Oleh
Fathoni Ahmad
Secara
leksikal, tradisi berarti kebiasaan. Ya, kebiasaan yang berkesinambungan dalam
kehidupan masyarakat sehingga tak jarang manusia meyakininya sebagai sebuah
laku sosial maupun keagamaan yang mesti dilaksanakan. Oleh sebab itu, tak
jarang sebuah tradisi berbenturan dengan keyakinan agama bagi sekelompok orang,
terutama dalam lingkup agama Islam di Indonesia. Sebenarnya pemahaman seperti
ini kontradiktif mengingat agama Islam di Nusantara ini disebarkan melalui
instrumen tradisi dan budaya. Wali Songo, sebagai pelaku penyebaran Islam di
Nusantara tidak memberangus sedikitpun tradisi maupun budaya orang-orang
Nusantara. Justru mereka menjadikan semua itu sebagai media dalam proses
internalisasi nilai-nilai Islam sehingga Islam dengan mudah dapat merasuk ke
dalam hati mereka di tengah keyakinan nenek moyangnya yang telah berjalan selama
berabad-abad.
Tak
bisa dipungkiri, tradisi yang lahir dari manusia secara sosiologis memberikan
warna dan kekayaan dalam kehidupan sebagai sebuah media perekat secara humanis
dari orang per orang maupun sekelompok orang sehingga membentuk semacam tali
kasih kuat yang jika satu orang mengalami kesusahan, semua orang tentu akan
merasakan hingga timbul rasa ingin membantu. Misal tradisi sedekah bumi,
sekelompok orang menilainya sebagai sebuah laku agama yang dapat menggelincirkan
akidah. Padahal bagi orang-orang dengan pemahaman Islam secara substantif tidak
demikian. Sebab, dalam kemasan tradisi sedekah bumi tersebut, kita berdzikir
memuji Allah swt dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, kalimah tahlil, dan
kalimah-kalimah toyyibah lain yang kesemuanya bermuara kepada Allah dan
Kekasih-Nya Muhammad saw dengan khusyu dan penuh khidmat. Itulah pemahaman
orang-orang Nusantara dari zaman Wali Songo hingga sekarang yang tidak lagi
menjadikan para leluhur sebagai muara dari ritualnya. Hingga sekarang, 400
lebih suku bangsa di Indonesia dengan ribuan tradisi di dalamnya telah mampu
merekatkan seluruh bangsa Indoensia.
Jika
sebagian atau sekelompok orang ingin mereduksi atau menghancurkannya, maka
perbuatan tersebut sama saja dengan menghancurkan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Kalau dahulu tradisi digunakan oleh orang-orang Nusantara untuk meminta
pengasihan kepada para leluhur, tentu zaman sekarang pemikiran tersebut telah
hilang. Sebab, para Wali Songo dan ulama-ulama Nusantara telah mengisinya dengan
nilai-nilai Islam yang dibawa Kanjeng Nabi saw dengan tidak merusak tradisi.
Analoginya, jika ada sebuah gelas yang berisi comberan, kita tidak harus serta
merta membanting gelas untuk membuang comberannya. Cukup dengan membuang
comberannya untuk kemudian diisi dengan air putih bersih nan bening sehingga
kita tetap bisa menggunakan gelas tersebut selamanya. Inilah yang seharusnya
dipahami dari sebuah tradisi yang dapat menjadi media perekat kehidupan
masyarakat. Tentu peran para ‘alim ulama sangat penting dalam memahamkan esensi
Islamnya sehingga masyarakat tidak tergelincir dalam pemahaman yang keliru.
Dengan
ingin mereduksi tradisi, tentu sekelompok orang ini memahami Islam dari kulit
luarnya saja. Rekonstruksi kehidupan manusia yang terjalin melalui tradisi yang
memunculkan berbagai kekayaan pemikiran dan laku sosial serta dibalut dengan
kehidupan beragama dianggap sebagai sebuah kesesatan. Mereka menganggap Islam
bisa diterapkan hanya dengan ‘bercuap-cuap’ tanpa alat atau media. Padahal
selama ini, dakwah seperti itulah yang cenderung menciptakan sikap eksklusif (menutup diri) sehingga yang
timbul adalah sifat kaku dan keras dalam mendakwahkan Islam. Sedangkan dalam
sejarahnya, Islam disampaikan secara inklusif
(terbuka dengan siapapun dan apapun) dengan tidak gampangnya melontarkan
kata-kata kafir, sesat, bid’ah, dan sebagainya terhadap kelompok lain apalagi
dengan kelompoknya sendiri dengan alasan mengotori ajaran agama Islam karena
mencampuradukan Islam dengan tradisi dan budaya.
Jika
pemahaman dan sikap seperti ini yang dibawa oleh para Wali Songo, Islam di
Indonesia tidak akan sebesar seperti sekarang. Oleh karena itu, atas
jasa-jasanya, kesalehaannya secara sosial dan spiritual, dan kedekatannya
dengan dengan Allah swt, masyarakat Nusantara tidak henti-hentinya menziarahi
makam para Wali. Tapi sayang, dengan pola pikir piciknya pula, tradisi ziarah
juga dinilai sebagai perbuatan sesat oleh orang-orang eksklusif tersebut.
Tentu, masyarakat tidak bermaksud menyembah kuburan melainkan mendoakan orang
saleh dengan cara mengunjunginya. Apakah dengan shalat menghadap tembok lantas
kita menyembah tembok? Dari hal di atas mengandung esensi bahwa hanya jasadlah
yang meninggal, ruh tetap hidup. Kendati demikian, jasad kekasih Allah yaitu
para Nabi dan Wali tidak akan hancur untuk selamanya karena dipelihara Allah.
Oleh sebab itu, orang-orang saleh yang telah meninggal dapat menjadi perantara
(wasilah) permohonan kita kepada
Allah, karena mereka sangat dekat dengan-Nya. Seperti kita hendak memetik buah
pada ketinggian, sedangkan kita tak bisa memanjat, tentu kita butuh wasilah tongkat untuk dapat memperoleh
buah tersebut.
Tradisi sebagai Sebuah
Simbol
Dalam
memperluas pemahaman terhadap tradisi dapat juga dengan mencatatkan diri bahwa
tradisi adalah sebuah simbol. Perlu kita ketahui bersama bahwa instrumen
pengingat yang paling efektif adalah simbol. Dengan kata lain, simbol adalah
pengingat. Misal di perjalanan, simbol S dengan strip garis merah mengingatkan
kita bahwa dilarang stop (berhenti)
di area tersebut. Jika tidak diingat, tentu akan membahayakan diri dan orang
lain. Begitu juga dengan simbol-simbol lalu lintas yang lain. Contoh lain, ada
seseorang yang hendak mencari Kantor Pusat Kementerian Agama di Jakarta. Dia
belum tahu letak gedungnya. Tiba-tiba di tengah jalan dia melihat gedung yang
cukup tinggi dari kejauhan dengan simbol segi lima warna hijau dengan gambar
kitab di tenganhya. Dia tahu bahwa itulah kantor yang dia tuju dengan mengingat
simbol atau logo yang terlihat dari jarak jauh tersebut.
Artinya,
simbol adalah petunjuk. Sama seperti sebuah tradisi. Jika tak bisa memahami
dari sudut pandang agama yang akhirnya hanya bisa mengkafirkan, cukup tradisi
dipahami sebagai simbol untuk mengingat ayat-ayat Tuhan. Contoh tradisi sedekah
bumi sebagai simbol untuk mengingatkan kita bahwa manusia harus selalu
bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat berupa kesuburan tanah dan melimpahnya
hasil panen. Melalui sedekah bumi juga, masyarakat dapat saling mengenal
sehingga tercipta kondisi yang guyub-rukun.
Begitu juga dengan tradisi ziarah kubur sebagai simbol pengingat manusia
akan kehidupan sementara di dunia. Selain itu, dengan mulianya para Wali yang
tempat peristirahatan terkahirnya banyak dikunjungi, cukuplah menjadi simbol
agar manusia berlaku baik selama hidupnya sehingga menjadi seorang kekasih yang
dikasihi Tuhannya.
Dengan
berpikir dan bersikap seperti demikian, tentu sebagai makhluk berbudaya, manusia
tidak akan mudah men-judge dan
menghukumi sesat apalagi berusaha menghilangkan sebuah tradisi yang jelas-jelas
mampu mempererat dan merekatkan kehidupan masyarakat dari berbagai kelompok,
suku, maupun keyakinan. Antipati terhadap sebuah tradisi, berarti tak simpati
pula dengan kekayaan berpikir manusia yang telah menjadi keniscayaan dalam mengelola
hidupnya sebagai seorang khalifah. Nah, dalam hal ini, tradisi dapat dianggap
sebagai sebuah instrumen manusia sebagai seorang khalifah dalam mengelola kehidupan
di bumi. Wallahu‘alam bisshowab...
Fathoni,
Pegiat Kajian Islam Nusantara STAINU
Jakarta
*) Tulisan ini pernah dimuat juga di NU Online (www.nu.or.id), Kamis, 9 Oktober 2014.
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi