Senin, 13 Januari 2014

Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Wali Songo

Oleh Fathoni


Pendahuluan
Walisongo dalam pengertian yang paling familiar oleh masyarakat Indonesia ialah wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Siapa saja yang termasuk dalam kelembagaan walisongo? Banyak versi. Agus Sunyoto mengemukakan anggota walisongo yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syaikh Siti Jenar, Sunan Kudus, dan Raden Patah.[1]
Sedangkan Arman Arroisi menjelaskan biografi walisongo dengan anggota yang secara umum kita telah mengetahui yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan Sunan Muria.[2] Manakah yang tepat? Kita di sini tidak bermaksud membahas yang demikian.
Walisongo merupakan tokoh yang sangat fenomenal, sebab dengan berbagai tradisi, budaya, dan kepercayaan orang-orang Nusantara yang sangat beragam, namun dapat menyebarkan misi agama Islam dengan baik sehingga tidak menimbulkan konflik secara frontal.
Pendekatan yang digunakan oleh para wali dalam meng-Islamkan Nusantara perlu menjadi pijakan intelektual. Sebab, bangunan atau konstruksi pemikiran sosial yang dibalut dengan kebudayaan yang berkembang pesat di Nusantara justru menjadi energi positif bagi para wali dalam berdakwah.
Berangkat dari latar belakang itu, Konstruksi pemikiran sosial dan kebudayaan seperti apakah yang digunakan oleh para Walisongo?

1.    Teori Konstruksi Sosial
Teori Konstruksi Sosial merupaka bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann.[3]  
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi.
Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah memperoleh lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann.[4]
Hal ini bukan bukan bermaksud mengidentifikasi konstruk pemikiran social walisongo dengan tokoh-tokoh barat tersebut. Namun, komparasi dan korelasi antara keilmuan masa kini.

2.   Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Walisongo
Tradisi dan budaya yang berkembang di Nusantara ketika itu cukup beragam dengan banyaknya macam-macam bentuk budaya, serta aliran kepercayaan sebelum Islam yang dibawa oleh walisongo. 
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam.
Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam.
Dengan kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi budaya yang dikembangkan oleh Walisongo, yakni aristektur masjid sebagai representasi tatanan sosial egaliter,
wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

1)   Arsitektur Masjid Representasi Tatanan Sosial Egaliter
Arsitektur masjid dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari konsep masjid yang ada di Timur Tengah dengan vihara, pura, dan candi. Setidaknya, ada tiga entitas arsitektur masjid yang perlu dielaborasi, yakni atap masjid bersusun tiga, bentuk
mustaka, dan bentuk menara.
Model arsitektur masjid yang demikian itu tidak ditemukan di negara asal Islam, yakni Saudi Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Pertama, atap masjid yang tersusun dari atas tiga lapis atap sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Agung Demak dan masjid-masjid lainnya dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari pura. Dalam tradisi Hindu yang syarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannya.

Pura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan), dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi para raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja atau bangsawan, dan hanya digunakan untuk para raja dan bangsawan.
Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa, dan digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Pura model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan, tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.
Mungkin sekali, Walisongo dengan sengaja mengadopsi filosofi arsitektur Pura dengan atap bersusun tiga tersebut untuk membuat rakyat jelata tidak canggung untuk bergabung di tempat tersebut.[5]
Namun demikian, Walisongo tidak menjadikan masjid dengan atap bersusun tiga tersebut hanya untuk para rakyat jelata, melainkan untuk umat Islam secara keseluruhan, termasuk para bangsawan dan bahkan raja. Di samping sebagai raja, Raden Patah juga sekali waktu menjadi imam di Masjid
Agung Demak yang diikuti oleh para bangsawan dan rakyat jelata. Dengan demikian, Walisongo sebenarnya secara cultural telah berusaha melakukan perombakan tatatan masyarakat yang kental dengan sistem kasta dan status sosial menjadi masyarakat yang egaliter dan berkeadilan—yang merupakan bagian dari esensi ajaran Islam.
Arsitektur masjid yang terdiri dari tiga atap juga dapat diangap sebagai adopsi dari konsep arsitektur candi agama Budha. Dalam filsafat Budha, candi yang terdiri dari tiga lantai merepresentasikan filsafat perjalanan ruh manusia. Lantai pertama
sebagai representasi alam sebelum manusia; lantai kedua sebagai representasi alam manusia; dan lantai ketiga sebagai representasi alam pasca melewati lingkaran karma. Adapun stupa merupakan representasi penyatuan ruh manusia dengan jiwa kosmik penggerak lingkaran karma. Masjid yang beratap tiga lapis dengan puncaknya diletakkan mustaka dapat dilihat sebagai adopsi dari candi Budha tersebut.
Hanya saja, Islam memberikan penjelasan teologi yang berbeda dari agama Budha. Dalam Islam, proses perjalanan ruh manusia dari alam arwah ke alam dunia ke alam kubur, dan selanjutnya ke alam akhirat hanya berlangsung sekali. Oleh karena itu, perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa Islam tidak mengenal adanya konsep reinkarnasi sebagaimana agama Budha. Hal ini menunjukkan bahwa para Walisongo menyadari frame pemikiran masyarakat tentang arsitektur tempat ibadah. Jadi, mereka mendekatkan ajaran teologi Islam dengan menggunakan instrumen budaya yang telah ada, dan mengisinya dengan ajaran Islam.
Pertanyaan yang kemudan muncul adalah apakah desain arsitketur masjid dengan atap berlapis tiga tersebut lebih merupakan adopsi dari arsitektur Pura atau atau Candi Budha? Dilihat dari filosofi dan semangat budaya yang dibangun tampaknya penyesuaian dengan Pura lebih dekat daripada penyesuaiannya dengan Candi Budha. Alasannya adalah ketika Islam datang maka daerah-daerah yang menjadi sasaran dakwah Walisongo lebih banyak terpengaruh oleh ajaran dan budaya Hindu daripada Budha. Selain itu, ide persamaan harkat kemanusiaan yang diusung melalui simbolisasi penggunaan masjid untuk semua umat tanpa melihat kelas sosial dipandang lebih dapat menyentuh langsung hati masyarakat yang ketika itu sangat kental dengan sistem kasta daripada konsep teologi kehidupan ataupun eskatologi yang biasanya akan dibangun belakangan. Namun demikian, bisa jadi Walisongo mengadopsi kedua bentuk tersebut, pura dan Candi Budha, secara bersamaan agar lebih mendekati masyarakat yang sudah terkena pengaruh Hindu dan Budha dalam waktu yang panjang.
Kedua, mustaka masjid yang berbetuk seperti nanas adalah khas Indonesia. Hal ini lebih merupakan model dari arsitektur Pura atau Vihara dalam budaya Jawa. Penulis menduga bahwa mustaka yang berbentuk setengah lingkaran dengan atasnya lancip barulah ditemukan diakhir-akhir abad 18 di Indonesia setelah kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh, kuat dan mempunyai hubungan langsung dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia. Masjid dengan model mustakasetengah lingkaran tersebut utamanya terdapat di Aceh. Adapun masjid di Jawa masih didominasi oleh model mustaka berbentuk nanas sampai pertengahan abad ke-20. Hal itu menunjukkan bahwa bahwa arsitektur masjid sebagai pusat pengembangan komunitas Muslim dirancang oleh Walisongo sesuai dengan budaya setempat. Walisongo tampaknya tidak khawatir bahwa mustaka yang bergaya pura atau vihara tersebut akan menghilangkan identitas Islam.
Hal ini dapat diartikan bahwa Walisongo lebih menekankan pada dimensi esensi daripada dimensi artifisial dalam beragama. Mereka dapat membedakan antara inti ajaran dari kebudayaan yang melingkupinya. Mereka lebih mementingkan dilaksanakannya esensi atau substansi ajaran agama oleh masyarakat daripada maraknya simbol keagamaan. Mereka mengusahakan agar Islam dapat memberikan kontribusi riil bagi masyarakat daripada mengusahakan Islam diterima secara
Formalistic dan dipahami secara formalistik pula.
Ketiga, menara-menara3masjid yang dibangun pada masa Walisongo maupun masa setelahnya sangat khas dengan budaya Jawa. Bahkan, menara Masjid Sunan Kudus memanfaatkan menara dari bekas menara Pura. 4 Fenomena ini juga mempertegas sikap adaptif Walisongo terhadap budaya masyarakat setempat.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional. Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial.
Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat. Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional.
Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial. Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.

2)   Wayang Sarana Membangun Teologi dan Konstruksi Sosial
Wayang merupakan bentuk kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai pengganti dari teologi Hindu. Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabaratadan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu.
Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur nilainilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya, walisogo hanya mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu (dan tentunya juga teologi Budha) yang terdapat di dalamnya.
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan
pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci Surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.5Pemaknaan baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.
Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi visi sosial kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi.
Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar  yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis.
Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti seorangyang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman.
Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata baghá yang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.[6]
Enam Karakter-karakter punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan sesame manusia, Tuhan, dan alam semesta.

3)   Seni Islam Bernuansa Lokal
Jika dilakukan inventarisasi secara intensif, maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat. Dari sisi kesenian, kita dapat mencatat kreasi Walisongo yang berupa tembang macapat, lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan, dan bentukbentuk permainan untuk anak-anak dan remaja.
Walisongo mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat. Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut.
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh, sinom, mijil, dan dandang gula. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti ilir-ilir, bagi masyarakat umum.
Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungan dan trempolo kendang.
Dalam banyak hal, permainan tersebut dimainkan dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu dan mainan tersebut banyak dilakukan di sekitar masjid sehingga mendekatkan remaja dan anak-anak kepada masjid. Di samping itu, lagu-lagu dolanan, model-model permainan maupun lagu macapat tersebut dirancang secara
filosofis sehigga mereka mempunyai nilai pedagogis.
Dalam perspektif ini, ketika anak-anak bermain dan menyanyikan lagu dolanan ataupun orang dewasa melantunkan lagu macapat, mereka sebenarnya sedang mempelajari, memahami, dan meresapi sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam elemen budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika aktivitas itu dilakukandi sekiar masjid—yang ketika itu merupakan arena publik dengan multi fungsi—termasuk tempat kesenian dan hiburan rakyat.

KESIMPULAN

Pemahaman Walisongo dan generasi sesudahnya dan sampai sekarang di Indonesia terhadap agama dan budaya membuat mereka dapat menghargai kebudayaan dan situs budaya lokal yang telah ada dan terus berkembang. Mereka menjaga sikap toleran dan inklusif-transformatif tersebut meskipun mereka pada akhirnya menjadi masyarakat mayoritas. Oleh karena itu, hingga sekarang kita masih dapat menyaksikan megahnya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Gedong Songo, Menara Kudus, dan lain-lain.

Kreasi budaya yang dipromosikan Walisongo selalu mengapresiasi budaya setempat. Hal itu semua dilakukan oleh Walisongo untuk menghormati budaya setempat tanpa menghilangkan keharusan untuk menginternalisasikan ajaran Islam.
Bahkan, penghargaan terhadap tradisi juga masih ada yang berkembang hingga sekarang. Sebagai contoh, larangan Sunan Kudus bagi masyarakat muslim Kudus untuk memakan daging sapi, menurut Abdurrahman Mas’ud, masih dijaga hingga
sekarang meskipun mereka mengetahuinya sebagai halal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari toleransi budaya yang menyatu dalam diri mereka.
Walisongo merupakan desainer dan perancang masyarakat Muslim yang inklusif-transformatif. Mereka mengembangkan Islam dengan menggunakan media kebudayaan lokal setelah diberi muatan nilai-nilai Islam terhadapnya. Hal ini bukan berarti bahwa Walisongo mengaburkan ajaran Islam dan menghilangkan identitas umat Islam.
Islam tidak kehilangan identitasnya karena akulturasi budaya merupakan strategi kebudayaan, bukan tujuan akhir dari proses rekonsruksi masyarakat itu sendiri.
Walisongo sebagai pemimpin umat Islam sekaligus pengembang Islam dan pengelola masyarakat muslim awal di Indonesia telah menggunakan strategi akulturasi budaya.
Hal itu mengimplikasikan kesadaran mereka terhadap kenyataan latar belakang budaya dan keyakinan yang plural yang terdapat di Indonesia.
Setidaknya, Walisongo telah membuktikan dalam sejarah bahwa strategi akulturasi budaya telah mampu membangun masyarakat Islam di tengah-tengahmasyarakat plural, tanpa kehilangan indentitas keislamannya. Keberhasilan tersebut dapat menjadi titik tolak refleksi umat muslim Indonesia untuk membangun peradaban Islam dan bingkai keindonesiaan.

Daftar Pustaka

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta: IIMan, 2012.

 Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo,  Bandung: Rosda, 2004.

http://bit.ly/1d43GFM diakses 5 Desember 2013.

Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: Insan Cendekian, 2002.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. “Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. (Ed.). Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Barat danDakwah. Yogyakarta: SIPRESS.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Sternbrink, Karel A. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Sudarto. 2002. “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. Ed. Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Endnote:

       [1] Lihat Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Jakarta: IIMan, 2012), cet. Ke-1.
       [2] Lihat Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo, (Bandung: Rosda, 2004), cet. Ke-10.
       [3] http://bit.ly/1d43GFM, diakses 5 Desember 2013.
    [4] Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya : Insan Cendekian, 2002).hlm. 204

      [5] Menara masjid mungkin sekali merupakan hasil dari pengadopsian Islam terhadap tower tempat api bagi agama Majusi di Persia. Menara berasal dari bahasa Arab manárah artinya adalah tempat api. Di kalangan Persia, ada tempat yang tinggi yang ditempatkannya api abadi dan merupakan arah bagi umat Majusi Persia dalam menyembah Dewa Api. Sebagai agama yang datang kemudian, Islam mengadopsi modelnya sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan agar suaranya terjangkau sampai jarak yang jauh.
       [6] Abdurrahman Mas’ud, “The Religion of Pesantren” dalam International Conference on Religious Harmony: Problem, Practice, and Education in Yogyakarta-Semarangpada 27 September-3 Oktober 2004 yang diselenggarakan oleh International Association for History of Religion (IAHR), hal. 3.
Read More

Kejawen: Antara Tradisi dan Agama

Oleh: Fathoni


A.   Latar Belakang Masalah
Selalu unik mengkaji Nusantara. Budaya, suku, dan lain-lain yang sangat beragam merupakan hasil dari perputaran peradaban yang berjalan selama berabad-abad dan memiliki orisinalitas tersendiri sebelum menjadi budaya dan peradaban seperti dewasa ini.
 Lebih dari 400 suku dari 17.000 pulau lebih di seluruh Nusantara belum termasuk bahasa, agama, dan aliran kepercayaan yang menurut data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar.[1]  Aliran kepercayaan yang dimaksud di sini ialah agama asli Nusantara sebelum muncul agama-agama pada sekarang ini.  Namun, Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatera dan pedalaman Papua.
Adapun yang masih tersisa di daerah-daerah sekitar kita ialah akulturasi yaitu sistem kepercayaan yang masih melingkupi dengan agama dewasa ini melalui penyebaran yang bersifat kompromis oleh Wali songo di Nusantara.
Berikut daftar agama asli nusantara (kepercayaan):[2]
Merupakan keunikan tersendiri bagi manusia Indonesia dahulu untuk mensistemkan jalan pikiran menuju Tuhan. Dari sekian banyak agama (kepercayaan), penulis mengambil konsentrasi Kejawen, agama orang jawa. 

B.   Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin dibedah dalam pembahsan materi ini ialah:
1.    Apakah Kejawen itu?
2.    Bagaimanakah system kepercayaannya?
3.    Bagaimanakah kepercayaan tersebut pada sekarang ini dan pengaruhnya?

C.   Pembahasan
1.    Kejawen
Secara leksikal, kejawen berasal dari kata jawa yang mendapat konfiks ke-an, yaitu kejawaan. Dalam sastra jawa, kata yang memiliki akhiran ‘a’ bertemu dengan ‘an’ berasimilasi menjadi ‘e’ sehingga kejawaan berubah menjadi kejawen. Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java menulis agama ini atau dalam bahasa lain Kejawen disebut Agama Jawi.[3]
Kenapa disebut kejawen? Sudah pasti bahwa istilah ini berkaitan dengan subjek dan bahasanya yaitu jawa. Perlu diketahui bahwa penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah").[4]  Cara pandang inilah yang menjadikan kejawen sebagai ‘agama’ bagi orang jawa yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan leluhur  yang tak jarang  menjadi kenyataan sehingga percaya dan melakukan ritual-ritual dalam bentuk apapun.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kejawen sangat erat kaitannya dengan orang jawa, dalam hal ini kejawen dapat didefinisikan yaitu sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa  oleh suku Jawa  dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.[5]  Boleh dikatakan sebagai agama di sini yaitu karena ajaran kejawen samapi pada tahap orang jawa mempercayainya sebagai jalan hidup atau cara pandang dengan berbagai laku yang dengan ibadah dalam Beragama pada umumnya .

2.    Sistem Kepercayaan dan Ajaran-ajaran Kejawen
Dalam uraian di atas, Clifford Geertz menyebut bahwa kepercayaan kuno yang dijalankan orang yaitu kejawen disebut pula agama jawi. Namun seperti yang telah dijelaskna di atas juga bahwa penganut ajaran kejawen sendiri tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam arti monoteistik tapi lebih pada cara pandang yang dibarengi dengan laku yang mirip seperti ibadah.
            Kepercayaan yang dibangun orang jawa kuno tak terlepas dari kepercayaan kepada para leluhur.  Hal ini dipengaruhi oleh nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme pada zaman dahulu.
            Terkait hal ini, jika kita menengok sejarah penemuan tanah jawa oleh Prabu Isaka atau yang kita kenal dengan nama Aji Saka ini tak terlepas dari petunjuk para leluhur.  
            Dalam sejarah yang diceritakan melalui Serat Mahaparwa, Karangan Empu Satya di Mamenang, pada tahun 851 Surya (S) atau 879 Candra (C). Diceriatakan bahwa di tanah Hindustan ada seorang Raja Brahmana bernama Prabu Isaka atau yang disebut Prabu Aji Saka. Prabu Isaka tadi adalah putra Prabu Iwasaka atau Batara Anggajali. Batara Anggajali adalah anak dari Batara Ramayadi atau yang bernama Ramadi. Empu Ramadi adalah putra Sang Hyang Ramaprawa. Sang Hyang Ramaprawa anak Sang Hyang Hening saudara Sang Hyang Tunggal.[6]
            Ia bertahta selama 46 tahun, negerinya dihancurkan leh musuh. Prabu Isaka turun tahta dan mengungsi ke hutan. Di hutan ditemui oleh ayahandanya yang telah menjadi dewa yaitu Batara Anggajali tadi. Atas petunjuk leluhurnya tadi, Aji Saka bertapa di pulau yang panjang (dawa) da sepi dan telah diberi nama pulau jawa atas petunjuk Sang Hyang Guru.[7]  
            Dari sekelumit cerita sejarah tersebut, dapat dipahami bahwa kejawen tidak terlepas dari system kepercayaan para leluhur. Tidak bisa dipungkiri bahwa kepercayaan Hindu-Buddha yang dibawa oleh Aji Saka akhirnya  mempengaruhi pengahayatan keyakinan para pengikutnya yaitu orang jawa tadi.  Namun, kepercayaan tersebut sudah terakulturasi oleh system budaya lokal seperti simbol-simbol "laku" biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya sehingga kejawen pun seperti yang telah dijelaskan merupakan agama tersendiri terlepas dari agama monoteisme seperti Islam, dan lain-lain.  Dengan kata lain, secara umum kejawen berisikan seni, tradisi, ritual, sikap,  dan filosofi orang-orang jawa.
            Dalam hal ini, Agus Sunyoto menyebut bahwa dahulu penduduk India, Indocina, Indonesia, Tiongkok Selatan percaya pada roh yang ada di segala benda dan segala tempat, dan mereka juga percaya ada orang-orang tertentu yang berkedaulatan sakti untuk memanggil roh-roh tersebut atau mengusirnya. [8]
            Keberadaan roh di mana-mana adalah sebagian saja dari agama kuno yang dipelajari, sedangkan sebagian yang lain merupakan keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan yang cocok memungkinkan memanggil, mendamaikan, atau mengusirnya.[9] Dalam hal ini kejawen merupakan system kepercayaan kepercayaan kepada roh-roh leluhur yang dibutikan dengan laku bersemedi di bawah pohon besar nan keramat, beribadah dengan instrumen keris, wayang, pembacaan mantera, menabur bunga-bunga.
            Dalam hal inilah, akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.  Hal demikian sesuai dengan analisis Agus Sunyoto bahwa praktik tersebutlah yang menjadikan alam manusia penuh dengan berbagai roh,[10] yang dimanifestasikan oleh orang kejawen dengan para leluhur.
            Kejawen juga merupakan atau menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang di ilhami oleh pemikiran Jawa. Sehingga ketika sebagian mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik beragama Islam, misalnya seperti dalam Mistisme, pada hakekatnya hal itu adalah suatu karakteristik keanekaragaman religius. Meskipun demikian mereka tetap orang Jawa yang membicarakan kehidupan dalam prespektif Mitologi Wayang, atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan.Banyak dari merekapun menghormati Slametan (hajatan/berdo'a) sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting, atau sangat memuliakan kewajiban menziarahi makam orang tuanya dan leluhur mereka. Lebih dari itu dalam pengertian etika, mereka akan menempa diri sama seriusnya dengan orang Jawa yang mana saja untuk menjadi ikhlas, yakni ketulusan niat. Ini ada kaitannya dengan pemahaman Jawa untuk Sepi Ing Pamrih, yakni tidak diarahkan oleh tujuan-tujuan egoistik, menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.[11]
            Dalam perspektif mitologi wayang, Soedjipto Abimanyu dalam bukunya Babad Tanah Jawi menggambarkan karakter orang jawa yang tergambar di dalam dunia wayang yang merupakan dasar moral orang jawa menganai kehidupan.[12] Wayang adalah pandangan moral orang jawa yang menjadi pedoman dalam perilaku atau sebagai pola dalam tindakan orang jawa. Karakter orang jawa digambarkan dengan karakter yang berdasar atas pluralisme moral. Misal perwatakan Pandawa dan Kurawa, serta ada pula orang luar yang membela Pandawa dan Kurawa.
Terkait hal inilah, di dalam mengekpresikan budayanya, manusia Jawa dengan kejawennya itu amat sangat menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, dilakukan pada lingkungan alam dan dilakukan pada Tuhan yang dilambangkan sebagai pusat segala kehidupan di dunia. Pola hubungan yang seimbang di sini artinya tidak terpaku pada aturan yang ketat sehingga konon kejawen dapat menerima kepercayaan yang masuk setelahnya yaitu Hindu dan Buddha.

Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.
Beberapa aliran dengan anggota besar:
  • Padepokan Cakrakembang
  • Sumarah
  • Budi Dharma
  • Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.[13]

Ajaran-ajaran Kejawen
            Kejawen dilakukan oleh orang-orang jawa dengan tidak menghilangkan karakter-karakter orang jawa yang dimanifestasikan oleh berbagai seni, budaya, dan tradisi yang luhur. Sayangnya, kejawen dalam perkembangan sejarahnya mengalami distorsi makna terutama terkait istilah-istilah yang diwujudkan dengan laku dan ajaran.
Istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb:[14]
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.

3.    Kejawen dan Pengaruhnya
Pada poin ini, penulis berusaha menyadingkannya dengan agama Islam. Hal ini berdasar asumsi bahwa Islam di jawa masih banyak dipengaruhi oleh tradisi yang dibawa oleh kejawen atau tradisi kejawen. Dari praktik ini, Budiono Hadisutrisno menamakannya Islam Kejawen dalam judul bukunya (Juli 2009).
Pengaruh kejawen pada masyarakat jawa sangat kental sebab tradisi dan budaya jawa penuh dengan mistik, yang percaya kepada pada para leluhur sehingga sering memberi persembahan berupa sesaji, dan lain-lain. Tradisi ini telah berlangsung sejak dahulu dan telah mengakar bahkan mengikat serta menjadi tabu jika tidak dilakukan menurut kepercayaan orang jawa.
Orang jawa pada zaman dahulu tidak berbeda jauh dengan orang nusantara pada umumnya yaitu bersikap permisif terhadap setiap kepercayaan atau agama baru yang masuk ke wilayah nusantara. Hal ini menyebabkan percampuran dua entitas yaitu agama dan tradisi berasimilasi sehingga memunculkan budaya Islam yang sinkretis sebab telah terjadi percampuran antara Islam dan tradisi lokal jawa yang disebut kejawen.
Dalam trilogi Geertz, kejawen lebih mirip kaum abangan yang penuh dengan sinkretisme. Menurut Dr. Sutiyono[15], sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa Arab) dan kretiozein, yang berarti mencampuradukkan unsure-unsur yang saling bertentangan.
Sinkretisme juga juga ditafsirkan berasal dari bahasa Inggris, syncretizm yang diterjemahkan campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan.[16]
Sinkretisme merupakan percampuran dua tradisi atau lebih, dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi yang diikutsertakan. Dalam hal ini, sinkretisme dipahami sebagai percampuran antara Islam dengan unsur-unsur tradisi lokal.
Islam di Jawa bercorak sinkretis yang disebut kejawen tadi, dalam arti terdapat terdapat perpaduan atau lebih budaya, misalnya budaya Hindu, Budha, dan animisme. Sebagaimana dinyatakan Geertz, Agama Jawa ini tampak dari luar adalah Islam, tetapi setelah dilihat secara mendalam kenyataannya adalah agama sinkretis. Sepertinya tidak terjadi apa-apa bahwa sinkretisme itu menciptakan persatuan sebagai tujuan utama, akibatnya dogma-dogma atau ajaran-ajaran harus dikurbankan secara lahiriah, tetapi di dalamnya dogma-dogma atau ajaran-ajaran masih dipergunakan. Dalam Islam sinkretis terlihat, namanya Islam tetapi di dalamnya terdapat ajaran Hindu, Budha, dan animisme.
Mulder (1992) meminjam Concise Oxford Dictionary untuk mendefinisikan sinkretisme, yakni usaha-usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan dan menciptakan persatuan antara sekte-sekte.[17] Dalam Islam sinkretis, pernyataan Mulder ini ditunjukan dengan penghilangan Hindu, Buddha, dan animisme secara lahiriah untuk dileburkan menjadi satu bernama Islam. Hal ini tidak menjadi masalah, karena itu hanya sifat lahiriahnya saja. Yang lebih pokok adalah kandungan di dalam Islam sinkretis berupa ajaran Hindu, Buddha, dan animisme masih setia dilakukan secara empiris oleh sebagian masyarakat Jawa.
Jika diperhatikan, proses sinkretisasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan budaya Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada pada tatanan simbolis. Dalam artian, islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah, kulit luar), tetapi diarahkan pada ketulusan (isi, inti).
Perlu kita ingat kembali bahwa pada awalnya Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam mistik (sufi) yang memiliki salah satu karakter moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan lokal (setempat). Di tangan para dai yang berhaluan sufi, kepercayaan itu dibiarkan eksis seperti apa adanya. Salah satu buktinya, para dai dari kalangan sufi yang diperankan walisongo memiliki rasa toleran terhadap kepercayaan orang lain, yaitu melarang umat Islam untuk menyembelih sapi dengan maksud menghormati umat Hindu yang menganggap binatang itu suci (keramat).[18]  
Sikap toleran dan akomodatif terhadap budaya lokal memang di satu sisi dianggap membawa dampak negatif. Pasalnya, dengan sikap seperti akan mengakibatkan pencampuradukan antara Islam dan budaya lokal, sehingga untuk membedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi masyarakat.
Tetapi di pihak lain juga berdampak positif. Artinya, ajaran yang disinkretiskan tadi telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Selain itu, sikap ini juga memudahkan pihak Islam, terutama kalangan pesantren, untuk mengenal dan memahami pemikiran budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa. Paling tidak, hal ini tercermin dalam beragam kesenian Jawa yang bernafaskan Islam.
    
Evolusi Dalam Kejawen
Bicara mengenai evolusi bagi orang yang beragama, maka dapat dilihat ada tiga kubu, yakni:
Kubu pertama yaitu yang meyakini agama-agama Rasul. Dalam dogma dan keimanan beberapa agama mengkisahkan awal mulanya kehidupan manusia adalah dikarenakan adanya kutukan terhadap Adam dan Hawa, yang artinya mereka turun ke bumi sudah berbentuk atau dengan wujud manusia seutuhnya, seperti manusia sekarang ini.
Kubu kedua yaitu yang ditentang oleh agama-agama Rasul. Dalam pemahaman Generatio Spontanea, bahwa evolusi dimulai dari munculnya kehidupan secara kebetulan, yang lalu berevolusi menjadi manusia seutuhnya. Atau faham teori tersebut, berkeyakinan bahwa awalnya mahluk hidup, muncul dari benda mati, dan berkembang terus. Hingga penyempurnaannya melalui evolusi.

Kubu ketiga yang diyakini oleh Agami Jawi. Dalam logika seorang Kejawen, bahwa Tuhan Yang Maha Esa memberikan Kehidupan Awal Yang Hakiki, selanjutnya mereka Berevolusi. Logika inilah yang diyakini oleh seorang Kejawen, sehingga kami tidak memerlukan dogma dan keimanan, karena semuanya logis adanya.
Setelah pemberian nyawa atau kehidupan yang merupakan hak absolut Tuhan Yang Maha Esa, untuk memberikan kehidupan. Dari sinilah, atau pemahaman inilah yang diyakini oleh seorang Kejawen sebagai awal permulaan terbentuknya mahluk hidup, dan kemudian terbentuklah manusia purba, hingga berevolusi menjadi manusia seutuhnya, seperti sekarang ini.
Hal yang menguatkan logika berfikir seorang Kejawen, adalah kita lupa bahwa Bapak Teori Evolusi adalah Charles Darwin, dimana dalam bukunya The Origin of Species yang diterbitkan tahun 1859, sesungguhnya ia pun mengakui bahwa, kehidupan pada mulanya dihembuskan oleh sang Pencipta ke dalam satu atau beberapa bentuk. Selanjutnya seorang Kejawen melakoni Olah Roso, hingga akhinya seorang Kejawen dapat menemukan atau awalnya hanya merasakan adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial,  pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
 Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst.

Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen
Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan,dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.

NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya. 
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.

PAMRIH
     Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya.  Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
     Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
1.    Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
2.    Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
3.    Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Macam Ilmu Islam Kejawen
Sebelum membahas Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen, kita akan memperjelas dulu pengertian Ilmu Gaib yang kita pakai sebagai istilah di sini. Ilmu Gaib adalah kemampuan melakukan sesuatu yang tidak wajar melebihi kemampuan manusia biasa, sering juga disebut sebagai Ilmu Metafisika, Ilmu Supranatural atau Ilmu Kebatinan karena menyangkut hal-hal yang tidak nampak oleh mata. Beberapa kalangan menganggap Ilmu Gaib sebagai hal yang sakral, keramat dan terlalu memuliakan orang yang memilikinya, bahkan menganggap wali atau orang suci.
Perlu diterangkan, bahwa keajaiban atau karomah yang ada pada Wali (orang suci kekasih Tuhan) tidak sama dengan Ilmu Gaib yang sedang kita pelajari. Wali tidak pernah mengharap mempunyai keajaiban tersebut. Karomah itu datang atas kehendak Allah karena mereka adalah orang yang sangat saleh dan rendah hati.
Sementara kita adalah orang yang meninta kepada Allah agar melimpahakan
 Kekuasaannya untuk keperluan kita dalam rangka untuk kemaslahatan umat.
Dalam hasanah perkembangan Ilmu Gaib di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu Aliran Hikmah dan Aliran Kejawen. Aliran Hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari Al-Quran). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu, saya menyebutnya Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen. Tradisi islam-kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai keilmuan Silat Rohani karena ilmu yang memadukan jiwa.

Aliran Islam Kejawen

Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari alkulturasi (penggabungan) budaya jawa dan nilai-nilai agama islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri dengan dua kalimat sahadad. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).
Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat jawa sebelum islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan suparantural. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjatadakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.

Di Indonesia, khususnya orang jawa, pasti mengenal Sunan Kali Jaga (Raden Said). Beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali jaga menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya adalah melalu tembang / kidung. Kidung-kidung yang diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga. Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan.
Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural.

Konsep Aliran Islam Kejawen

Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan seseorang. Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang sangat dasyat sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia biasa. Perilaku tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah rohani. Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipebuhi untuk mendapatkan suatu ilmu.


Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan bekas pada seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa yaitu Penabungan Energi. Jika bandan fisik anda memerlukan pengisian 3 kali sehari melalui makan agar anda tetap bisa beraktivitas dengan baik, begitu juga untuk memperoleh kekuatan supranatural, Anda perlu mengisi energi. Hanya saja dalam Ilmu Gaib pengisian ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup. Penabungan energi ini dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung jenis ilmu yang ingin dikuasai. Cara-cara penabunganenergi lazim disebut Tirakat.

Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat mendapatkan ilmu) yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa. wirid tertentu, mantra, pantangan, puasa atau penggabungan dari kelima unsur tersebut. Ada puasa yang disebut patigeni (tidak makan, minum, tidur dan tidak boleh kena cahaya), nglowong, ngebleng dan lain-lain. Biasanya beratnya tirakat sesuai dengan tingkat kesaktian suatu ilmu. Seseorang harus banyak melakukan kebajikan dan menjaga bersihnya hati ketika sedang melakukan tirakat.

Khodam. Setiap Ilmu Gaib memiliki khodam. Khodam adalah mahluk ghaib yang menjadi “roh” suatu ilmu. Khodam itu akan selalu mengikuti pemilik ilmu. Khodam disebut juga Qorin, ialah mahluk ghaib yang tidak berjenis kelamin artinya bukan pria dan bukan wanita, tapi juga bukan banci. Dia memang diciptakan semacam itu oleh Allah dan dia juga tidak berhasrat kepada manusia. Hal ini berbeda dengan Jin yang selain berhasrat kepada kaum jin sendiri kadang juga ada yang “suka” pada manusia.

Macam-macam Ilmu Aliran Islam Kejawen

Berikut adalah klasifikasi ilmu gaib bedasarkan fungsinya menurut Erlangga. Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku tentang klasifikasi ilmu Gaib.


1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal

Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya ilmu Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.

2. Ilmu Kawibaan dan Ilmu Pengasihan

Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi kejiwaan dan perasaan orang lain. lmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut perintah Anda tanpa berpikir panjang.

Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu yang berkaitan dengan maslah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan memulangkan orang yang minggat.

3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo

Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus, melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah kelanjutan dari Ilmu Trawagan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.

4. Ilmu Khodam

Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin / Setan, meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis kelamin.

5. Ilmu Permainan (Atraksi)

Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras. Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertaruang pada keadaan sesungguhnya. Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.

6. Ilmu Kesehatan

Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh manusia.

Tiga Cara Penurunan Ilmu Ghaib

Ada tiga hal yang menyebebkan seseorang memiliki kemampuan supranatural. Yaitu:

1.
Menjalankan Tirakat. Tirakat adalah bentuk olah rohani khas jawa yang tujuannya untuk memperoleh energi supranatural atau tercapainya suatu keinginan. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari kelima unsur tersebut. Inilah yang disebut belajar ilmu gaib sesungguhnya, karena berhasi atau tidaknya murid menjalankan tirakat hingga menguasai ilmu, tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri. Dalam hal ini guru hanya memberi bimbingan.

2.
Pengisian. Seseorang yang tidak mau susah payah juga bisa mempunyai kemampuan supranatural, yaitu dengan cara pengisian. Pengisian adalah pemindahan energi supranatural dari Guru kepada Murid. Dengan begitu murid langsung memiliki kemampuan sama seperti gurunya. Pengisian (transfer ilmu) hanya bisa dilakukan oleh Guru yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.

3.
Warisan Keturunan. Seseorang bisa mewarisi ilmu kakek-buyutnya yang tidak ia kenal atau ilmu orang yang tidak dikenal secara otomatis tanpa belajar dan tanpa sepengetahuannya. Maka ada yang menyebutnya “ilmu tiban” yang artinya datang tanpa disangka-sangka.

Mitos Tentang Efek Samping

Beberapa orang masih menyakini bahwa pemilik Ilmu Gaib akan mengalami kesulitan hidup dan mati, susah dapat rezeki, bisa sakit jiwa (gila), menderita saat akan mati dll. Saya membantah mentah-mentah argument tersebut. Bukankah masalah rizqi dan nasib adalah Allah SWT yang menentukan.
Memang ada banyak pemilik ilmu gaib adalah orang yang tak punya uang alias miskin, tapi saya yakin itu bukan disebabkan oleh ilmunya, melainkan karena dia malas bekerja dan bodoh. Kebanyakan orang yang memiliki ilmu gaib menjadi sombong dan malas bekerja, hanya mengharapkan orang datang meminta pertolongannya lalu menyelipkan beberapa lembar rupiah ketika bersalaman. Jadi bukan karena Ilmunya.

Sebetulnya baik buruk efek Ilmu Gaib tergantung pemiliknya. Bisa saja Allah menghukum dengan cara menyulitkan rezeki, menyiksa saat datangnya ajal atau hukuman lain karena orang tersebut sombong dan suka menindas orang lain dengan ilmunya, bukankah kita selalu dalam kekuasaan Allah.

D.   Kesimpulan
Kejawen adalah pemahaman agama Islam yang masih tercampur dengan budaya lokal seperti budaya Hindu, Buddha, dan paham animisme. Kejawen bisa dikatakan muncul karena strategi dakwah para sufi yang diperankan oleh Walisongo yang sangat toleran dan akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal sehingga mengakibatkan pencampuradukkan.
Namun demikian, strategi Walisongo yang sangat kompromisitik menjadikan Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab Jika diperhatikan, proses sinkretisasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan budaya Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada pada tatanan simbolis. Dalam artian, islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah, kulit luar), tetapi diarahkan pada ketulusan (isi, inti).









              

 Referensi:
http://wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses Minggu, 3 Nopember 2013, pukul 10.09 WIB.

Clifford Geertz, The Religion of Java, tt.

http://wikipedia.org/wiki/Kejawen, diakses minggu, 3 Nopember 2013, pukul 11.03 WIB.

Purwadi, History of Java: Melacak Asal-Usul Tanah Jawa, Yogyakarta: Mitra Abadi, 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen Diakses Rabu, 6 Nopember 2013, pukul 11.36 WIB.


Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IIMan, 2012.

http://agamakejawen.blogspot.com/p/kejawen-murni.html, diakses Rabu, 6 Nopember 2013, pukul 11.19 WIB.

 Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi: Terlengkap dan Terasli, Laksana: Yogyakarta, 2013.

Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara?, Basis, 1992.


       [1] http://wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses Minggu, 3 Nopember 2013, pukul 10.09 WIB.
       [2] Ibid.
       [3] Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, tt.
       [4] http://wikipedia.org/wiki/Kejawen, diakses minggu, 3 Nopember 2013, pukul 11.03 WIB.
       [5] Ibid.
       [6] Purwadi, History of Java: Melacak Asal-Usul Tanah Jawa, (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2008), cet. Ke-1, h. 3.
       [7] Ibid.
       [8] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Depok: Pustaka IIMan, 2012),  cet. Ke-1, h. 11.
       [9] Ibid.
       [10] Ibid.
       [11] http://agamakejawen.blogspot.com/p/kejawen-murni.html, diakses Rabu, 6 Nopember 2013, pukul 11.19 WIB.
       [12] Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi: Terlengkap dan Terasli, (Laksana: Yogyakarta, 2013), cet. Ke-1, h. 26.
       [13] http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen Diakses Rabu, 6 Nopember 2013, pukul 11.36 WIB.
       [15] Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), cet. Ke-1, h. 41. 
      [16] Ibid.
       [17] Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara?, Basis, 1992, h. 285.
       [18] Anekdot di Kudus yang menceritakan Sunan Kudus ketika kembali dari medan pertempuran bersama pasukannya hampir saja mati di tengah perjalanan berhasil diselamatkan oleh seekor sapi betina. Oleh karenanya, ia melarang masyarakat untuk menyembelih binatang lembu. 
Read More