Selasa, 09 Juni 2015

Antara FIFA, Viva, dan Pipa


Dalam hidup ini, kerap kali mengundang idiom. Idiom, yang saya ingat merupakan ungkapan kata yang bermaksud lain. Seperti contoh, ‘gantung sepatu’ yang mempunyai maksud atau arti pensiun dalam dunia sepak bola. Namun dipikir-pikir, apa hubungannya dengan judul di atas dengan penjelasan awal ini?

Seperti kamu, saya juga pusing memikirkannya. Mungkin kita hanya bisa memahami, bahwa ketiga kata dari judul di atas hanyalah kata yang berbeda huruf, yakni huruf pertama dan ketiga. Tetapi bagi salah satu suku di Indonesia yang terletak di Jawa bagian barat, tentu ketiga kata tersebut tidak akan mengalami perubahan dalam pengucapannya. Bagi mereka, cukuplah ketiga kata tersebut diketahuinya dari fungsinya secara utilitas sebagai sebuah wadah. Kata wadah ini yang akan saya gunakan sebagai variabel tunggal dalam tulisan ini.

Ya, wadah. Saya cukup tertarik dengan seperti selongsong yang bernama Pipa. Benda yang memiliki diameter beragam, berbentuk lonjong, dan terbuat dari salah satu bahan kimia ini, PVC, sering saya jumpai, apalagi di Jakarta yang tanahnya penuh dengan banyak pipa. Untuk yang satu ini, saya tidak pernah menjumpainya, karena terlindung dibawah tanah.

Pipa juga tak saya pahami dalam iklan Wavin. Dulu, saya pikir ini iklan apa? Kok slogannya ‘air mengalir sampai jauh’. Maklum bro, dulu iklan itu tak menampakkan batang pipanya. Tetapi belakangan menampakkan diri hingga ‘seorang’ Wavin pun jelas dibenak saya. Jangan heran Man, itu iklan yang saya saksikan ketika zaman SD.

Pipa juga saya sikapi dengan heran ketika diri ini melakukan ‘Kemping’ (tulis kata ini sesuai yang kamu tahu aja) di daerah Pengebonan, dataran yang cukup tinggi di daerah Kecamatan Banjaharjo Kabupaten Brebes. Ketika itu sedang melaksanakan pelantikan Pramuka tingkat Bantara, saya salah satu pesertanya. Peristiwa di tahun 2005 itu mengingatkan saya tentang benda bulet-lonjong ini sebagai media bagi warga untuk menyalurkan air dari sumbernya ke rumahnya masing-masing.

Momen tersebut saya lihat ketika ‘mencari jejak’ di tiap tebing yang saya lewati. Tak hanya bermeter-meter ukurannya, tetapi juga bisa sampai kiloan meter panjangnya dan bertumpuk-tumpuk, saking banyaknya. Betapa luar biasa perjuangan penduduk. Tetapi saya pikir, enak juga ya, karena nggak perlu listrik untuk mengalirkannya, airnya pun bersih, dan tak akan mengalami gangguna aliran air. Karena sumber mata air tidak akan berhenti mengalirkannya. Berkah adanya alat yang bernama Pipa dalam mewadahi aliran air serta menjaga aliran air agar sampai pada tujuan dengan tetap bersih dan jernih.

Lain Pipa, lain halnya dengan Viva. Tahukah Viva di sini yang saya maksud? Betul, bukan perusahaan milik Grup Bakrie yang begerak dalam bidang media seperti yang kamu pikirkan. Iya kan? Mungkin kalian tahu judul lagu Viva Forever  yang dibawakan grup band asal Inggris, Spice Girls. Salah satu personilnya Victoria Adam, istri mega bintang sepak bola Inggris, David Beckham.

Grup yang seluruhnya digawangi kaum hawa ini membawakan lagu tersebut dengan luar biasa syahdu. Apalagi dengan intro gitar yang bikin senarnya bergetar. Ya iyalah, kan dipetik. Bukan itu maksud saya, dengan petikan nada yang bernuansa kemantapan, pendengar dibawa pada syair-syair lagu yang membuat jiwa serasa tergugah kembali. Ya elah...susah amat mau ngucapin kata ‘semangat’.

Ya, kata Viva pertama kali saya temukan dalam lagu gubahan Spice Girls tersebut pada tahun 2008 silam. Ketika itu memang saya masih acuh dengan kata tersebut dengan tidak berusaha mencari artinya. Lama-lama, saya punya ‘tanggung jawab moral’ untuk mencari arti dari kata ini karena saya sudah ‘terbius’ denga lagu ini. Jangan su’udzon bro, bukan karena yang nyanyiin rombongan Spice Girls, tetapi karena lagunya menggugah selera.

Semula saya hanya menerka, bahwa kata Viva berarti hidup. Maksud saya kata hidup yang sering diteriakkan oleh segerombolan orang dengan maksud mendukung seseorang. Ternyata, saya nggak salah! Memang yang Spice Girls maksudkan seperti itu. Setelah saya telusuri, contohnya saja dalam bahasa Spanyol, Viva La Vida yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris Long Live Life. Mungkin berbeda namun maksudnya sama jika diterjemahkan ke dalam bahasa tercinta kita. Bahasa Spanyol tersebut berarti ‘Jayalah Kehidupan’, sedangkan arti dalam bahasa Inggris tersebut ‘Hiduplah Kehidupan’. Sama bukan? Anggap saja sama.

Jika kita tarik ke dalam maksud penulisan artikel ini, kata Viva sarat dengan makna, hidup harus mewadahi kehidupan. Tentu hidup akan manjadi baik jika kehidupan yang kita miliki diisi dengan hal-hal baik. Begitulah tafsir sederhananya kira-kira. Apalagi pada salah satu baris syairnya, Spice Girls mengungkapkan Felt like my saviour, my spirit I gave you, yang artinya, ‘Terasa seperti penyelamatku, jiwaku kuberikan padamu’.

Anggap saja tafsirnya begini, jiwa dan ragaku dalam bentuk mendrible bola hingga membawanya sampai ke mulut gawang kuberikan dan kuserahkan semunya kepadamu. Bahkan sanksi dan peraturan yang kau buat, kami patuhi sebagai wadah sepak bola kami. Bahkan, sering juga diantara kami yang tetiba tergeletak di tengah lapangan, semula dikerubungi, lalu dipapah, kemudian dilarikan ke rumah sakit, selanjutnya dikabarkan meninggal karena serangan jantung. Problem akut yang dialami sebagian pesepak bola di dunia.

Akhirnya, sampai juga ke FIFA, bro. Tak banyak yang ingin saya urai. Kini wadah yang merajai klub-klub sepak bola di dunia itu sedang diguncang prahara. Dengan dinamika organisasi yang terlihat matang dan mapan, saya awalnya tidak berkaca diri kepada FIFA yang mewadahi PSSI. Karena PSSI terlalu ‘kotor’ untuk dibandingkan dengan FIFA yang terlihat elegan, meski tertatih-tatih melihat Presidennya telah berumur hampir 80 tahun dan menahkodai FIFA selama 17 tahun.

Ternyata usaha reflektifku salah. Kini sebanyak 7 pejabat teras FIFA tertangkap tangan melakukan suap dan korupsi. Memang, hal ini bukan sesuatu yang luar biasa dalam pikiranku. Tetapi menjadi ‘emezing’ jika kita tautkan ke dalam kasus bobroknya sepak bola di Indonesia. Memiliki pemain berbakat, tetapi nihil prestasi. Kita memang tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik sana. Namun kita juga bisa memahami, bahwa pemain-pemain Timnas Indonesia seakan ‘dipaksa’ menang dan juara ketika kompetisi di dalamnya tidak mengindahkan menang dan kalah secara sportif.

Apakah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? Apakah kelakukan anak tidak jauh dari bapaknya? Atau jangan-jangan kelakuan FIFA tersebut menjadi semacam virus yang dari dulu ikut andil menularkan kebobrokan penyakitnya kepada PSSI? Entahlah. Yang jelas, sama-sama belajar menjadi ‘bajingan’ jadi kemungkinan besar, bukan? Lantas, apakah korelasi antara ketiga kata di atas? Tak ada. Yang ada hanyalah rumusan variabel tunggal, yakni Wadah! Hehe.....



Jakarta, 29 Mei 2015


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi