Senin, 02 November 2015

Susah dan Kepayah-payahan

Oleh Fathoni Ahmad
Bisa dikatakan, tidak ada yang bisa merasakan kepayah-payahan seorang perempuan hamil selain dirinya sendiri. Bahkan tak banyak para suami yang merasakannya. Selama kurang lebih sembilan bulan mengandung, perempuan hamil tak bisa merasakan manisnya hidup dari berbagai sisi. Selain kebahagiaan memiliki si buah hati di dalam rahimnya.

Makan apapun terasa tak enak, duduk dalam posisi apapun merasa tak nyaman, bahkan posisi tidur pun terus ‘molak-malik’ untuk menemukan kondisi yang comfort. Belum ditambah harus berdialektika dengan rasa mual sekaligus muntah yang seakan menjadi paket ibu hamil. Kondisi internal yang sangat tidak nyaman ini harus ditutup oleh kenyamanan eksternal yang tidak lain harus dilakukan oleh seorang suami.

Kenyamanan eksternal ini akan berdampak pada kenyamanan internal pada diri seorang istri yang sedang hamil. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh suami untuk menciptakan kondisi nyaman di tengah ketidaknyamanan istri. Diantaranya semaksimal mungkin bisa memenuhi segala kebutuhan istri hamil dari sisi kebutuhan materi. Tak kalah penting yaitu motivasi dan perkataan yang bisa membuat tenang seorang istri.

Secara pribadi, kepayahan seorang ibu mengandung saya rasakan terus meningkat secara eskalatif ketika bulan makin berganti. Puncaknya, hal ini saya rasakan ketika istri saya, Ummi Khoirunnisa hendak melahirkan anak pertamanya. Wahnan ‘ala wahnin yang dijelaskan dalam Qur’an Surat Luqman betul-betul saya rasakan ketika mendampingi istri saya.

“Susah yang kepayah-payahan”, itulah arti dari penggalan surat Luqman tersebut. “Susah” saja sudah cukup membuat manusia nelongso atau sengsara, apalagi ditambah dengan “kepayah-kepayahan”. Artinya, Gusti Allah ingin menjelaskan dan menggambarkan kepada manusia, bahwa perjuangan seorang ibu sungguh luar biasa. Tak heran jika Dia akan mengganjar surga seorang perempuan kalau-kalau dirinya meninggal saat proses melahirkan seorang anak.

Kondisi susah dan kepayah-payahan ini saya rasakan juga ketika istri saya beberapa kali menuai kontraksi dalam hitungan menit. “Perut rasanya seperti diaduk-aduk, seisi perut seolah diperas-peras,” ujar istriku. Sambil memelukku, dia juga tidak berhenti menyebut nama Tuhannya sembari saya juga komat-kamit baca berbagai ijazah dari para kiai yang diberikan oleh para murid-muridnya. Kondisi susah payah ini dia rasakan hari Sabtu, (24 Oktober 2015) setelah waktu Isya. 

Mulesnya makin lama, makin luar biasa sehingga akhirnya mendorong saya untuk membawanya ke Bidan pada Ahad, (25 Oktober 2015) pukul 01.30 dini hari. Sedari awal saya sudah merencanakan untuk membawa istriku ke Bidan Hj Suprapti. Bidan Pap, sapaan akrabnya, adalah Bidan senior di Desa Jipang, Bantarkawung, Brebes. Secara turun-temurun, keluarga istriku banyak yang menggunakan jasa Bidan Pap. Pembawaannya yang tenang menjadikan setiap pasiennya juga merasa tenang sehingga bisa menciptakan kondisi yang sangat ideal agar persalinan berjalan lancar.

Sampai di klinik Bidan Pap, rasa mules istriku makin kerap dalam hitungan menit. Melihat dan merasakan istriku melilit terus-menerus dan mules nggak karu-karuan, saya tidak tega. Sedikit bingung mau berbuat apa. Akhirnya, saya berusaha me-refresh otak agar semua resep yang disampaikan orang-orang terdahulu muncul secara simultan. Ternyata, kondisi bingung itulah yang membuat pikiran saya tak bisa mengingat secara gamblang apa-apa yang diresepkan oleh para orang tua. Dengan kondisi cukup tenang di tengah kekhawatiran, sedikit banyak berdampak pada kondisi psikis istriku.

Dengan kondisi perempuan hamil dan menjelang melahirkan itulah, saya baru bisa lebih memahami makna “Wahnan ‘ala Wahnin”. ‘Ayat-ayat’ tersebut mestinya sudah cukup untuk memahamkan seorang anak agar selalu berbakti dan tidak menyakiti perasaan orang tuanya. Bagaimana tidak, seorang ibu telah mempertaruhkan nyawa dan kondisi susah kepayah-payahan, sedangkan seorang bapak memberi kekuatan agar keduanya selamat dalam kondisi normal.

Tentu cerita ini tidak berlebihan, karena ibu dari istriku sendiri tidak tega melihat proses persalinan anaknya. Secara logika-psikis mestinya tidak demikian, mengingat dia pun sudah dua kali melahirkan. Namun demikian, saya yakin ibu mertuaku memberikan kekuatan kepada istriku lewat doa seperti saya sendiri yang beberapa kali menghembuskan napas di kening istriku setelah membaca Sholawat dan ijazah doa yang berbunyi: Hanna waladat Maryam, Maryam waladat ‘Isa, ukhruj ayyuhal maulud, bi qudratil malikil ma’bud. Saya mengamalkannya setiap istriku ngeden (melakukan tekanan agar bayi keluar). 

Beberapa kali ngeden, memang tidak langsung bayi keluar. Saya hanya bisa meyakinkan diri saya melalui doa-doa tersebut. Ternyata, Allah memang tergantung keyakinan hambanya. Sempat diidentifikasi bayi istriku terlilit tali pusar, tetapi setelah itu, justru bayi kami sangat mudah keluar. Kondisi empirik inilah yang membuat doa sangat penting untuk dari berbagai penjuru oleh siapapun. Oleh sebab itu, saya selalu meminta doa kepada orang tua, saudara, seluruh keluarga, bahkan teman-teman, baik di dunia nyata maupun maya.

Setelah beberapa kali ‘mengadvokasi’ istriku ngeden, akhirnya tepat pada siang pukul 11.17 WIB, Ahad (25/10/2015) atau 12 Muharram 1437 dalam hitungan tahun hijriyah, bayi kami lahir dengan normal, sehat, dan keduanya selamat. Saya beberapa kali mencium kening istriku dan memberikan kabar gembira, anak kita lahir normal dengan kondisi fisik yang sempurna. Ibu mertuaku dari luar ruangan persalinan seketika merangkul kami dengan tangisan haru setelah terdengar oak-oak. Setelah disapih, saya langsung mengumandangkan adzan di telinga kanan anakku, dan iqomat di telinga kirinya. Saya yakin, kumandang adzan dan iqomat-lah suara yang pertama kali didengar oleh anakku.

Akhirnya, di tengah suasana bahagia dan haru tersebut, terselip hal kecil yang unik, tanggal lahir anakku, 25, sama dengan tanggal saat saya lahir, yaitu 25 Juli 1989 silam. Terima kasih istriku, Ummi Khoirunnisa, engkau luar biasa. Terima kasih tak terhingga juga kepada seluruh keluarga dan teman-teman saya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Doa kalian adalah sumber kekuatan kami. ***

Bantarkawung, Brebes, 28 Oktober 2015.

Foto: Kondisi anakku (usai dibersihkan) sesaat setelah lahir dari rahim istriku, Ahad 25 Oktober 2015 atau bertepatan dengan 12 Muharram 1437 H di Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi