Kamis, 28 Agustus 2014

1001 Kenangan ‘Ngiring Penganten’ Pernikahanku

Oleh Fathoni Ahmad

Ngiring penganten, ya, itulah bahasa yang kita gunakan di daerahku Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ketika pengantin pria hendak menyusul pengantin wanita di rumahnya untuk melakukan inti dari proses pernikahan yaitu ijab qobul. Tulisan ini bertujuan menceritakan kisah nyata ‘ngiring penganten’ pernikahanku pada Selasa, tanggal 12 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB dengan Ummi Khoirunnisa, gadis ayu nan geulis dari Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes. 


Aku sendiri berasal dari Blok Coda, Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. Meski Brebes, calon istriku berbahasa sunda. Perlu diketahui, ada 3 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Brebes yang masyarakatnya berbahasa sunda yaitu Kecamatan Banjarharjo, Salem, dan Bantarkawung, itu semua belum termasuk desa-desa yang terletak di daerah perbatasan yang juga banyak berkomunikasi dengan bahasa sunda.

Kembali ke kisah yang aku maksud. Pernikahanku dilaksanakan 15 hari setelah Idul Fitri 2014. Aku dan rombongan menggunakan 3 mobil pribadi dengan jumlah seluruhnya 30 orang ditambah 3 orang anak-anak dan 1 bayi berumur 1 tahun. Awalnya perjalanan akan dilakukan hari selasa, 12 Agustus 2014 ba’da shubuh. Namun menurut informasi yang aku dapat, Jembatan Comal di Pemalang ambles lagi sekitar 15 cm sehingga kendaraan dialihkan kembali ke jalur menuju Purwokerto atau jalur selatan, akibatnya jalur selatan mengalami macet total. Kebetulan jembatan tersebut sekitar H-6 Idul Fitri ambles. Informasi otentik didapat dari kakakku yang hendak balik ke Losari dari Purbalingga bahwa jalur selatan macet total. Jalur selatan tersebut yang akan digunakan oleh aku dan rombongan ke kediaman mempelai wanita. Sebetulnya kondisi seperti ini sudah aku rasakan sendiri semenjak pertama kali mendengar Jembatan Comal ambles, sebab sudah pasti semua kendaraan dialihkan ke jalur selatan. Apalagi mendengar informasi lanjutan bahwa butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk memperbaikinya.

Dengan kondisi seperti ini, tidak mungkin keberangkatan dilakukan hari H ba’da shubuh, sebab proses ijab qobul dilaksanakan pukul 9 pagi. Sudah pasti ‘kacau’ dan telat karena ratusan kendaraan terjebak hingga berhari-hari di jalur selatan. Akhirnya, aku dan keluarga sepakat berangkat hari seninnya tanggal 11 Agustus sebelum maghrib. Kesepekatan ini pun terjadi hari minggunya tanggal 10 Agustus, jadi aku sendiri dibikin pusing tujuh keliling. Sebab, imbas dari perubahan jadual mendadak ini, semua ngacapara, aku harus muter-muter menghubungi ulang orang-orang yang mau ikut, sebagian ada yang tidak bisa ikut jika berangkat sore, mobil yang akan membawa aku dan rombongan pun meminta tambahan ongkos, sebab sudah pasti nginep kurang lebih satu malam.

Waktu keberangkatan sudah di saku, kali ini aku berpikir bagaimana agar tidak terjebak macet berjam-jam bahkan berhari di jalur selatan. Ya dapet! Yaitu menuju ke arah Salem untuk menghindari macet di jalur selatan yang dimaksud yaitu Prupuk menuju Bumiayu. Setelah dikomunikasikan dengan para supir, mereka menolak menuju Salem. Duh Gusti! Teriakku dalam hati. Para supir menolak ke arah Salem sebab kondisi jalannya yang naik dan turunnya sangat curam yaitu hampir mencapai kemiringan 45 derajat. Perlu diketahui, Kecamatan Salem termasuk daerah dataran tinggi. Selain itu, tekstur jalannya rusak berat dan licin ketika turun hujan. Kondisi ini dinilai sangat membahayakan untuk dilalui. “Mending anda cari kendaraan lain deh, ketimbang saya harus lewat jalur menuju Salem,” kata Duki salah satu supir diamini supir lain.

Tentu aku tidak menyetujui penolakan dia, karena bagiku sangat prematur mencari kendaraan lain karena waktunya sudah sangat meped. Aku sempat sedikit stres dengan keadaan ini. Ke arah Salem, supir menolak, menuju Bumiayu sudah pasti bakal terjebak macet. Duh Gusti, ridhoilah pernikahan kami, pintaku dalam hati. Singkat kata, akhirnya semua sepakat menuju ke arah Bumiayu, sedangkan aku sendiri terpaksa menyepakatinya. Mau bagaimana lagi? Aku pun berusaha selalu mengingat Ridho Allah SWT yang setahun sebelum menikah selalu aku panjatkan. Artinya, dengan keridhoan-Nya, semua akan menjadi lebih mudah. Kondisi macet ini telah diketahui oleh semua romobongan, aku senang, sebab yang keluar dari mulut mereka adalah doa dan harapan agar di tengah perjalanan tidak terjebak kemacetan. Terima kasih Tuhan, ini salah satu tanda keridhoan-Mu. Pikirku saat itu.

Sesuai tradisi, sebelum keluar rumah hendak berangkat, calon pengantin pria menuju pintu depan dan diadzani oleh orang yang ‘dituakan’. Perjalanan dimulai pas pukul 17.15 WIB. Baru sekitar 15 menit perjalanan, ada barang penting yang lupa terbawa. Ya, ayam jago! Salah satu benda seserahan. 3 mobil sepakat untuk berhenti terlebih dahulu. Semua nomor ponsel di rumah yang aku telpon tidak terangkat. Stres bertambah setengan ons. Alhamdulillah, ada yang mengantar pakai motor. Nurokim, sepupuku. Dia bersama temannya mengejar mobil kita tanpa tahu ketiga mobil sudah sampai dimana. Dari tepi jalan di Desa Pengabean, Losari, salah satu romobongan teriak, “Nurokim!”. Nurokim menyetop motornya meski sempat melewati ketiga mobil kita yang berhenti. Ayam jago sudah ‘terselamatkan’.

Perjalanan selanjutnya bermuara ke jalur pantura Losari kemudian lurus menuju Kecamatan Tanjung. Dari awal perjalanan kita, memang sudah diiringi dengan mendung. Setelah sampai di perbatasan Losari-Tanjung, hujan menyambut. Untuk menuju Bumiayu dari Tanjung, ada dua jalur, pertama lewat pertigaan Tanjung, kedua lewat pertigaan Desa Pejagan, Tanjung. Dari pantura, kita langsung belok kanan ke kedua jalur tersebut. Karena tidak terjadi koordinasi terlebih dahulu sebelum perjalanan, kita terpisah. Mobil yang aku tumpangi di depan jauh meninggalkan 2 mobil rombongan yang dibelakang semenjak dari Losari. Mobilku belok dari pertigaan Tanjung, sedangkan 2 mobil kompak lewat pertigaan Pejagan. Ini terjadi karena 2 mobil di belakang sudah tidak melihat mobilku didepan. Akhirnya kita terpisah.

Masuk waktu shalat maghrib, sampai di Kecamatan Ketanggungan mobilku diguyur hujan deras. Tadinya setelah sampai di Jalan Cemara Tanjung, ada mobil di belakang, aku kira 2 mobil pangantinku, setelah mobil di belakang tersebut nyalip, ternyata bukan. Aku dan rombongan mobilku mencari masjid untuk shalat maghrib. Sampailah ke Mesjid Raya Ketanggungan, aku coba menelpon 2 mobil yang tadi dibelakang, ternyata mereka sedang shalat di Mesjid Pejagan dekat pintu keluar tol pejagan. Jadi posisi mobilku masih jauh di depan. Malang nian nasib kami, alih-alih hendak ke Mesjid Raya, mobil-mobil besar berjenis truk gandeng, tronton, dan bus melintas secara bersamaan sehingga mobilku tak dapat menyeberang sebab letak mesjid ada di seberang jalan. Perlu diketahui bahwa mobil-mobil itulah yang menyebabkan jalur selatan macet total. Akhirnya kami putuskan untuk mencari mesjid yang terletak di sebelah kiri jalan sehingga kami tak perlu menyeberang. Sekitar 200 meter kami jalan, tiba-tiba ada antrian kendaraan di depan yang sedang menunggu kereta lewat. Aku kira hanya akan menunggu beberapa menit saja, ternyata hingga 30 menit kami menunggu kereta lewat. Entah aku tak tahu penyebabnya. Ini sih alamat qadha shalat maghrib, pikirku.

Sebetulnya kami menemukan mesjid ketika jam menunjukan pukul 18.27 WIB, yaitu Mesjid al-Hikmah Ketanggungan, namun saat itu posisinya sedang macet sehingga tentu untuk kembali lagi masuk ke jalan akan mengalami kesulitan dan waktu yang lama, akhirnya kami putuskan shalat maghrib diqadha saja. Perjalanan dilanjut, kami sudah terbebas macet ketika masuk wilayah Kecamatan Larangan dan Songgom, namun masih terpisah dengan 2 mobil romobongan lain. Aku coba menelpon supir dan teman di 2 mobil tersebut untuk memberi tahu bahwa mobilku berhenti di SPBU pertama di sepanjang jalan Larangan-Songgom. Kebetulan ketika itu sudah masuk waktu Shalat Isya’ sekaligus qadha shalat maghrib. Alhamdulillah setelah sekitar 15 menit, ketiga mobil sudah berkumpul dan bersama lagi dalam perjalanan menuju Bantarkawung.

Ketika mendapat informasi kemacetan, yaitu hari minggu, 10 Agustus 2014, dari arah Purbalingga, kondisi macet sudah terjadi di daerah Ajibarang, Purwokerto. Sedangkan dari Pejagan maupun Tegal, kondisi macet sudah terjadi di daerah Klonengan, Prupuk. Aku pun tak pernah berhenti berdoa semoga perjalanan lancar. Ternyata setelah melewati Kecamatan Songgom menuju Klonengan, jalanan lancar terkendali. Padahal menurut keterangan warga sekitar Prupuk, hari minggu kemarin jalanan disini macet total. “Ini rezeki perjalanan sampeyan mas,” kata penjual pecel ayam di sekitar SPBU Prupuk. Kami memang memutuskan istirahat di warung makan tersebut untuk mengisi perut yang sudah ‘marhabanan’.

Tepat pukul 20.40 WIB, kami melanjutkan perjalanan. Aku sudah merasa lega karena kekhawatiran akan terjadinya macet telah hilang. Ternyata perasaan lega tersebut hilang juga seketika saat beberapa meter mobil kami menuju Pasar Tonjong. Cettt! Banyak antrian mobil, pemandangan berupa supir-supir dalam kondisi santai sembari ngopi di tengah jalan sudah cukup bagi aku untuk menyimpulkan bahwa kemacetan yang dimaksud telah tiba dan menghampiri kami. Duh Gusti, semoga pertolonganmu turun, doaku.

Dalam kondisi macet tersebut, sudah biasa, banyak warga sekitar yang memanfaatkannya untuk membantu mengatur lalu lintas agar tertib dengan tip seikhlasnya dari para supir kendaraan. Setelah beberapa menit ‘menikmati’ macet, tiba-tiba ada seorang warga yang bertanya kepada kami, “mau kemana mas?”, tanyanya. “Mau ke Bantarkawung lewat pasar Bumiayu,” jawabku. “Percuma mas, di sini macet total, kalau mau saya tunjukan jalur setapak mobil ke arah Benda, Sirampog, tapi lumayan tinggi jalan naiknya, sampeyan bisa kasih saya upah 20 ribu atau seikhlasnya sebagai petunjuk jalan”, lanjutnya. “Baik mas, tapi ada 2 mobil lagi di belakang”, kataku. Dengan demikian aku harus menyiapkan uang 60 ribu sebagai upah kepada pria berumur sekitar 40 an tahun tersebut.

Bahrun, ya sebut saja namanya demikian. Disaat kami semua dalam keadaan bingung, sebab macet tersebut sudah pasti membutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari, dia menawarkan bantuan kepada kami. Aku sendiri tidak melihat niat jahat pada wajahnya, justru ketulusan membantu dari Bahrun yang aku lihat. Perjalanan menyusuri jalan setapak mobil ke arah Desa Benda, Sirampog dimulai. Jalan ini terletak sebelum pasar Tonjong ke kiri. Pas sebelum melewati jemabatan pasar Tonjong. Aku sendiri tahu daerah Benda karena salah satu Pondok Pesantren tertua di Indonesia terletak di daerah itu. Ya, Pondok Pesantren al-Hikmah. Ponpes ini dirintis oleh KH. Kholil bin Mahalli pada tahun 1911 M dan dikembangkan oleh KH. Sukhaemi bin Abdul Ghoni tahun 1922 M (putra kakak KH. Kholil). Hingga sekarang, pesantren tersebut berkembang sangat pesat. Lembaga pendidikan dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi telah didirikan, jumlah santripun sudah mencapai ribuan orang dari seluruh penjuru Nusantara.

Jalan setapak ini dimulai dengan melewati sawah dan ladang penduduk. Setelah 200 M melakukan perjalanan, sampailah pada jalur naik cukup curam yang dimaksud Bahrun. Awalnya mobilku yang berada di depan yakin akan kondisi jalan tersebut. Setelah pedal gas ditekan, tiba-tiba, lossss....! Tenaga mobil seakan hilang seketika, tak bisa menaiki jalan. Satu mobil seketika menyebut nama Tuhan, Astaghfirullahal’adzim! Aku yang duduk di bangku paling depan langsung turun dari mobil dan mencari benda untuk menahan ban mobil agar tidak berbalik ke belakang. Aku menemukan potongan bambu sedang untuk menahan ban. Rupanya semua penumpang di 2 mobil belakang paham akan kondisi mobilku. Serentak mereka jalan naik untuk membantu mendorong mobilku. Ada yang bantu dorong mobil, ada juga yang mencari batu besar untuk menahan ban. Belakangan kami memahami tidak kuatnya mobil menaiki jalur curam karena AC mobil tetap nyala. Seketika itu juga AC langsung dimatikan, dan kami berhasil mendorong mobil ke jalan yang relatif datar.

Persoalan tidak berhenti di situ, 2 mobil romobongan di belakang juga membutuhkan bantuan serupa. Semua mobil dikosongkan, hanya ada supir untuk meringankan beban. Aku melihat Ridho Allah dipeluh mereka yang bercucuran dan napas yang terengah-engah sebab menaiki jalan dengan membawa barang dan menggendong anak. Sebagian sudah sepuh (tua) dan terlalu berat badan sehingga cukup menyengsarakan. Melihat wajah-wajah mereka, aku menangis dalam hati, apalagi kami harus mendorong 3 mobil sekaligus di tengah hutan dengan kondisi malam yang sudah larut, ketika itu waktu menunjukan pukul 22.00 WIB. Aku memahami sebagian ibu-ibu dan anak-anak merasa ketakutan dengan kondisi malam tersebut. Ada insiden yang cukup mengerikan di mobil terkahir yang kami dorong. Mobil sempat keluar jalur sehingga hendak jatuh ke jurang, sungguh sangat mengerikan! Alhamdulillah, tapi kami berhasil membawanya ke atas jalur normal. Bahrun tetap dengan ‘profesionalnya’ mengawal kami di depan. Ketiga mobil kembali ke jalur normal setelah matian-matian kami dorong. Perasaan kami lega melihat perkampungan setelah bermandikan peluh di tengah hutan gelap. Belakangan aku baca daerah tersebut adalah Desa Banuwih, Sirampog.

Setelah pengalaman mengerikan tersebut, sampailah ke Desa Benda, kawasan Pondok Pesantren al-Hikmah. Awalnya Bahrun hanya mengantarkan kami di Benda, tapi kami meminta bantuan antar hingga ke Bumiayu. Sebetulnya jalur setapak itu menuju jalur utama juga. Tepatnya di pertigaan SPBU Sirampog. Setelah sampai di ujung pertigaan tersebut, kami kembali menemukan kondisi macet total di jalur menuju Terminal Bumiayu. Kami berhenti sejenak, tadinya Bahrun terfokus mengantar kami ke Terminal Bumiayu dengan kondisi macet tersebut. Aku berpikir jalur tersebut tak mungkin dilalui. Akhirnya setelah aku berdiskusi dengan kakakku, Amrun, kami menemukan jalur ke kanan menuju pertigaan ke arah pasar Bumiayu. Inisiatif dan keputusan kami tepat! Sebab jalur utama hanya macet satu jalur yang ke arah Bumiayu-Purwokerto. Setelah sampai di pertigaan menuju pasar Bumiayu, jalanan lengang. Plong perasaan kami, Alhamdulillah...

“Sudah ya mas, saya antar sampai sini saja, jalan di depan sudah lancar,” ujar Bahrun. Terima kasih ya Run, kataku sembari menyodorkan upah 60 ribu rupiah. Tepat pukul 23.00 WIB kami sampai di Pasar Bumiayu, awalnya perkiraanku butuh waktu 1 jam ke rumah calon istriku, ternyata hanya 30 menit. Setelah sampai di Dukuh Kosambi, Desa Jipang, kami disambut sepi, angin, dan dingin di tengah heningnya malam. Orang-orang yang sedari sore menunggu kami telah tertidur. Di tengah lelahnya kami, perasaan campur aduk menyelimuti seperti dingin dan angin menyelimuti malam saat itu. Setelah kami semua menyantap makanan yang telah disediakan oleh calon Bapak dan Ibu mertuaku, alhamdulillah kami mempunyai waktu istirahat menuju akad pernikahanku pukul 9 pagi. Sebelumnya, sepanjang perjalanan dari Pasar Bumiayu ke Desa Jipang, aku hanya berpikir yang memberi bantuan penunjuk jalan kepada kami bukanlah Bahrun, namun Malaikat yang dikirimkan oleh Allah kepada diri Bahrun. Di sinilah aku merasakan kasih sayang dan keridhoan Allah untuk pernikahanku yang selama ini aku panjatkan dalam doa. Terima kasih Gusti, Tuhan Maha Pengasih yang tidak pilih kasih.


Fathoni, suami dari bidadari bernama Ummi Khoirunnisa
Jakarta, 28 Agustus 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi