Rabu, 26 Februari 2014

Dicari: Keunggulan Budaya

Oleh Abdurrahman Wahid

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner.
Read More

Kamis, 20 Februari 2014

Gak Ilok Dolanan NU

Oleh Sahlul Fuad


Ceritane wong tuo-tuo, Nahdlatul Ulama (NU) mbiyen tau dadi Partai Politik mergo politisi NU dikalahi terus nang Partai Masyumi. Padahal asline wong sing milih Masyumi mbiyen iku akeh sing wong NU-ne. Bareng wis dadi partai NU, tibae bener, sing milih NU akeh temenan.

Read More

Rabu, 19 Februari 2014

Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja

Oleh Dr KH MA Sahal Mahfudh

Aswaja atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidahsyari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini—sebagai identitas—ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstremitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyahtanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.

Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.

Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.

Dalam konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.

Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.

Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.

Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yangkedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.

Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.

Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.

Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.

Kebutuhan akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.

Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.

Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.

Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.

Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadhim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.

Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.

Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap israf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun muamalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.

*) Dikutip dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia NU Wilayah Sumatera Selatan, 16 Januari 1989 di Palembang.
Read More

Selasa, 18 Februari 2014

Hariri dan Semiotika Sosial Ustadz

Oleh: Fathoni Ahmad

Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan video ngamuknya seorang Ustadz ketika sedang berceramah. Hariri, ya, ustadz jebolan akademi dai TPI ini terlihat di video media sosial maupun media elektronik marah-marah bukan kepalang kepada petugas sound sistem.
Read More

IBU RISMA DI MATA PSIKOLOG SARLITO WIRAWAN SARWONO, Guru Besar Fakultas Psikologi UI

Oleh Sarlito W. Sarwono


Saya tidak kenal dengan Ibu Wali Kota Surabaya. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota metropolitan nomor dua se-Indonesia itu.

Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Shihab dalam acara ”Mata Najwa” yang ditayangkan pada 12 Februari 2014. Saya fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan airmatanya.

Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah fenomena luar biasa! Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Latjuba (yang belakangan dikabarkan comeback ke Indonesia dan langsung membuat heboh infotainment), tidak juga secantik Ibu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.

Tubuh Risma kekar berbalut jilbab dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya).

Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abbas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara.

Dia hanya seorang arsitek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kota Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya).

Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh konkret dari ”satunya kata dengan perbuatan”.

Dari ceritanya kepada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiositasnya sangat berbeda dari religiositas Wali Kota Bengkulu Helmi Harun, yang menjanjikan umrah dan haji gratis serta hadiah mobil Kijang Innova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin salat subuh berjamaah di masjid.

Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon peserta umrah/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir).

Religiositas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiaphari memberitahu kemana dia harus pergi hari itu, ke barat atau ke utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah.

Seperti anak telantar di pinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anakanak SD( karena ia mau menerima bayaran Rp1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampat (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu).

Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, ”Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai wali kota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon wali kota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya?” Pecahlah tangis Risma. Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai wali kota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa.

”Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masuk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga!” Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayat pun keluar dari bibirnya.

Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius daripada ustaz-ustaz kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali taushiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor gede dan sering masukinfotainment. ***

Tetapi ketika acara ”Mata Najwa” direkam, tampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu? Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya.

Capeksekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas, tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit).
Read More

Senin, 17 Februari 2014

Bhinneka Tunggal NU

Oleh Sahlul Fuad


Tiga puluh tahun lalu, 14-18 Rabiul Awal 1405 H, Muktamar NU ke-27 di Situbondo berhasil mengobrak-abrik konstelasi politik NU. Betapa tidak, setelah menyatakan NU mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dalam Munas NU 1983, setahun kemudian NU menyatakan kembali ke Khittah NU 1926. NU pensiun sebagai partai politik. NU tidak berpolitik praktis lagi. 

Alhasil, ada yang berderai air mata menangis bombai, ada juga yang berjingkrak-jingkrak menang gemilang. Kembali ke Khittah NU 1926 telah menjadi  keputusan strategis NU yang monumental hingga akhir zaman.

Cerita lahirnya ketetapan “Kembali ke Khittah NU 1926” memang tidak seperti cerita menetasnya telur buaya dalam timbunan tanah, yang tanpa dierami induknya bisa menetas sendiri. Ada proses dan perjuangan yang lumayan panjang. Sekelompok aktivis muda NU seperti Abdurrahman Wahid, Fahmi D. Saifuddin, Mahbub Djunaidi, Said Budairi, Slamet Efendi Yusuf, dan lain-lain merenungi dan mencari jalan keluar nasib politisi NU yang selalu saja dipecundangi oleh politisi lainnya. Bisa-bisanya PPP, sebagai bagian dari fusi Partai NU bersama tiga partai lainnya, tiba-tiba diacak-acak oleh penguasa orde baru dengan menjadikan H.J. Naro sebagai Ketua Umumnya, dan para politisi NU yang vokal dicoret dari daftar caleg PPP.

NU memang wajib marah pada masa itu. Keterlaluan jika diam saja, karena memang menyakitkan. Bagaimana pun NU melahirkan banyak kader dan selalu panen suara yang melimpah, tapi para “Singa NU” yang selayaknya dipasang di “Nomor Jadi” tak tahunya ditaruh di urutan buncit. Wajar saja NU kecewa dan sangat kecewa atas perlakuan itu. Ini memang bukan pil pahit pertama yang pernah ditelan NU. Kondisi tersebut juga pernah terjadi ketika NU tergabung dalam Partai Masyumi, namun saat itu NU keluar dan mendeklarasikan diri sebagai Partai NU. Beruntung NU menang. Namun dalam masa orde baru, NU tidak bisa berpartai sendiri, karena penguasa sudah menakar jumlah partai hanya tiga. Mau tidak mau, NU kembali ke langgar, pesantren, dan madrasah. Mengurus jami’yyah dan jamaah. Sedangkan para kader dan politisi NU bebas memilih partai yang disukai, terserah mau di mana. Boleh hijau, boleh kuning, boleh juga merah, yang penting siap berjuang untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara. Ketika PPP kembali dikuasai kader-kader nahdliyyin, NU keukeuh khittah NU 1926.

Ketetapan tiga puluh tahun yang lalu tak berubah. NU tetap berkiblat ke khittah NU 1926. Walau pada era reformasi NU berpeluang menjadi (dan mendirikan) partai, NU tetap bergeming. NU bukan partai politik dan tidak mau memihak partai apapun. NU hanya berhak mendukung kader NU-nya. Di mana pun itu. Alhamdulillah, kader NU diterima di berbagai partai yang warna-warni. Dan nyatanya orang NU jadi presiden, lalu ada juga yang jadi wakil presiden. Kalau jatah menteri, memang sudah sejak lahirnya Indonesia.

Dari sini tampaklah bahwa kemenangan NU bukanlah kemenangan partai tertentu. Kalau NU terjebak hanya berpihak pada satu partai, tampaknya menjadi suatu catatan kemunduran. Syukur jika partai yang dipihaki akhirnya tidak tinggal kenangan, karena hanya jadi cibiran para pemilih. Kemenangan NU adalah kemenangan kader NU dalam memperjuangkan nilai-nilai ke-NU-an dalam rangka mewujudkan: Islam rahmatan lil ‘alamin, rakyat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawe di negeri ini. Oleh karena itu tugas NU adalah menyiapkan kader sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya di tengah partai-partai politik mengalami  krisis kader seperti ini. 

NU Sebagai Suplier Kader Politik 

Dalam situasi politik multipartai seperti ini, dengan NU tetap berpegang pada keputusan Muktamar NU ke-27 itu tampaknya membuat perjuangan NU tetap bisa selamat, bahkan bisa untung. NU tanpa perlu risau dan ketar-ketir  bagaimana jika partai satu-satunya yang digadang-gadang bakal gulung tikar seperti partai-partai lain gara-gara suaranya minor. NU tetap punya wakil melimpah di parlemen. NU tetap punya corong perjuangan. Bahkan NU tetap bisa titip suara agar menggolkan kader-kader terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan publik, termasuk komisioner-komisioner, melalui seluruh jaringan politisi NU yang duduk di parlemen.

Sesungguhnya banyak orang yang terlahir tiba-tiba menjadi NU, tanpa ada proses baiat dan administrasi. Untuk menjadi NU pun makin mudah. Tanpa memilih “Partai NU” sekarang sudah bisa menjadi. Namun masih banyak orang menjadi NU gara-gara ikut pendidikan dan pengkaderan atau masuk struktur NU. Ini memang gejala unik. Menjadi NU ternyata bukan saja perkara struktural, tapi juga kultural. Oleh karena itu, NU sebagai organisasi tak bisa mengelak orang yang mengaku-aku dirinya sebagai NU. Mau dibuktikan secara terbalik pun susah. Sebab, untuk menjadi NU cukup dengan mengaku merasa NU. Cukup sudah. Sederhana. Oleh karena itulah, seluruh penduduk Indonesia ini sebenarnya dNU, kecuali yang tidak. 

Rupanya, jumlah orang NU bukan hanya banyak, tapi kemauannya juga beragam. Walaupun Ketua Umum PBNU menyatakan bahwa PKB adalah partainya orang NU, tetap saja banyak orang NU yang di PPP, di partai Golkar, di PDI Perjuangan, Partai Demokrat, di Hanura, di Gerindra, di PKPI, di NasDem, bahkan di PBB, di PAN dan di PKS. Toh, pada akhirnya PB/PW/PCNU tidak bisa mencegah “keliaran” orang-orang NU tersebut. Justru sebaliknya, NU tampak menjadi suplier kader utama politik dalam proses demokrasi ini.

NU sebagai suplier kader politik ini, walaupun tanpa disadari, merupakan salah satu kelebihan dan keberhasilan NU dalam proses kaderisasi. Secara struktur dan kultur NU memang memiliki banyak pintu dalam melakukan rekruitmen kader. Secara struktural ada pintu dari tingkat remaja hingga dewasa: ada IPNU/IPPNU, GP Ansor/Fatayat, hingga Muslimat. Sedangkan dari pintu kultural ada PMII dan pondok pesantren. Meskipun ada juga yang bergabung di GMNI atau HMI, tapi tidak menuntup kemungkinan mereka juga NU. Kondisi ini menunjukkan bahwa walau berbeda-beda, mereka tetap NU, meminjam istilah Empu Tantular dalam kitab Sutasoma, “Bhinneka Tunggal NU”.

Sementara, problem yang dihadapi oleh politik Indonesia terkini menunjukkan banyak partai politik yang membutuhkan asupan kader, terutama yang bermutu. Bahkan partai-partai besar pun ada yang tidak mampu melakukan rekruitmen dan kaderisasi yang sehat. Partai-partai politik peserta pemilu pada akhirnya banyak yang main comot caleg, tanpa perlu tahu mereka penjahat atau penipu. 

Di sinilah peluang dan peran bagi NU untuk benar-benar menyiapkan kader-kader terbaik, mengusung nilai-nilai dan cita-cita NU. Menggemakan ajaran dan prinsip ahlu sunnah wal jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau NU bukan partai politik, tapi suara NU mampu menggema di seluruh penjuru partai politik yang ada. NU tidak perlu ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalau ada politisi NU yang tidak berkutik, suntik dia. Kalau ada politisi NU yang melempem, goreng dia. Kalau ada politisi NU kurang ajar, jewer dia. Itu penting. Wallahu a'lam.

SAHLUL FUAD, Jamaah NU Miring

Sumber: nu.or.id
Read More

Selasa, 11 Februari 2014

Sinkretisme Islam Nusantara, Terbentuk atau Dibentuk?

Oleh Fathoni

Para pengamat Barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah Nusantara pada umumnya, sebagai bentuk sinkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di Timur Tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam putih"; bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik", dan Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam.

Adalah dua postulat yang dikemukakan oleh A. Khoirul Anam dalam rubrik Risalah Redaksi NU Online pada tanggal 19 September 2013 lalu: Mengapa Muslim di Nusantara atau Indonesia ini kurang diperhitungkan dalam dinamika sejarah perkembangan Islam, baik secara historis maupun geopolitik?
Persoalan ini penting untuk kembali diangkat ke permukaan karena faktanya Islam Nusantara secara genealogi, etnografi, historiografi, maupun secara antropologi banyak dimunculkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat melalui penelitiannya. Sebut saja salah satunya ialah Clifford Geertz, Antropolog Amerika dengan triloginya yaitu santri, abangan, dan priyayi dalam agama Jawa.

Secara historis, wacana yang berkembang ialah, ada tiga teori masuknya Islam di Nusantara yaitu teori Gujarat, Persia, dan Arab. Lantas, mana teori yang mendekati kebenaran untuk kemudian bisa dijadikan rujukan secara historis? Tentu di sini kita tidak bermaksud mengurai sejarah tersebut. Artinya, Islam yang berkembang di Nusantara memang berasal dari luar namun penuh dengan nuansa lokalitas.
Bahkan agama Hindu-Buddha yang konon dianggap sebagai agama pertama yang diyakini oleh para leluhur tidak sepenuhnya benar, sebab keyakinan dan kepercayaan yang muncul pertama kali ialah kepercayaan kepada roh para leluhur yang lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Keyakinan tersebut oleh orang-orang Nusantara terdahulu disimbolkan dengan mantera, keris, semedi di bawah pohon besar yang dikemas dalam laku (mirip ibadah) sehingga inilah yang kemudian menurut Clifford Geertz, menjadi sebuah sistem budaya (cultural system).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa para antropolog Barat menganggap bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretis?

Perlu diketahui bahwa, kepercayaan orang-orang Nusantara terdahulu seperti yang dikemukakan oleh Prof. Nur Syam membentuk sebuah nilai sehingga orang berbondong-bondong mengikuti ritual-ritual pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab dengan laku tersebut, para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu ketenangan batin, sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan sistem demikian berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke Nusantara.

Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa orang-orang Nusantara dahulu sudah mempunyai sifat toleran dalam menerima kepercayaan baru yang masuk. Termasuk dalam menerima ajaran agama monoteisme seperti Hindu, Buddha, Nasrani ataupun Islam.  Hal demikian juga bukan hanya karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk, tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam sehingga agama baru yang dianut oleh orang-orang nusantara tidak lepas dari tradisi lokal yang dibawa oleh agama atau kepercayaan terdahulunya.

Misal Islam di Sasak, Lombok yang diteliti oleh Dr. Erni Budiwanti. Dia mengemukakan bahwa Islam Sasak adalah Islam juga, hanya saja Islam yang bernuansa lokal. Dalam agama wetu telu yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang Islam sama sekali, misalnya doa-doa, tempat peribadatan masjid dan tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.

Hal inilah yang kemudian disimpulkan oleh para antropolog Barat bahwa Islam di Nusantara berbau sinkretisme. Namun, kemudian Budiwanti mengemukakan lagi bahwa sebenarnya peran negara dalam bentuk Islam waktu limo, yaitu Islam puritan yang ada di Lombok menjadi sangat menonjol di tengah suasana pribumisasi Islam yang mestinya berperan akomodatif bukan penetratif. Mengapa? Karena hal demikian akan banyak merugikan tradisi keagamaan lokal, dan ini tidak sesuai dengan karakter Islam sendiri yang ramah.

Lain Sasak, lain pula Jawa dengan kejawennya. Sampai saat ini, sebagian muslim di Jawa masih menampakkan ritual-ritual kepercayaan terdahulunya seperti disimbolkan dengan sesajen danslametan. Dengan trikotominya, santri, priyayi, dan abangan seperti yang telah dijelaskan, Clifford Geertz mengemukakan bahwa paradigma kehidupan kejawen relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan, seirama dengan dominannya ideologi abangan dalam kehidupan keagamaan dan sosial politik di Jawa. Dari  hal inilah Geertz melihat elemen-elemen yang sinkretik dan animistik dalam pola slametan di Jawa. Meskipun pada zaman sekarang lebih pada akulturasi budaya, sebab slametan diisi dengan bacaan-bacaan Al-Quran.

Demikian kita bisa memahami bahwa Clifford Geertz adalah satu dari antropolog Barat yang ‘menghukumi’ bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretisme. Geertz adalah seorang antropolog yang mengkonsentrasikan diri dalam antropologi budaya. Perspektif antropologinya seperti yang dikemukakan oleh Nur Syam ialah antropologi simbolik-interpretatif.  Aliran antropologi yang memperoleh perhatian luas dan menjadi perbincangan hingga akhir-akhir ini. Aliran ini dikembangkan oleh Geertz melalui berbagai kajiannya, terutama di Indonesia.

Lebih dari 40 tahun Geertz memperkenalkan antropologi Indonesia ke dunia luar. Bahkan karena kajian antropologinya tersebut, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia.  
Ironis! Ketika Geertz merupakan seorang antropolog yang memahami Islam Indonesia penuh dengan sinkretisme. Dengan demikian, selama 40 tahun pula Geertz memahamkan pada dunia bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah salah satu bentuk sinkretisme sehingga tesis A. Khoirul Anam di atas telah menemui klimaksnya ketika muslim Indonesia tidak diperhitungkan di dunia.
Geertz, selama 40 tahun malang melintang memahamkan budaya Islam Nusantara yang dalammainstream-nya bersifat sinkretik memunculkan hipotesis dalam pikiran penulis bahwa paham sinkretisme sesungguhnya terbentuk dengan sendirinya atau justru dibentuk dan didesain oleh pengamat Barat sendiri?

Penulis mempunyai pemahaman bahwa hakikat Islamlah yang mesti menjadi perhatian bersama dalam memahami Islam wetu telu atau Islam kejawen, misalnya. Sebab dari hakikat itulah kita dapat memahami keotentikan Islam dengan berbagai praktik keagamaan berbasis lokal menuju Tuhannya; bukan Islam yang dipahami secara simbolistik berupa jubah dan jenggot seperti yang nampak di Arab.

Artikel ini dimuat di NU Online, 10 Februari 2014

Read More