuda S1, saya sudah menjadi mahasiswa S2. Studi Pascasarjana-ku ini bakal berakhir pada bulan September 2015.

Sedari awal, saya bertekad untuk menyelasikan studi S2 ini dua tahun pas. Artinya, saya harus lulus sesuai peraturan yang telah ditetapkan kampus yaitu September 2015. Dengan jalan yang penuh dengan halang rintang, mulai dari kesibukan pekerjaan sehari-hari hingga urusan rumah tangga, akhirnya saya bisa menyelesaikan S2-ku tepat pada waktunya untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum). Di sini saya tidak menduga, ternyata sekarang almamaterku sudah normal dengan melaksanakan wisuda setiap tahun. Suka tidak suka, teman-teman, bahkan para dosen pun mengatakan, “Toni hebat, tiap tahun wisuda.” Hahaa... Saya sendiri hanya berujar, kalau kuliah sih pas dua tahun.

Sambil ‘pringisan’, dalam hati mungkin saya layak diganjar Rekor Muri-nya Jaya Suprana dengan predikat ‘Mahasiswa Tiap Tahun Wisuda’.  Coba saja cari mahasiswa di dunia ini yang setiap tahun wisuda. Mungkin Jaya Suprana hanya akan menemukannya di STAINU Jakarta. 

Kendati demikian, dibalik cerita wisudaku itu, ada yang sangat prinsipil dan inspiratif yang menarik untuk diceritakan dalam tulisan ini. Tatkala mendaftar S2 di STAINU Jakarta, saya dan teman-teman merupakan mahasiswa angkatan pertama, karena kampus tersebut baru saja membuka Program Pascasarjana-nya di tahun 2013. Saya pun mengambil konsentrasi jurusan yang satu-satunya ada di STAINU di jenjang S2, yaitu Kajian Islam Nusantara. Konsentrasi jurusan ini belum ada di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta sekalipun. Sehingga bisa dikatakan kami adalah pertama dari yang pertama (asabiqunal awalun). 

Bahkan di setiap kesempatannya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Prof Dr KH Said Aqil Siroj yang menaungi STAINU Jakarta mengatakan, bahwa jurusan ini adalah jurusan satu-satunya di dunia dan akhirat. Mungkin karena belum ada yang membukanya di perguruan tinggi manapun. Tentu hal ini merupakan sebuah inovasi kajian sejarah yang luar biasa. Sebab memahami identitas kesejarahan bangsa sendiri sangat penting dilakukan agar gerak langkah kita sebagai bangsa Indonesia tidak kehilangan karakter yang luar biasa dari persatuan dalam keberagaman yang selama ini terwujud dengan baik. Tentu ini tidak terlepas dari akar historisitas atau kesejarahan kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk sedari berabad-abad silam, namun tetap damai.

Singkat cerita, nekadlah saya masuk S2 dengan sedikit kebimbangan akan biaya kedepannya. Tak terduga, saat prosesi wisuda S1, saya dinyatakan sebagai wisudawan terbaik dari 222 mahasiswa yang diwisuda saat itu dan mendapat beasiswa S2. Ternyata itu jawaban dari ‘krenteg’ (getaran) hati saya ketika Ketua STAINU Jakarta, Drs KH Mujib Qulyubi, MH menggeser tali toga saya sembari mengatakan, “Selamat ya Ton, nanti wisuda lagi”. Kiai Mujib sendiri sudah mengetahui, bahwa saya juga mendaftar sebagai mahasiswa S2 STAINU Jakarta.

Berkah tidak berhenti di situ. Saya sangat bahagia, karena saat wisuda S1, kado saya adalah pernikahan 3 bulan kemudian. Saya menikah dengan adik kelas kuliah yang lulus tahun 2014 di kampus yang sama, Ummi Khoirunnisa. Dengan kata lain, wisuda S1 kita bareng. Dan saat wisuda S2, di perut istriku sudah ada buah hati berusia 8 bulan hasil ikatan suci kami. Dua-duanya merupakan kado wisuda tiap tahunku yang sangat istimewa. Terima kasih Gusti Ingkang Maha Agung. ***


Jakarta, 13 Oktober 2015

Foto: Wisuda Magister STAINU Jakarta, 29/9/2015 bersama istriku, Ummi Khoirunnisa.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi