Oleh Fathoni Ahmad
Ngiring
penganten, ya, itulah bahasa yang kita gunakan di daerahku Losari, Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah ketika pengantin pria hendak menyusul pengantin wanita di
rumahnya untuk melakukan inti dari proses pernikahan yaitu ijab qobul. Tulisan
ini bertujuan menceritakan kisah nyata ‘ngiring penganten’ pernikahanku pada Selasa,
tanggal 12 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB dengan Ummi Khoirunnisa, gadis ayu nan
geulis dari Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten
Brebes.
Aku sendiri berasal dari Blok Coda, Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. Meski Brebes, calon istriku berbahasa sunda. Perlu diketahui, ada 3 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Brebes yang masyarakatnya berbahasa sunda yaitu Kecamatan Banjarharjo, Salem, dan Bantarkawung, itu semua belum termasuk desa-desa yang terletak di daerah perbatasan yang juga banyak berkomunikasi dengan bahasa sunda.
Aku sendiri berasal dari Blok Coda, Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. Meski Brebes, calon istriku berbahasa sunda. Perlu diketahui, ada 3 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Brebes yang masyarakatnya berbahasa sunda yaitu Kecamatan Banjarharjo, Salem, dan Bantarkawung, itu semua belum termasuk desa-desa yang terletak di daerah perbatasan yang juga banyak berkomunikasi dengan bahasa sunda.
Kembali
ke kisah yang aku maksud. Pernikahanku dilaksanakan 15 hari setelah Idul Fitri
2014. Aku dan rombongan menggunakan 3 mobil pribadi dengan jumlah seluruhnya 30
orang ditambah 3 orang anak-anak dan 1 bayi berumur 1 tahun. Awalnya perjalanan
akan dilakukan hari selasa, 12 Agustus 2014 ba’da shubuh. Namun menurut
informasi yang aku dapat, Jembatan Comal di Pemalang ambles lagi sekitar 15 cm
sehingga kendaraan dialihkan kembali ke jalur menuju Purwokerto atau jalur
selatan, akibatnya jalur selatan mengalami macet total. Kebetulan jembatan
tersebut sekitar H-6 Idul Fitri ambles. Informasi otentik didapat dari kakakku
yang hendak balik ke Losari dari Purbalingga bahwa jalur selatan macet total.
Jalur selatan tersebut yang akan digunakan oleh aku dan rombongan ke kediaman
mempelai wanita. Sebetulnya kondisi seperti ini sudah aku rasakan sendiri semenjak
pertama kali mendengar Jembatan Comal ambles, sebab sudah pasti semua kendaraan
dialihkan ke jalur selatan. Apalagi mendengar informasi lanjutan bahwa butuh
waktu hingga satu setengah bulan untuk memperbaikinya.
Dengan
kondisi seperti ini, tidak mungkin keberangkatan dilakukan hari H ba’da shubuh,
sebab proses ijab qobul dilaksanakan pukul 9 pagi. Sudah pasti ‘kacau’ dan
telat karena ratusan kendaraan terjebak hingga berhari-hari di jalur selatan.
Akhirnya, aku dan keluarga sepakat berangkat hari seninnya tanggal 11 Agustus
sebelum maghrib. Kesepekatan ini pun terjadi hari minggunya tanggal 10 Agustus,
jadi aku sendiri dibikin pusing tujuh keliling. Sebab, imbas dari perubahan
jadual mendadak ini, semua ngacapara,
aku harus muter-muter menghubungi ulang orang-orang yang mau ikut, sebagian ada
yang tidak bisa ikut jika berangkat sore, mobil yang akan membawa aku dan
rombongan pun meminta tambahan ongkos, sebab sudah pasti nginep kurang lebih
satu malam.
Waktu
keberangkatan sudah di saku, kali ini aku berpikir bagaimana agar tidak
terjebak macet berjam-jam bahkan berhari di jalur selatan. Ya dapet! Yaitu
menuju ke arah Salem untuk menghindari macet di jalur selatan yang dimaksud
yaitu Prupuk menuju Bumiayu. Setelah dikomunikasikan dengan para supir, mereka
menolak menuju Salem. Duh Gusti! Teriakku dalam hati. Para supir menolak ke
arah Salem sebab kondisi jalannya yang naik dan turunnya sangat curam yaitu
hampir mencapai kemiringan 45 derajat. Perlu diketahui, Kecamatan Salem
termasuk daerah dataran tinggi. Selain itu, tekstur jalannya rusak berat dan
licin ketika turun hujan. Kondisi ini dinilai sangat membahayakan untuk dilalui.
“Mending anda cari kendaraan lain deh, ketimbang saya harus lewat jalur menuju
Salem,” kata Duki salah satu supir diamini supir lain.
Tentu
aku tidak menyetujui penolakan dia, karena bagiku sangat prematur mencari
kendaraan lain karena waktunya sudah sangat meped.
Aku sempat sedikit stres dengan keadaan ini. Ke arah Salem, supir menolak,
menuju Bumiayu sudah pasti bakal terjebak macet. Duh Gusti, ridhoilah
pernikahan kami, pintaku dalam hati. Singkat kata, akhirnya semua sepakat
menuju ke arah Bumiayu, sedangkan aku sendiri terpaksa menyepakatinya. Mau
bagaimana lagi? Aku pun berusaha selalu mengingat Ridho Allah SWT yang setahun
sebelum menikah selalu aku panjatkan. Artinya, dengan keridhoan-Nya, semua akan
menjadi lebih mudah. Kondisi macet ini telah diketahui oleh semua romobongan, aku
senang, sebab yang keluar dari mulut mereka adalah doa dan harapan agar di
tengah perjalanan tidak terjebak kemacetan. Terima kasih Tuhan, ini salah satu
tanda keridhoan-Mu. Pikirku saat itu.
Sesuai
tradisi, sebelum keluar rumah hendak berangkat, calon pengantin pria menuju
pintu depan dan diadzani oleh orang yang ‘dituakan’. Perjalanan dimulai pas
pukul 17.15 WIB. Baru sekitar 15 menit perjalanan, ada barang penting yang lupa
terbawa. Ya, ayam jago! Salah satu benda seserahan. 3 mobil sepakat untuk
berhenti terlebih dahulu. Semua nomor ponsel di rumah yang aku telpon tidak
terangkat. Stres bertambah setengan ons. Alhamdulillah, ada yang mengantar
pakai motor. Nurokim, sepupuku. Dia bersama temannya mengejar mobil kita tanpa
tahu ketiga mobil sudah sampai dimana. Dari tepi jalan di Desa Pengabean,
Losari, salah satu romobongan teriak, “Nurokim!”. Nurokim menyetop motornya
meski sempat melewati ketiga mobil kita yang berhenti. Ayam jago sudah ‘terselamatkan’.
Perjalanan
selanjutnya bermuara ke jalur pantura Losari kemudian lurus menuju Kecamatan
Tanjung. Dari awal perjalanan kita, memang sudah diiringi dengan mendung.
Setelah sampai di perbatasan Losari-Tanjung, hujan menyambut. Untuk menuju
Bumiayu dari Tanjung, ada dua jalur, pertama lewat pertigaan Tanjung, kedua
lewat pertigaan Desa Pejagan, Tanjung. Dari pantura, kita langsung belok kanan
ke kedua jalur tersebut. Karena tidak terjadi koordinasi terlebih dahulu
sebelum perjalanan, kita terpisah. Mobil yang aku tumpangi di depan jauh
meninggalkan 2 mobil rombongan yang dibelakang semenjak dari Losari. Mobilku
belok dari pertigaan Tanjung, sedangkan 2 mobil kompak lewat pertigaan Pejagan.
Ini terjadi karena 2 mobil di belakang sudah tidak melihat mobilku didepan.
Akhirnya kita terpisah.
Masuk
waktu shalat maghrib, sampai di Kecamatan Ketanggungan mobilku diguyur hujan
deras. Tadinya setelah sampai di Jalan Cemara Tanjung, ada mobil di belakang, aku
kira 2 mobil pangantinku, setelah mobil di belakang tersebut nyalip, ternyata
bukan. Aku dan rombongan mobilku mencari masjid untuk shalat maghrib. Sampailah
ke Mesjid Raya Ketanggungan, aku coba menelpon 2 mobil yang tadi dibelakang,
ternyata mereka sedang shalat di Mesjid Pejagan dekat pintu keluar tol pejagan.
Jadi posisi mobilku masih jauh di depan. Malang nian nasib kami, alih-alih
hendak ke Mesjid Raya, mobil-mobil besar berjenis truk gandeng, tronton, dan
bus melintas secara bersamaan sehingga mobilku tak dapat menyeberang sebab
letak mesjid ada di seberang jalan. Perlu diketahui bahwa mobil-mobil itulah
yang menyebabkan jalur selatan macet total. Akhirnya kami putuskan untuk
mencari mesjid yang terletak di sebelah kiri jalan sehingga kami tak perlu
menyeberang. Sekitar 200 meter kami jalan, tiba-tiba ada antrian kendaraan di
depan yang sedang menunggu kereta lewat. Aku kira hanya akan menunggu beberapa
menit saja, ternyata hingga 30 menit kami menunggu kereta lewat. Entah aku tak
tahu penyebabnya. Ini sih alamat qadha shalat maghrib, pikirku.
Sebetulnya
kami menemukan mesjid ketika jam menunjukan pukul 18.27 WIB, yaitu Mesjid
al-Hikmah Ketanggungan, namun saat itu posisinya sedang macet sehingga tentu
untuk kembali lagi masuk ke jalan akan mengalami kesulitan dan waktu yang lama,
akhirnya kami putuskan shalat maghrib diqadha saja. Perjalanan dilanjut, kami
sudah terbebas macet ketika masuk wilayah Kecamatan Larangan dan Songgom, namun
masih terpisah dengan 2 mobil romobongan lain. Aku coba menelpon supir dan
teman di 2 mobil tersebut untuk memberi tahu bahwa mobilku berhenti di SPBU
pertama di sepanjang jalan Larangan-Songgom. Kebetulan ketika itu sudah masuk
waktu Shalat Isya’ sekaligus qadha shalat maghrib. Alhamdulillah setelah
sekitar 15 menit, ketiga mobil sudah berkumpul dan bersama lagi dalam
perjalanan menuju Bantarkawung.
Ketika
mendapat informasi kemacetan, yaitu hari minggu, 10 Agustus 2014, dari arah
Purbalingga, kondisi macet sudah terjadi di daerah Ajibarang, Purwokerto.
Sedangkan dari Pejagan maupun Tegal, kondisi macet sudah terjadi di daerah
Klonengan, Prupuk. Aku pun tak pernah berhenti berdoa semoga perjalanan lancar.
Ternyata setelah melewati Kecamatan Songgom menuju Klonengan, jalanan lancar
terkendali. Padahal menurut keterangan warga sekitar Prupuk, hari minggu
kemarin jalanan disini macet total. “Ini rezeki perjalanan sampeyan mas,” kata
penjual pecel ayam di sekitar SPBU Prupuk. Kami memang memutuskan istirahat di
warung makan tersebut untuk mengisi perut yang sudah ‘marhabanan’.
Tepat
pukul 20.40 WIB, kami melanjutkan perjalanan. Aku sudah merasa lega karena kekhawatiran
akan terjadinya macet telah hilang. Ternyata perasaan lega tersebut hilang juga
seketika saat beberapa meter mobil kami menuju Pasar Tonjong. Cettt! Banyak
antrian mobil, pemandangan berupa supir-supir dalam kondisi santai sembari ngopi di tengah jalan sudah cukup bagi
aku untuk menyimpulkan bahwa kemacetan yang dimaksud telah tiba dan menghampiri
kami. Duh Gusti, semoga pertolonganmu turun, doaku.
Dalam
kondisi macet tersebut, sudah biasa, banyak warga sekitar yang memanfaatkannya
untuk membantu mengatur lalu lintas agar tertib dengan tip seikhlasnya dari
para supir kendaraan. Setelah beberapa menit ‘menikmati’ macet, tiba-tiba ada
seorang warga yang bertanya kepada kami, “mau kemana mas?”, tanyanya. “Mau ke
Bantarkawung lewat pasar Bumiayu,” jawabku. “Percuma mas, di sini macet total,
kalau mau saya tunjukan jalur setapak mobil ke arah Benda, Sirampog, tapi
lumayan tinggi jalan naiknya, sampeyan bisa kasih saya upah 20 ribu atau
seikhlasnya sebagai petunjuk jalan”, lanjutnya. “Baik mas, tapi ada 2 mobil lagi
di belakang”, kataku. Dengan demikian aku harus menyiapkan uang 60 ribu sebagai
upah kepada pria berumur sekitar 40 an tahun tersebut.
Bahrun,
ya sebut saja namanya demikian. Disaat kami semua dalam keadaan bingung, sebab
macet tersebut sudah pasti membutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari,
dia menawarkan bantuan kepada kami. Aku sendiri tidak melihat niat jahat pada
wajahnya, justru ketulusan membantu dari Bahrun yang aku lihat. Perjalanan menyusuri
jalan setapak mobil ke arah Desa Benda, Sirampog dimulai. Jalan ini terletak
sebelum pasar Tonjong ke kiri. Pas sebelum melewati jemabatan pasar Tonjong. Aku
sendiri tahu daerah Benda karena salah satu Pondok Pesantren tertua di
Indonesia terletak di daerah itu. Ya, Pondok Pesantren al-Hikmah. Ponpes ini
dirintis oleh KH. Kholil bin Mahalli pada tahun 1911 M dan dikembangkan oleh
KH. Sukhaemi bin Abdul Ghoni tahun 1922 M (putra kakak KH. Kholil). Hingga sekarang,
pesantren tersebut berkembang sangat pesat. Lembaga pendidikan dari tingkat
rendah hingga tingkat tinggi telah didirikan, jumlah santripun sudah mencapai
ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara.
Jalan
setapak ini dimulai dengan melewati sawah dan ladang penduduk. Setelah 200 M
melakukan perjalanan, sampailah pada jalur naik cukup curam yang dimaksud
Bahrun. Awalnya mobilku yang berada di depan yakin akan kondisi jalan tersebut.
Setelah pedal gas ditekan, tiba-tiba, lossss....! Tenaga mobil seakan hilang
seketika, tak bisa menaiki jalan. Satu mobil seketika menyebut nama Tuhan,
Astaghfirullahal’adzim! Aku yang duduk di bangku paling depan langsung turun
dari mobil dan mencari benda untuk menahan ban mobil agar tidak berbalik ke
belakang. Aku menemukan potongan bambu sedang untuk menahan ban. Rupanya semua
penumpang di 2 mobil belakang paham akan kondisi mobilku. Serentak mereka jalan
naik untuk membantu mendorong mobilku. Ada yang bantu dorong mobil, ada juga
yang mencari batu besar untuk menahan ban. Belakangan kami memahami tidak
kuatnya mobil menaiki jalur curam karena AC mobil tetap nyala. Seketika itu
juga AC langsung dimatikan, dan kami berhasil mendorong mobil ke jalan yang
relatif datar.
Persoalan
tidak berhenti di situ, 2 mobil romobongan di belakang juga membutuhkan bantuan
serupa. Semua mobil dikosongkan, hanya ada supir untuk meringankan beban. Aku melihat
Ridho Allah dipeluh mereka yang bercucuran dan napas yang terengah-engah sebab
menaiki jalan dengan membawa barang dan menggendong anak. Sebagian sudah sepuh (tua) dan terlalu berat badan
sehingga cukup menyengsarakan. Melihat wajah-wajah mereka, aku menangis dalam
hati, apalagi kami harus mendorong 3 mobil sekaligus di tengah hutan dengan
kondisi malam yang sudah larut, ketika itu waktu menunjukan pukul 22.00 WIB. Aku
memahami sebagian ibu-ibu dan anak-anak merasa ketakutan dengan kondisi malam
tersebut. Ada insiden yang cukup mengerikan di mobil terkahir yang kami dorong.
Mobil sempat keluar jalur sehingga hendak jatuh ke jurang, sungguh sangat
mengerikan! Alhamdulillah, tapi kami berhasil membawanya ke atas jalur normal.
Bahrun tetap dengan ‘profesionalnya’ mengawal kami di depan. Ketiga mobil
kembali ke jalur normal setelah matian-matian kami dorong. Perasaan kami lega melihat
perkampungan setelah bermandikan peluh di tengah hutan gelap. Belakangan aku
baca daerah tersebut adalah Desa Banuwih, Sirampog.
Setelah
pengalaman mengerikan tersebut, sampailah ke Desa Benda, kawasan Pondok
Pesantren al-Hikmah. Awalnya Bahrun hanya mengantarkan kami di Benda, tapi kami
meminta bantuan antar hingga ke Bumiayu. Sebetulnya jalur setapak itu menuju
jalur utama juga. Tepatnya di pertigaan SPBU Sirampog. Setelah sampai di ujung
pertigaan tersebut, kami kembali menemukan kondisi macet total di jalur menuju
Terminal Bumiayu. Kami berhenti sejenak, tadinya Bahrun terfokus mengantar kami
ke Terminal Bumiayu dengan kondisi macet tersebut. Aku berpikir jalur tersebut
tak mungkin dilalui. Akhirnya setelah aku berdiskusi dengan kakakku, Amrun,
kami menemukan jalur ke kanan menuju pertigaan ke arah pasar Bumiayu. Inisiatif
dan keputusan kami tepat! Sebab jalur utama hanya macet satu jalur yang ke arah
Bumiayu-Purwokerto. Setelah sampai di pertigaan menuju pasar Bumiayu, jalanan
lengang. Plong perasaan kami, Alhamdulillah...
“Sudah
ya mas, saya antar sampai sini saja, jalan di depan sudah lancar,” ujar Bahrun.
Terima kasih ya Run, kataku sembari menyodorkan upah 60 ribu rupiah. Tepat pukul
23.00 WIB kami sampai di Pasar Bumiayu, awalnya perkiraanku butuh waktu 1 jam
ke rumah calon istriku, ternyata hanya 30 menit. Setelah sampai di Dukuh
Kosambi, Desa Jipang, kami disambut sepi, angin, dan dingin di tengah heningnya
malam. Orang-orang yang sedari sore menunggu kami telah tertidur. Di tengah
lelahnya kami, perasaan campur aduk menyelimuti seperti dingin dan angin
menyelimuti malam saat itu. Setelah kami semua menyantap makanan yang telah
disediakan oleh calon Bapak dan Ibu mertuaku, alhamdulillah kami mempunyai
waktu istirahat menuju akad pernikahanku pukul 9 pagi. Sebelumnya, sepanjang perjalanan
dari Pasar Bumiayu ke Desa Jipang, aku hanya berpikir yang memberi bantuan penunjuk
jalan kepada kami bukanlah Bahrun, namun Malaikat yang dikirimkan oleh Allah
kepada diri Bahrun. Di sinilah aku merasakan kasih sayang dan keridhoan Allah
untuk pernikahanku yang selama ini aku panjatkan dalam doa. Terima kasih Gusti,
Tuhan Maha Pengasih yang tidak pilih kasih.
Fathoni,
suami dari bidadari bernama Ummi
Khoirunnisa
Jakarta,
28 Agustus 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi