Oleh: Fathoni Ahmad
Penelitian yang
dilakukan oleh lembaga survei terkemuka di Indonesia, Lembaga Survei Indonesia
(LSI) pada tahun 2013 terhadap warga NU (nahdliyin)
di Indonesia menyebutkan, bahwa jumlah nahdliyin
sebanyak 36,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata
lain, jika penduduk Indonesia 250 juta jiwa, maka tak kurang dari 91 juta jiwa adalah
warga NU menurut survei tersebut.
Mayoritas nahdliyin tinggal di pedesaan, terutama
di wilayah provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng). Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2014, Jatim dan Jateng merupakan
provinsi denga jumlah penduduk miskin terbanyak, masing 4,72 juta orang dan
4,56 juta orang. Dari 4,72 orang miskin di Jatim yang merupakan basis warga NU
terbesar di Indonesia, sebanyak 3,21 juta orang atau 68 persen tinggal di
pedesaan.
Itulah data yang
penulis peroleh dari hasil diskusi Nahdlatul Ulama (NU) bersama harian Kompas
pada Selasa (27/1) lalu yang dilansir di Kompas edisi Kamis, 29 Januari 2015.
Diskusi yang bertajuk “Peranan NU di Tengah Perubahan Kekuatan Global” tersebut
menghadirkan beberapa tokoh NU seperti mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi,
Sekjen PBNU Marsudi Syuhud, Ketua Umum Muslimat NU yang juga Menteri Sosial RI,
Khofifah Indar Parawansa, dan Pemimpin Redaksi NU Online, situs resmi NU, Syafi’
Aliel’ha.
Namun, penulis tidak
bermaksud menjelaskan pemaparan yang dilakukan oleh narasumber-narasumber
tersebut, melainkan berusaha menyampaikan kembali bahwa dari puluhan juta warga
NU tersebut, sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan
data di atas. Padahal warga NU di pedesaan setiap saat dan tiap waktu
menyumbangkan sebagian besar kebutuhan masyarakat Indonesia melalui hasil
pertanian yang mereka hasilkan. Namun, mereka terus mengalami kepayahan dengan
hasil panennya yang harus dijual dengan harga murah. Tak sedikit yang mengalami
kerugian besar karena uang yang dihasilkan hanya bisa untuk menutupi hutang
pupuk, bahkan masih menyisakan hutang.
Perlu diketahui,
sebagian besar petani di pedesaan hutang pupuk dengan harga yang terus
meningkat, mereka seolah bertaruh dengan usahanya memeras keringat setiap hari.
Karena mereka tidak berdaya dengan
permainan harga panen hasil taninya sehingga kerap mengalami kerugian besar
karena hasil panennya dihargai murah. Bahkan ada yang menggunakan hasil taninya
untuk bibit saja untuk menghadapi musim tani berikutnya. Hal ini terjadi di
sebagian besar petani bawang merah di daerah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dan
daerah-daerah lain di Indonesia.
Fenomena tersebut
terjadi setiap tahun. Sia-sia belaka secara fisik, tenaga, dan waktu yang juga
menjadi modal mereka selain limpahan hutang pupuk. Bahkan penulis merasakan
keprihatinan mendalam sebagai seorang yang lahir di desa. Bagaimana tidak,
pemerintah yang seharusnya menjadi pengendali dan penjaga harga hasil panen
petani mendiamkan para tengkulak untuk bermain harga. Artinya, ada kekosongan
dan keterputusan peran pemerintah di antara petani sehingga diambil alih oleh tengkulak
untuk mempermainkan harga yang berdampak pada kerugian petani secara terus
menerus.
Dari persoalan ini,
kita bisa mengambil pelajaran dari Jepang. Sebagai salah satu negara maju
secara teknologi maupun kebudayaan, pemerintah Jepang sangat perhatian dengan
yang namanya profesi petani. Produk-produk petani lokal dipatenkan. Harga
terkendali sehingga petani di sana sejahtera. Pemerintah sekuat tenaga
memberdayakan hasil tani lokal dengan tidak mengimpor yang akan membuat produk
lokal tergencet dengan harga murah. Bahkan tak jarang dengan suntikan modal
secara moral dari pemerintah, petani Jepang terus melakukan inovasi, sehingga
produk pertanian mempunyai kualitas tinggi. Bahkan tak jarang petani di sana
bergelar Doktor (Ph.D) bukan seperti di Doktor pertanian di Indonesia yang
senangnya duduk empuk di kursi kantor yang tidak ada korelasi dengan bidang
akademisnya sehingga muncul plesetan Doktor ialah orang yang ‘mondok di kantor”
bukan berlumuran tanah mengadvokasi petani di desa untuk mengembangkan kualitas
hasil tani. Ironis lagi, banyak sarjana pertanian yang kontraproduktif dengan
bekerja sebagai pegawai di Bank.
Peran
NU untuk Petani Indonesia
Tak dipungkiri, petani
di pedesaan adalah warga NU yang sebagian besar nasibnya tak menentu. Kerja
kerasnya memberikan ‘makan’ masyarakat negeri tidak dibayar tuntas dengan apa
yang disebut kesejahteraan. Padahal menurut pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari,
“petani itulah penolong negeri”. Dengan nir-kesejahteraan
dari kerja keras warga negara, tentu pemerintah sebagai pengambil kebijakan
negara menjadi anomali. Padahal, keputusan, tindakan, dan kebijakan pemerintah
terhadap rakyatnya harus terkait dengan kesejahteraan mereka (tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyatihi manutun
bil maslahah) seperti itulah teori hukum Islam (qawaidul fiqh) menyebutkan.
Di usia yang ke-89
tahun ini, NU memiliki peran strategis dalam memberikan pendampingan petani
untuk menghubungkannya dengan kebijakan pemerintah yang menyangkut persoalan
petani. Pertama, sebagian besar
petani di pedesaan adalah warga NU. Kedua,
paradigma negara agraria makin tereduksi sehingga kebijakan pemerintah tak
menyentuh secara fundamental
(mendasar) terhadap nasib petani yang terus bergelut dengan kepayahannya
sendiri. Ketiga, potensi secara kuantitas
petani NU jika tak diimbangi dengan kesejahteraan dapat menggerus prinsip Islam
damai mengingat paham-paham keagamaan radikal atau Islam garis keras sudah
menyebar ke pelosok desa dan tak jarang mempengaruhinya dengan iming-iming
materi. Keempat, komitmen presiden
Joko Widodo (Jokowi) yang berupaya membangkitkan sektor pertanian dengan
membentuk Kementerian Agraria dan Kementerian Desa sebagai perluasan
Kementerian PDT. Karena menurut Jokowi, membangun Indonesia harus berawal dari
membangun desa.
NU sebagai organisasi
sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah
ijtima’iyyah) dengan lembaga pertaniannya (LPNU) merupakan mitra strategis
bagi pemerintah untuk menggerakkan regulasi agar berpihak kepada petani. Secara
organik, petani juga membutuhkan
‘tangan’ NU. Karena mereka merasa hanya punya NU untuk menyambungkan aspirasi.
Bahkan kesejahteraan dalam ‘mengurus’ negeri yang tak kunjung hadir, ‘digenggam’
secara ikhlas oleh mereka, mirip dengan keikhlasan perjuangan para kiai-kiai NU
sejak zaman kolonial hingga sekarang dalam memberdayakan umat secara moral dan
spiritual. Dengan banyaknya kader-kader NU di pemerintahan saat ini, tentu
lebih mudah bagi NU untuk lebih memperhatikan kesejahteraan petani.
Selain itu, hal ini
juga selaras dengan visi Presiden Jokowi yang ingin menguatkan ketahanan pangan
melalui petani sehingga tidak tergantung dengan produk impor. Karena menurut
penulis, selama ini yang menurunkan tingkat produktivitas petani adalah cara instan
seperti impor. Sebab, semangat memproduksi menjadi terpatahkan karena jika
berhasil panen pun, harganya akan murah ditangan mereka karena tidak bisa
bersaing dengan produk impor dengan harga murah berkualitas bagus. Oleh karena
itu, prinsip swasembada pangan harus digerakkan NU bersama pemerintah untuk menyejahterakan
petani. Karena menyejahterakan mereka sama halnya menyejahterakan rakyat Indonesia,
sehingga dapat memperkokoh corak Islam damai di Indonesia dan mewujudkan masyarakat
berkeadilan.
Jakarta, 31 Januari 2015
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi