Rabu, 24 Desember 2014

Ibu, Wanita Muda dan RA Kartini

Oleh: Fathoni Ahmad

Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu (Mothers Day). Pada tanggal itu juga, digelar Kongres Perempuan Indonesia pertama  di Yogyakarta tahun 1928, sebagai instrumen pendobrak pola pikir yang bersifat paternalisitik. Semuanya seolah laki-laki yang berhak dalam peran kehidupan. Wanita seolah hanya pengisi ruang yang sangat familiar di telinga kita, dapur, sumur dan kasur. Bahkan fenomena demikian terjadi kepada wanita muda seperti seorang RA Kartini (wafat usia 25 tahun). Kendati demikian, wanita muda tersebut adalah seorang pendobrak paternalistik sejati.
Read More

Selasa, 09 Desember 2014

Cara Gus Dur Membaca Sepak Bola

Oleh Fathoni Ahmad

Sebelumnya, tidak ada yang menyangka kepakaran Gus Dur di bidang sepak bola. Para koleganya bahkan tidak memungkiri kepakaran Gus Dur dalam bidang agama karena dia Kiai, dalam bidang sosial-politik karena dia politikus yang negarawan, ataupun dalam bidang budaya karena dia adalah budayawan. Bahkan Gus Dur lebih kental kepakarannya dalam semua bidang itu. Tetapi paham dan tajam dalam membaca sepak bola sekelas Piala Dunia dan Piala Eropa, itulah yang membuat para pengamat sepak bola profesional pun dibuat terperangah dengan cara Gus Dur membaca Sepak Bola.
Read More

Jumat, 24 Oktober 2014

Kabinet Semiotika Jokowi

Oleh: Acep Iwan Saidi

TANTANGAN pertama Joko Widodo dalam kepemimpinannya adalah membentuk kabinet baru. Profil kabinet ini tentu harus segar bagi dirinya sendiri sekaligus harus menyegarkan khalayak. Salah satu syaratnya, ia mesti berbeda dari kabinet terdahulu. Ruh keberbedaan kabinet Jokowi penting disambungkan dengan sosok Jokowi sendiri. Jika sebelumnya presiden Indonesia selalu dari kalangan militer dan elite sipil, Jokowi berasal dari ”dusun”, sipil dari keluarga yang bisa dibilang ”tidak berkasta”. Jokowi adalah ”presiden pinggiran”.
Read More

Kamis, 23 Oktober 2014

Empat Mudharat Pernikahan Raffi-Nagita

Oleh Arman Dhani

Pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina tidak hanya menghina masyarakat dengan menyandera frekuensi publik, melainkan juga pada satu titik ia telah merusak peradaban kita yang adiluhung. Ini bukan masalah iri atau tidak iri, beneran. Ini perkara substantif, perkara kemanusiaan. Kalau sekadar nikah dan disiarkan di televisi, Anang Hermansyah dan istrinya-yang-saya-gak-tau-namanya-dan-males-gugling-itu juga pernah. Gak main-main, bahkan konon sampai ditanggung oleh ABPD Kabupaten Jember (meski belum juga terbukti). Tapi pernikahan Raffi ini berbahaya. Bayangkan, berapa juta ibu-ibu beranak gadis yang kemampleng pengen punya mantu kayak Raffi?
Read More

Salah Tafsir Jokowi

Oleh: Radhar Panca Dhana

SEJUJURNYA sangat menjenuhkan—bahkan menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari ini menjadi tren atau semacam trending topic dalam media sosial. Sebuah kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual. Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan pelisanan, bukan pikirannya, sekadar sebagai gincu untuk mengikuti isu publik seperti kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya karena renda-renda atau fitur tambahan yang lucu.
Read More

Senin, 13 Oktober 2014

Usaha Memperluas Pemahaman Terhadap Sebuah Tradisi

Oleh Fathoni Ahmad

Secara leksikal, tradisi berarti kebiasaan. Ya, kebiasaan yang berkesinambungan dalam kehidupan masyarakat sehingga tak jarang manusia meyakininya sebagai sebuah laku sosial maupun keagamaan yang mesti dilaksanakan. Oleh sebab itu, tak jarang sebuah tradisi berbenturan dengan keyakinan agama bagi sekelompok orang, terutama dalam lingkup agama Islam di Indonesia. Sebenarnya pemahaman seperti ini kontradiktif mengingat agama Islam di Nusantara ini disebarkan melalui instrumen tradisi dan budaya. Wali Songo, sebagai pelaku penyebaran Islam di Nusantara tidak memberangus sedikitpun tradisi maupun budaya orang-orang Nusantara. Justru mereka menjadikan semua itu sebagai media dalam proses internalisasi nilai-nilai Islam sehingga Islam dengan mudah dapat merasuk ke dalam hati mereka di tengah keyakinan nenek moyangnya yang telah berjalan selama berabad-abad.
Read More

Kamis, 04 September 2014

Khilaf di Seputar Khilafah

Oleh Masdar Farid Masudi

Ada kesalahfahaman (khilaf) serius dan merata perihal konsep “khilafat” di kalangan umat pada umumnya dan pegiat politik kekuasaan Islam khususnya sejak dahulu sampai sekarang. Dikiranya “khilafah” adalah konsep kekuasaan yang satu pihak memiliki klaim global (‘alamiyah), dan di lain pihak bersifat sektarian (hanya untuk umat Islam penganut sekte tertentu (Salafi/Khariji), plus berasal dari suku tertentu (Arab-Quraisy). Semua kekuasaan yang tidak menghimpun ketiga unsur tadi menurut mereka tidaklah sah, liar dan wajib diperangi sebagai kafir dan bughat (pemberontak-perampas). Tulisan ini hendak menjelaskan duduk perkara: apa sebenarnya Khilafah/ Khalifah dalam ajaran Islam; untuk apa dan bagi kepentingan siapa?”
Read More

Rabu, 03 September 2014

Satu Bingkai dengan Jokowi

Oleh Fathoni Ahmad

Ir. H. Joko Widodo, Presiden ke-7 RI saat ini (2014) hingga tahun 2019 mendatang adalah sosok yang aku tak pernah mengenalnya sama sekali. Bahkan ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Solo sekalipun. Pertama kali aku mengenalnya yaitu awal tahun 2012 ketika ia akan menguji mobil ESEMKA rakitan anak negeri ke Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP) Tangerang (ada cerita menarik ketika aku bersama teman-teman mahasiswa pada tahun 2011 diundang oleh H. Prabowo Subianto dalam acara sarasehannya di Istana Pak Prabowo di Bukit Hambalang, Bogor. Dalam sambutannya, Pak Prabowo memuji dan mengapresiasi karya anak negeri berupa mobil ESEMKA ini, sebab dia pun pernah mencoba mobil tersebut). Kembali tentang Jokowi hendak uji emisi ESEMKA, saat itu aku baca beritanya di Kompas media cetak. 
Read More

Senin, 01 September 2014

AKU, KAU, DAN KUA

Oleh Fathoni Ahmad

“Semester berapa?”, tanyaku. “Semester tiga, aku pindahan dari STAI Yamisa, Soreang, Bandung”, jawabnya. “Kakak semester berapa?”, dia tanya balik. “Semester lima”, jawabku sambil melingkari jadual mata kuliah semester lima. Ya, itulah awal sapa dan percakapanku dengan Mahasiswa baru bernama Ummi Khoirunnisa yang sekarang telah menjadi istriku. 
Read More

Kamis, 28 Agustus 2014

1001 Kenangan ‘Ngiring Penganten’ Pernikahanku

Oleh Fathoni Ahmad

Ngiring penganten, ya, itulah bahasa yang kita gunakan di daerahku Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ketika pengantin pria hendak menyusul pengantin wanita di rumahnya untuk melakukan inti dari proses pernikahan yaitu ijab qobul. Tulisan ini bertujuan menceritakan kisah nyata ‘ngiring penganten’ pernikahanku pada Selasa, tanggal 12 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB dengan Ummi Khoirunnisa, gadis ayu nan geulis dari Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes. 
Read More

Rabu, 20 Agustus 2014

Aku Memilihmu

Aku Memilihmu 
Aku memilihmu, karena kau juga memilihku.
Aku memilihmu, karena kelembutanmu yang semakin bisa membuatku lembut.
Aku memilihmu, karena aku yakin kau bisa membuatku yakin.


Aku memilihmu, karena kebaikan hatimu yang mampu menyadarkan hatiku.
Aku memilihmu, karena aku yakin kau mampu membuat kita bahagia.
Aku memilihmu, karena kau sadarkan diriku bahwa hidup bukanlah hanya aku.


Aku memilihmu, karena aku yakin mampu menggairahkan hidupmu.
Aku memilihmu, karena kuyakin Tuhan telah memilihmu untukku.
Aku memilihmu, karena aku mencintaimu. 


(Fathoni Ahmad)


Losari, Agustus 2014


Untuk Istriku, Ummi Khoirunnisa
Read More

Sabtu, 03 Mei 2014

Bersikap Adil terhadap Ir Joko Widodo

Oleh Mohamad Sobary
Kalau direnungkan secara jernih, dengan sikap egaliter dalam memandang orang lain, bagaimana bisa seorang warga negara biasa, yang sama dengan kita, tiba-tiba disalahkan secara ramai-ramai dan diminta bertanggung jawab atas suatu perkara yang bukan kesalahannya? Jokowi itu warga negara merdeka dan boleh tidak berpikir mengenai apa yang berada di luar domain politik yang ruwet ini. Dilihat dari sikap, pemikiran, gaya hidup, dan ungkapan-ungkapan kebahasaannya, kita tahu ia hidup tanpa pretense yang bukan-bukan.
Read More

Jumat, 18 April 2014

Institusi-Institusi Sosial Politik Islam Nusantara

Oleh Fathoni Ahmad

Kerajaan-kerajaan Islam telah menjamur di Nusantara sekitar abad ke-13 an. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang Sultan. Nama ini sesungguhnya berasal Turki pada zaman Khalifah Turki Usmani yang pemimpinnya banyak bergelar Sultan dan gelar tersebut tentu memang berada di bawah seorang Khalifah.
Read More

Khazanah Islam Nusantara di Sasak Lombok

Oleh Fathoni Ahmad

Orang Nusantara sejak dahulu dikenal sebagai orang-orang yang permisif dan terbuka terhadap kepercayaan atau keyakinan baru seperti halnya Islam yang datang ke wilayahnya. Tentu mereka sendiri mempunyai budaya dan tradisi sebelum tersendiri yang mengakar jauh sebelum agama monoteisme seperti Islam, dan lain-lain masuk.
Read More

NU Menjawab Tuduhan PKI

Oleh Ummi Khoirunnisa

Saya menjadi Presiden karena mandat dari MPR, dan tidak ada sama sekali mandat untuk membantu eks Tapol. Namun demikian secara kemanusiaan saya membela mereka bahkan sejak tahun 1970 saya telah membela PKI. Sudah ditolong malah mensomasi.
Read More

Ulama dan Santri, Garda Depan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Oleh Fathoni Ahmad


Peran sentral ulama-santri pada masa revolusi kemerdekaan telah terpinggirkan dalam penulisan sejarah ‘resmi’ negara. Itulah pernyataan Dr. KH. A. Hasyim Muzadi dalamendorsement-nya di buku ini. Tidak mudah mendapatkan ‘rasa’ sejarah ketika menelusuri episode sejarah yang hampir satu abad nyaris terpinggirkan atau lebih tepatnya dipinggirkan. Memang susah ditemukan peran ulama atau santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan dalam buku sejarah nasional yang dipelajari selama 12 tahun di bangku sekolah.
Read More

Senin, 14 April 2014

Memodernisasi Tradisionalitas Islam Nusantara

Oleh Fathoni Ahmad

Tradisi identik dengan kebiasaan yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat dengan tujuan tertentu dengan berbagai pola dan berlangsung secara terus-menerus. Tardisi memiliki peran penting oleh kebanyakan masyarakat yang meyakininya. Jika seseorang atau sekelompok orang tidak menjalani tradisi yang telah berlangsung lama, hal tersebut dianggap asing, aneh dan tidak biasa. Hal demikian tentu tradisi yang berkaitan dengan amalan sebuah agama tertentu.
Read More

Minggu, 06 April 2014

Wakil Rakyat Mestinya Menjadi Pemimpin yang Mewakili Rakyat

Oleh Fathoni Ahmad

Mampu mengurus orang lain, entah itu masyarakat atau bangsa dari skala luas direpresentasikan dari bagaimana dia mampu mengurus dirinya sendiri. Menjadi pemimpin yang unggul tidak harus menunggu menjadi Kepala Desa, Bupati, Walikota, Gubernur atau bahkan menjadi Presiden. Namun, pemimpin yang unggul adalah manusia yang mampu menjadi pemimpin bagi dirinya masing-masing. Setidaknya, dia mempunyai bekal untuk dapat memimpin orang lain.
Read More

Minggu, 30 Maret 2014

Kontemplasi Ujian Nasional (UN)

Oleh Fathoni Ahmad

Sejak tahun 2003 silam, ujian kelulusan berbasis nasional digunakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai alat evaluasi. Dari mekanisme baru ini, poin pentingnya yaitu adanya standarisasi. Siswa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi standar yang telah ditetapkan secara ketat dan mengikat. Mekanisme dan standar kelulusan dari tahun ke tahun mengalami perbaruan.
Read More

Senin, 17 Maret 2014

Supremasi Wali Songo

Oleh Fathoni Ahmad

“Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif. Namun, benar-benar ada secara historis.”
Itulah statement Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo: Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah dalam peristiwa penganugerahan sebagai buku terbaik 2014 versi Islamic Book Fair (IBF) dalam kategori Buku Nonfiksi Dewasa di Gedung Istora Gelora Bung Karno Sabtu 1 Maret 2014.
Read More

Rabu, 05 Maret 2014

Tautan Moral Dalam Bahasa Ibu

Oleh Fathoni Ahmad

Pada tanggal 21 Februari lalu warga dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Hingar bingar pun tak terdengar dan tak terlihat, entah di dunia nyata maupun dunia maya seperti kita menyambut hari anti korupsi sedunia pada setiap tanggal 9 Desember dengan banyaknya spanduk nangkring yang isinya himbauan ‘jangan korupsi’ oleh kemungkinan para koruptor sendiri dan hari buruh internasional setiap tanggal 2 Mei yang kita sebut May Day itu. Bahkan saking gemah ripahnya, may day dijadikan hari libur nasional oleh SBY, tentu saja ini menajdi peluang para buruh untuk terus-menerus demo di tanggal itu. Sederhananya, bukan libur nasional saja demo, apalagi dijadikan hari libur?
Read More

Rabu, 26 Februari 2014

Dicari: Keunggulan Budaya

Oleh Abdurrahman Wahid

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner.
Read More

Kamis, 20 Februari 2014

Gak Ilok Dolanan NU

Oleh Sahlul Fuad


Ceritane wong tuo-tuo, Nahdlatul Ulama (NU) mbiyen tau dadi Partai Politik mergo politisi NU dikalahi terus nang Partai Masyumi. Padahal asline wong sing milih Masyumi mbiyen iku akeh sing wong NU-ne. Bareng wis dadi partai NU, tibae bener, sing milih NU akeh temenan.

Read More

Rabu, 19 Februari 2014

Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja

Oleh Dr KH MA Sahal Mahfudh

Aswaja atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidahsyari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini—sebagai identitas—ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstremitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyahtanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.

Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.

Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.

Dalam konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.

Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.

Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.

Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yangkedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.

Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.

Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.

Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.

Kebutuhan akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.

Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.

Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.

Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.

Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadhim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.

Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.

Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap israf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun muamalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.

*) Dikutip dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia NU Wilayah Sumatera Selatan, 16 Januari 1989 di Palembang.
Read More

Selasa, 18 Februari 2014

Hariri dan Semiotika Sosial Ustadz

Oleh: Fathoni Ahmad

Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan video ngamuknya seorang Ustadz ketika sedang berceramah. Hariri, ya, ustadz jebolan akademi dai TPI ini terlihat di video media sosial maupun media elektronik marah-marah bukan kepalang kepada petugas sound sistem.
Read More

IBU RISMA DI MATA PSIKOLOG SARLITO WIRAWAN SARWONO, Guru Besar Fakultas Psikologi UI

Oleh Sarlito W. Sarwono


Saya tidak kenal dengan Ibu Wali Kota Surabaya. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota metropolitan nomor dua se-Indonesia itu.

Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Shihab dalam acara ”Mata Najwa” yang ditayangkan pada 12 Februari 2014. Saya fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan airmatanya.

Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah fenomena luar biasa! Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Latjuba (yang belakangan dikabarkan comeback ke Indonesia dan langsung membuat heboh infotainment), tidak juga secantik Ibu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.

Tubuh Risma kekar berbalut jilbab dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya).

Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abbas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara.

Dia hanya seorang arsitek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kota Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya).

Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh konkret dari ”satunya kata dengan perbuatan”.

Dari ceritanya kepada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiositasnya sangat berbeda dari religiositas Wali Kota Bengkulu Helmi Harun, yang menjanjikan umrah dan haji gratis serta hadiah mobil Kijang Innova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin salat subuh berjamaah di masjid.

Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon peserta umrah/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir).

Religiositas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiaphari memberitahu kemana dia harus pergi hari itu, ke barat atau ke utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah.

Seperti anak telantar di pinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anakanak SD( karena ia mau menerima bayaran Rp1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampat (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu).

Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, ”Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai wali kota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon wali kota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya?” Pecahlah tangis Risma. Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai wali kota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa.

”Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masuk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga!” Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayat pun keluar dari bibirnya.

Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius daripada ustaz-ustaz kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali taushiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor gede dan sering masukinfotainment. ***

Tetapi ketika acara ”Mata Najwa” direkam, tampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu? Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya.

Capeksekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas, tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit).
Read More

Senin, 17 Februari 2014

Bhinneka Tunggal NU

Oleh Sahlul Fuad


Tiga puluh tahun lalu, 14-18 Rabiul Awal 1405 H, Muktamar NU ke-27 di Situbondo berhasil mengobrak-abrik konstelasi politik NU. Betapa tidak, setelah menyatakan NU mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dalam Munas NU 1983, setahun kemudian NU menyatakan kembali ke Khittah NU 1926. NU pensiun sebagai partai politik. NU tidak berpolitik praktis lagi. 

Alhasil, ada yang berderai air mata menangis bombai, ada juga yang berjingkrak-jingkrak menang gemilang. Kembali ke Khittah NU 1926 telah menjadi  keputusan strategis NU yang monumental hingga akhir zaman.

Cerita lahirnya ketetapan “Kembali ke Khittah NU 1926” memang tidak seperti cerita menetasnya telur buaya dalam timbunan tanah, yang tanpa dierami induknya bisa menetas sendiri. Ada proses dan perjuangan yang lumayan panjang. Sekelompok aktivis muda NU seperti Abdurrahman Wahid, Fahmi D. Saifuddin, Mahbub Djunaidi, Said Budairi, Slamet Efendi Yusuf, dan lain-lain merenungi dan mencari jalan keluar nasib politisi NU yang selalu saja dipecundangi oleh politisi lainnya. Bisa-bisanya PPP, sebagai bagian dari fusi Partai NU bersama tiga partai lainnya, tiba-tiba diacak-acak oleh penguasa orde baru dengan menjadikan H.J. Naro sebagai Ketua Umumnya, dan para politisi NU yang vokal dicoret dari daftar caleg PPP.

NU memang wajib marah pada masa itu. Keterlaluan jika diam saja, karena memang menyakitkan. Bagaimana pun NU melahirkan banyak kader dan selalu panen suara yang melimpah, tapi para “Singa NU” yang selayaknya dipasang di “Nomor Jadi” tak tahunya ditaruh di urutan buncit. Wajar saja NU kecewa dan sangat kecewa atas perlakuan itu. Ini memang bukan pil pahit pertama yang pernah ditelan NU. Kondisi tersebut juga pernah terjadi ketika NU tergabung dalam Partai Masyumi, namun saat itu NU keluar dan mendeklarasikan diri sebagai Partai NU. Beruntung NU menang. Namun dalam masa orde baru, NU tidak bisa berpartai sendiri, karena penguasa sudah menakar jumlah partai hanya tiga. Mau tidak mau, NU kembali ke langgar, pesantren, dan madrasah. Mengurus jami’yyah dan jamaah. Sedangkan para kader dan politisi NU bebas memilih partai yang disukai, terserah mau di mana. Boleh hijau, boleh kuning, boleh juga merah, yang penting siap berjuang untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara. Ketika PPP kembali dikuasai kader-kader nahdliyyin, NU keukeuh khittah NU 1926.

Ketetapan tiga puluh tahun yang lalu tak berubah. NU tetap berkiblat ke khittah NU 1926. Walau pada era reformasi NU berpeluang menjadi (dan mendirikan) partai, NU tetap bergeming. NU bukan partai politik dan tidak mau memihak partai apapun. NU hanya berhak mendukung kader NU-nya. Di mana pun itu. Alhamdulillah, kader NU diterima di berbagai partai yang warna-warni. Dan nyatanya orang NU jadi presiden, lalu ada juga yang jadi wakil presiden. Kalau jatah menteri, memang sudah sejak lahirnya Indonesia.

Dari sini tampaklah bahwa kemenangan NU bukanlah kemenangan partai tertentu. Kalau NU terjebak hanya berpihak pada satu partai, tampaknya menjadi suatu catatan kemunduran. Syukur jika partai yang dipihaki akhirnya tidak tinggal kenangan, karena hanya jadi cibiran para pemilih. Kemenangan NU adalah kemenangan kader NU dalam memperjuangkan nilai-nilai ke-NU-an dalam rangka mewujudkan: Islam rahmatan lil ‘alamin, rakyat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawe di negeri ini. Oleh karena itu tugas NU adalah menyiapkan kader sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya di tengah partai-partai politik mengalami  krisis kader seperti ini. 

NU Sebagai Suplier Kader Politik 

Dalam situasi politik multipartai seperti ini, dengan NU tetap berpegang pada keputusan Muktamar NU ke-27 itu tampaknya membuat perjuangan NU tetap bisa selamat, bahkan bisa untung. NU tanpa perlu risau dan ketar-ketir  bagaimana jika partai satu-satunya yang digadang-gadang bakal gulung tikar seperti partai-partai lain gara-gara suaranya minor. NU tetap punya wakil melimpah di parlemen. NU tetap punya corong perjuangan. Bahkan NU tetap bisa titip suara agar menggolkan kader-kader terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan publik, termasuk komisioner-komisioner, melalui seluruh jaringan politisi NU yang duduk di parlemen.

Sesungguhnya banyak orang yang terlahir tiba-tiba menjadi NU, tanpa ada proses baiat dan administrasi. Untuk menjadi NU pun makin mudah. Tanpa memilih “Partai NU” sekarang sudah bisa menjadi. Namun masih banyak orang menjadi NU gara-gara ikut pendidikan dan pengkaderan atau masuk struktur NU. Ini memang gejala unik. Menjadi NU ternyata bukan saja perkara struktural, tapi juga kultural. Oleh karena itu, NU sebagai organisasi tak bisa mengelak orang yang mengaku-aku dirinya sebagai NU. Mau dibuktikan secara terbalik pun susah. Sebab, untuk menjadi NU cukup dengan mengaku merasa NU. Cukup sudah. Sederhana. Oleh karena itulah, seluruh penduduk Indonesia ini sebenarnya dNU, kecuali yang tidak. 

Rupanya, jumlah orang NU bukan hanya banyak, tapi kemauannya juga beragam. Walaupun Ketua Umum PBNU menyatakan bahwa PKB adalah partainya orang NU, tetap saja banyak orang NU yang di PPP, di partai Golkar, di PDI Perjuangan, Partai Demokrat, di Hanura, di Gerindra, di PKPI, di NasDem, bahkan di PBB, di PAN dan di PKS. Toh, pada akhirnya PB/PW/PCNU tidak bisa mencegah “keliaran” orang-orang NU tersebut. Justru sebaliknya, NU tampak menjadi suplier kader utama politik dalam proses demokrasi ini.

NU sebagai suplier kader politik ini, walaupun tanpa disadari, merupakan salah satu kelebihan dan keberhasilan NU dalam proses kaderisasi. Secara struktur dan kultur NU memang memiliki banyak pintu dalam melakukan rekruitmen kader. Secara struktural ada pintu dari tingkat remaja hingga dewasa: ada IPNU/IPPNU, GP Ansor/Fatayat, hingga Muslimat. Sedangkan dari pintu kultural ada PMII dan pondok pesantren. Meskipun ada juga yang bergabung di GMNI atau HMI, tapi tidak menuntup kemungkinan mereka juga NU. Kondisi ini menunjukkan bahwa walau berbeda-beda, mereka tetap NU, meminjam istilah Empu Tantular dalam kitab Sutasoma, “Bhinneka Tunggal NU”.

Sementara, problem yang dihadapi oleh politik Indonesia terkini menunjukkan banyak partai politik yang membutuhkan asupan kader, terutama yang bermutu. Bahkan partai-partai besar pun ada yang tidak mampu melakukan rekruitmen dan kaderisasi yang sehat. Partai-partai politik peserta pemilu pada akhirnya banyak yang main comot caleg, tanpa perlu tahu mereka penjahat atau penipu. 

Di sinilah peluang dan peran bagi NU untuk benar-benar menyiapkan kader-kader terbaik, mengusung nilai-nilai dan cita-cita NU. Menggemakan ajaran dan prinsip ahlu sunnah wal jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau NU bukan partai politik, tapi suara NU mampu menggema di seluruh penjuru partai politik yang ada. NU tidak perlu ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalau ada politisi NU yang tidak berkutik, suntik dia. Kalau ada politisi NU yang melempem, goreng dia. Kalau ada politisi NU kurang ajar, jewer dia. Itu penting. Wallahu a'lam.

SAHLUL FUAD, Jamaah NU Miring

Sumber: nu.or.id
Read More

Selasa, 11 Februari 2014

Sinkretisme Islam Nusantara, Terbentuk atau Dibentuk?

Oleh Fathoni

Para pengamat Barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah Nusantara pada umumnya, sebagai bentuk sinkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di Timur Tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam putih"; bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik", dan Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam.

Adalah dua postulat yang dikemukakan oleh A. Khoirul Anam dalam rubrik Risalah Redaksi NU Online pada tanggal 19 September 2013 lalu: Mengapa Muslim di Nusantara atau Indonesia ini kurang diperhitungkan dalam dinamika sejarah perkembangan Islam, baik secara historis maupun geopolitik?
Persoalan ini penting untuk kembali diangkat ke permukaan karena faktanya Islam Nusantara secara genealogi, etnografi, historiografi, maupun secara antropologi banyak dimunculkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat melalui penelitiannya. Sebut saja salah satunya ialah Clifford Geertz, Antropolog Amerika dengan triloginya yaitu santri, abangan, dan priyayi dalam agama Jawa.

Secara historis, wacana yang berkembang ialah, ada tiga teori masuknya Islam di Nusantara yaitu teori Gujarat, Persia, dan Arab. Lantas, mana teori yang mendekati kebenaran untuk kemudian bisa dijadikan rujukan secara historis? Tentu di sini kita tidak bermaksud mengurai sejarah tersebut. Artinya, Islam yang berkembang di Nusantara memang berasal dari luar namun penuh dengan nuansa lokalitas.
Bahkan agama Hindu-Buddha yang konon dianggap sebagai agama pertama yang diyakini oleh para leluhur tidak sepenuhnya benar, sebab keyakinan dan kepercayaan yang muncul pertama kali ialah kepercayaan kepada roh para leluhur yang lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Keyakinan tersebut oleh orang-orang Nusantara terdahulu disimbolkan dengan mantera, keris, semedi di bawah pohon besar yang dikemas dalam laku (mirip ibadah) sehingga inilah yang kemudian menurut Clifford Geertz, menjadi sebuah sistem budaya (cultural system).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa para antropolog Barat menganggap bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretis?

Perlu diketahui bahwa, kepercayaan orang-orang Nusantara terdahulu seperti yang dikemukakan oleh Prof. Nur Syam membentuk sebuah nilai sehingga orang berbondong-bondong mengikuti ritual-ritual pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab dengan laku tersebut, para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu ketenangan batin, sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan sistem demikian berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke Nusantara.

Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa orang-orang Nusantara dahulu sudah mempunyai sifat toleran dalam menerima kepercayaan baru yang masuk. Termasuk dalam menerima ajaran agama monoteisme seperti Hindu, Buddha, Nasrani ataupun Islam.  Hal demikian juga bukan hanya karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk, tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam sehingga agama baru yang dianut oleh orang-orang nusantara tidak lepas dari tradisi lokal yang dibawa oleh agama atau kepercayaan terdahulunya.

Misal Islam di Sasak, Lombok yang diteliti oleh Dr. Erni Budiwanti. Dia mengemukakan bahwa Islam Sasak adalah Islam juga, hanya saja Islam yang bernuansa lokal. Dalam agama wetu telu yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang Islam sama sekali, misalnya doa-doa, tempat peribadatan masjid dan tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.

Hal inilah yang kemudian disimpulkan oleh para antropolog Barat bahwa Islam di Nusantara berbau sinkretisme. Namun, kemudian Budiwanti mengemukakan lagi bahwa sebenarnya peran negara dalam bentuk Islam waktu limo, yaitu Islam puritan yang ada di Lombok menjadi sangat menonjol di tengah suasana pribumisasi Islam yang mestinya berperan akomodatif bukan penetratif. Mengapa? Karena hal demikian akan banyak merugikan tradisi keagamaan lokal, dan ini tidak sesuai dengan karakter Islam sendiri yang ramah.

Lain Sasak, lain pula Jawa dengan kejawennya. Sampai saat ini, sebagian muslim di Jawa masih menampakkan ritual-ritual kepercayaan terdahulunya seperti disimbolkan dengan sesajen danslametan. Dengan trikotominya, santri, priyayi, dan abangan seperti yang telah dijelaskan, Clifford Geertz mengemukakan bahwa paradigma kehidupan kejawen relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan, seirama dengan dominannya ideologi abangan dalam kehidupan keagamaan dan sosial politik di Jawa. Dari  hal inilah Geertz melihat elemen-elemen yang sinkretik dan animistik dalam pola slametan di Jawa. Meskipun pada zaman sekarang lebih pada akulturasi budaya, sebab slametan diisi dengan bacaan-bacaan Al-Quran.

Demikian kita bisa memahami bahwa Clifford Geertz adalah satu dari antropolog Barat yang ‘menghukumi’ bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretisme. Geertz adalah seorang antropolog yang mengkonsentrasikan diri dalam antropologi budaya. Perspektif antropologinya seperti yang dikemukakan oleh Nur Syam ialah antropologi simbolik-interpretatif.  Aliran antropologi yang memperoleh perhatian luas dan menjadi perbincangan hingga akhir-akhir ini. Aliran ini dikembangkan oleh Geertz melalui berbagai kajiannya, terutama di Indonesia.

Lebih dari 40 tahun Geertz memperkenalkan antropologi Indonesia ke dunia luar. Bahkan karena kajian antropologinya tersebut, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia.  
Ironis! Ketika Geertz merupakan seorang antropolog yang memahami Islam Indonesia penuh dengan sinkretisme. Dengan demikian, selama 40 tahun pula Geertz memahamkan pada dunia bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah salah satu bentuk sinkretisme sehingga tesis A. Khoirul Anam di atas telah menemui klimaksnya ketika muslim Indonesia tidak diperhitungkan di dunia.
Geertz, selama 40 tahun malang melintang memahamkan budaya Islam Nusantara yang dalammainstream-nya bersifat sinkretik memunculkan hipotesis dalam pikiran penulis bahwa paham sinkretisme sesungguhnya terbentuk dengan sendirinya atau justru dibentuk dan didesain oleh pengamat Barat sendiri?

Penulis mempunyai pemahaman bahwa hakikat Islamlah yang mesti menjadi perhatian bersama dalam memahami Islam wetu telu atau Islam kejawen, misalnya. Sebab dari hakikat itulah kita dapat memahami keotentikan Islam dengan berbagai praktik keagamaan berbasis lokal menuju Tuhannya; bukan Islam yang dipahami secara simbolistik berupa jubah dan jenggot seperti yang nampak di Arab.

Artikel ini dimuat di NU Online, 10 Februari 2014

Read More

Senin, 13 Januari 2014

Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Wali Songo

Oleh Fathoni


Pendahuluan
Walisongo dalam pengertian yang paling familiar oleh masyarakat Indonesia ialah wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Siapa saja yang termasuk dalam kelembagaan walisongo? Banyak versi. Agus Sunyoto mengemukakan anggota walisongo yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syaikh Siti Jenar, Sunan Kudus, dan Raden Patah.[1]
Sedangkan Arman Arroisi menjelaskan biografi walisongo dengan anggota yang secara umum kita telah mengetahui yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan Sunan Muria.[2] Manakah yang tepat? Kita di sini tidak bermaksud membahas yang demikian.
Walisongo merupakan tokoh yang sangat fenomenal, sebab dengan berbagai tradisi, budaya, dan kepercayaan orang-orang Nusantara yang sangat beragam, namun dapat menyebarkan misi agama Islam dengan baik sehingga tidak menimbulkan konflik secara frontal.
Pendekatan yang digunakan oleh para wali dalam meng-Islamkan Nusantara perlu menjadi pijakan intelektual. Sebab, bangunan atau konstruksi pemikiran sosial yang dibalut dengan kebudayaan yang berkembang pesat di Nusantara justru menjadi energi positif bagi para wali dalam berdakwah.
Berangkat dari latar belakang itu, Konstruksi pemikiran sosial dan kebudayaan seperti apakah yang digunakan oleh para Walisongo?

1.    Teori Konstruksi Sosial
Teori Konstruksi Sosial merupaka bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann.[3]  
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi.
Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah memperoleh lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann.[4]
Hal ini bukan bukan bermaksud mengidentifikasi konstruk pemikiran social walisongo dengan tokoh-tokoh barat tersebut. Namun, komparasi dan korelasi antara keilmuan masa kini.

2.   Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Walisongo
Tradisi dan budaya yang berkembang di Nusantara ketika itu cukup beragam dengan banyaknya macam-macam bentuk budaya, serta aliran kepercayaan sebelum Islam yang dibawa oleh walisongo. 
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam.
Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam.
Dengan kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi budaya yang dikembangkan oleh Walisongo, yakni aristektur masjid sebagai representasi tatanan sosial egaliter,
wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

1)   Arsitektur Masjid Representasi Tatanan Sosial Egaliter
Arsitektur masjid dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari konsep masjid yang ada di Timur Tengah dengan vihara, pura, dan candi. Setidaknya, ada tiga entitas arsitektur masjid yang perlu dielaborasi, yakni atap masjid bersusun tiga, bentuk
mustaka, dan bentuk menara.
Model arsitektur masjid yang demikian itu tidak ditemukan di negara asal Islam, yakni Saudi Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Pertama, atap masjid yang tersusun dari atas tiga lapis atap sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Agung Demak dan masjid-masjid lainnya dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari pura. Dalam tradisi Hindu yang syarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannya.

Pura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan), dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi para raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja atau bangsawan, dan hanya digunakan untuk para raja dan bangsawan.
Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa, dan digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Pura model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan, tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.
Mungkin sekali, Walisongo dengan sengaja mengadopsi filosofi arsitektur Pura dengan atap bersusun tiga tersebut untuk membuat rakyat jelata tidak canggung untuk bergabung di tempat tersebut.[5]
Namun demikian, Walisongo tidak menjadikan masjid dengan atap bersusun tiga tersebut hanya untuk para rakyat jelata, melainkan untuk umat Islam secara keseluruhan, termasuk para bangsawan dan bahkan raja. Di samping sebagai raja, Raden Patah juga sekali waktu menjadi imam di Masjid
Agung Demak yang diikuti oleh para bangsawan dan rakyat jelata. Dengan demikian, Walisongo sebenarnya secara cultural telah berusaha melakukan perombakan tatatan masyarakat yang kental dengan sistem kasta dan status sosial menjadi masyarakat yang egaliter dan berkeadilan—yang merupakan bagian dari esensi ajaran Islam.
Arsitektur masjid yang terdiri dari tiga atap juga dapat diangap sebagai adopsi dari konsep arsitektur candi agama Budha. Dalam filsafat Budha, candi yang terdiri dari tiga lantai merepresentasikan filsafat perjalanan ruh manusia. Lantai pertama
sebagai representasi alam sebelum manusia; lantai kedua sebagai representasi alam manusia; dan lantai ketiga sebagai representasi alam pasca melewati lingkaran karma. Adapun stupa merupakan representasi penyatuan ruh manusia dengan jiwa kosmik penggerak lingkaran karma. Masjid yang beratap tiga lapis dengan puncaknya diletakkan mustaka dapat dilihat sebagai adopsi dari candi Budha tersebut.
Hanya saja, Islam memberikan penjelasan teologi yang berbeda dari agama Budha. Dalam Islam, proses perjalanan ruh manusia dari alam arwah ke alam dunia ke alam kubur, dan selanjutnya ke alam akhirat hanya berlangsung sekali. Oleh karena itu, perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa Islam tidak mengenal adanya konsep reinkarnasi sebagaimana agama Budha. Hal ini menunjukkan bahwa para Walisongo menyadari frame pemikiran masyarakat tentang arsitektur tempat ibadah. Jadi, mereka mendekatkan ajaran teologi Islam dengan menggunakan instrumen budaya yang telah ada, dan mengisinya dengan ajaran Islam.
Pertanyaan yang kemudan muncul adalah apakah desain arsitketur masjid dengan atap berlapis tiga tersebut lebih merupakan adopsi dari arsitektur Pura atau atau Candi Budha? Dilihat dari filosofi dan semangat budaya yang dibangun tampaknya penyesuaian dengan Pura lebih dekat daripada penyesuaiannya dengan Candi Budha. Alasannya adalah ketika Islam datang maka daerah-daerah yang menjadi sasaran dakwah Walisongo lebih banyak terpengaruh oleh ajaran dan budaya Hindu daripada Budha. Selain itu, ide persamaan harkat kemanusiaan yang diusung melalui simbolisasi penggunaan masjid untuk semua umat tanpa melihat kelas sosial dipandang lebih dapat menyentuh langsung hati masyarakat yang ketika itu sangat kental dengan sistem kasta daripada konsep teologi kehidupan ataupun eskatologi yang biasanya akan dibangun belakangan. Namun demikian, bisa jadi Walisongo mengadopsi kedua bentuk tersebut, pura dan Candi Budha, secara bersamaan agar lebih mendekati masyarakat yang sudah terkena pengaruh Hindu dan Budha dalam waktu yang panjang.
Kedua, mustaka masjid yang berbetuk seperti nanas adalah khas Indonesia. Hal ini lebih merupakan model dari arsitektur Pura atau Vihara dalam budaya Jawa. Penulis menduga bahwa mustaka yang berbentuk setengah lingkaran dengan atasnya lancip barulah ditemukan diakhir-akhir abad 18 di Indonesia setelah kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh, kuat dan mempunyai hubungan langsung dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia. Masjid dengan model mustakasetengah lingkaran tersebut utamanya terdapat di Aceh. Adapun masjid di Jawa masih didominasi oleh model mustaka berbentuk nanas sampai pertengahan abad ke-20. Hal itu menunjukkan bahwa bahwa arsitektur masjid sebagai pusat pengembangan komunitas Muslim dirancang oleh Walisongo sesuai dengan budaya setempat. Walisongo tampaknya tidak khawatir bahwa mustaka yang bergaya pura atau vihara tersebut akan menghilangkan identitas Islam.
Hal ini dapat diartikan bahwa Walisongo lebih menekankan pada dimensi esensi daripada dimensi artifisial dalam beragama. Mereka dapat membedakan antara inti ajaran dari kebudayaan yang melingkupinya. Mereka lebih mementingkan dilaksanakannya esensi atau substansi ajaran agama oleh masyarakat daripada maraknya simbol keagamaan. Mereka mengusahakan agar Islam dapat memberikan kontribusi riil bagi masyarakat daripada mengusahakan Islam diterima secara
Formalistic dan dipahami secara formalistik pula.
Ketiga, menara-menara3masjid yang dibangun pada masa Walisongo maupun masa setelahnya sangat khas dengan budaya Jawa. Bahkan, menara Masjid Sunan Kudus memanfaatkan menara dari bekas menara Pura. 4 Fenomena ini juga mempertegas sikap adaptif Walisongo terhadap budaya masyarakat setempat.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional. Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial.
Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat. Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional.
Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial. Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.

2)   Wayang Sarana Membangun Teologi dan Konstruksi Sosial
Wayang merupakan bentuk kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai pengganti dari teologi Hindu. Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabaratadan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu.
Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur nilainilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya, walisogo hanya mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu (dan tentunya juga teologi Budha) yang terdapat di dalamnya.
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan
pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci Surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.5Pemaknaan baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.
Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi visi sosial kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi.
Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar  yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis.
Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti seorangyang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman.
Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata baghá yang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.[6]
Enam Karakter-karakter punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan sesame manusia, Tuhan, dan alam semesta.

3)   Seni Islam Bernuansa Lokal
Jika dilakukan inventarisasi secara intensif, maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat. Dari sisi kesenian, kita dapat mencatat kreasi Walisongo yang berupa tembang macapat, lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan, dan bentukbentuk permainan untuk anak-anak dan remaja.
Walisongo mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat. Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut.
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh, sinom, mijil, dan dandang gula. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti ilir-ilir, bagi masyarakat umum.
Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungan dan trempolo kendang.
Dalam banyak hal, permainan tersebut dimainkan dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu dan mainan tersebut banyak dilakukan di sekitar masjid sehingga mendekatkan remaja dan anak-anak kepada masjid. Di samping itu, lagu-lagu dolanan, model-model permainan maupun lagu macapat tersebut dirancang secara
filosofis sehigga mereka mempunyai nilai pedagogis.
Dalam perspektif ini, ketika anak-anak bermain dan menyanyikan lagu dolanan ataupun orang dewasa melantunkan lagu macapat, mereka sebenarnya sedang mempelajari, memahami, dan meresapi sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam elemen budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika aktivitas itu dilakukandi sekiar masjid—yang ketika itu merupakan arena publik dengan multi fungsi—termasuk tempat kesenian dan hiburan rakyat.

KESIMPULAN

Pemahaman Walisongo dan generasi sesudahnya dan sampai sekarang di Indonesia terhadap agama dan budaya membuat mereka dapat menghargai kebudayaan dan situs budaya lokal yang telah ada dan terus berkembang. Mereka menjaga sikap toleran dan inklusif-transformatif tersebut meskipun mereka pada akhirnya menjadi masyarakat mayoritas. Oleh karena itu, hingga sekarang kita masih dapat menyaksikan megahnya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Gedong Songo, Menara Kudus, dan lain-lain.

Kreasi budaya yang dipromosikan Walisongo selalu mengapresiasi budaya setempat. Hal itu semua dilakukan oleh Walisongo untuk menghormati budaya setempat tanpa menghilangkan keharusan untuk menginternalisasikan ajaran Islam.
Bahkan, penghargaan terhadap tradisi juga masih ada yang berkembang hingga sekarang. Sebagai contoh, larangan Sunan Kudus bagi masyarakat muslim Kudus untuk memakan daging sapi, menurut Abdurrahman Mas’ud, masih dijaga hingga
sekarang meskipun mereka mengetahuinya sebagai halal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari toleransi budaya yang menyatu dalam diri mereka.
Walisongo merupakan desainer dan perancang masyarakat Muslim yang inklusif-transformatif. Mereka mengembangkan Islam dengan menggunakan media kebudayaan lokal setelah diberi muatan nilai-nilai Islam terhadapnya. Hal ini bukan berarti bahwa Walisongo mengaburkan ajaran Islam dan menghilangkan identitas umat Islam.
Islam tidak kehilangan identitasnya karena akulturasi budaya merupakan strategi kebudayaan, bukan tujuan akhir dari proses rekonsruksi masyarakat itu sendiri.
Walisongo sebagai pemimpin umat Islam sekaligus pengembang Islam dan pengelola masyarakat muslim awal di Indonesia telah menggunakan strategi akulturasi budaya.
Hal itu mengimplikasikan kesadaran mereka terhadap kenyataan latar belakang budaya dan keyakinan yang plural yang terdapat di Indonesia.
Setidaknya, Walisongo telah membuktikan dalam sejarah bahwa strategi akulturasi budaya telah mampu membangun masyarakat Islam di tengah-tengahmasyarakat plural, tanpa kehilangan indentitas keislamannya. Keberhasilan tersebut dapat menjadi titik tolak refleksi umat muslim Indonesia untuk membangun peradaban Islam dan bingkai keindonesiaan.

Daftar Pustaka

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta: IIMan, 2012.

 Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo,  Bandung: Rosda, 2004.

http://bit.ly/1d43GFM diakses 5 Desember 2013.

Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: Insan Cendekian, 2002.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. “Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. (Ed.). Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Barat danDakwah. Yogyakarta: SIPRESS.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Sternbrink, Karel A. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Sudarto. 2002. “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. Ed. Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Endnote:

       [1] Lihat Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Jakarta: IIMan, 2012), cet. Ke-1.
       [2] Lihat Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo, (Bandung: Rosda, 2004), cet. Ke-10.
       [3] http://bit.ly/1d43GFM, diakses 5 Desember 2013.
    [4] Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya : Insan Cendekian, 2002).hlm. 204

      [5] Menara masjid mungkin sekali merupakan hasil dari pengadopsian Islam terhadap tower tempat api bagi agama Majusi di Persia. Menara berasal dari bahasa Arab manárah artinya adalah tempat api. Di kalangan Persia, ada tempat yang tinggi yang ditempatkannya api abadi dan merupakan arah bagi umat Majusi Persia dalam menyembah Dewa Api. Sebagai agama yang datang kemudian, Islam mengadopsi modelnya sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan agar suaranya terjangkau sampai jarak yang jauh.
       [6] Abdurrahman Mas’ud, “The Religion of Pesantren” dalam International Conference on Religious Harmony: Problem, Practice, and Education in Yogyakarta-Semarangpada 27 September-3 Oktober 2004 yang diselenggarakan oleh International Association for History of Religion (IAHR), hal. 3.
Read More