Kamis, 05 Maret 2015

NU dan Kesejahteraan Petani

Oleh: Fathoni Ahmad

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga survei terkemuka di Indonesia, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2013 terhadap warga NU (nahdliyin) di Indonesia menyebutkan, bahwa jumlah nahdliyin sebanyak 36,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, jika penduduk Indonesia 250 juta jiwa, maka tak kurang dari 91 juta jiwa adalah warga NU menurut survei tersebut.

Mayoritas nahdliyin tinggal di pedesaan, terutama di wilayah provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2014, Jatim dan Jateng merupakan provinsi denga jumlah penduduk miskin terbanyak, masing 4,72 juta orang dan 4,56 juta orang. Dari 4,72 orang miskin di Jatim yang merupakan basis warga NU terbesar di Indonesia, sebanyak 3,21 juta orang atau 68 persen tinggal di pedesaan.

Itulah data yang penulis peroleh dari hasil diskusi Nahdlatul Ulama (NU) bersama harian Kompas pada Selasa (27/1) lalu yang dilansir di Kompas edisi Kamis, 29 Januari 2015. Diskusi yang bertajuk “Peranan NU di Tengah Perubahan Kekuatan Global” tersebut menghadirkan beberapa tokoh NU seperti mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Sekjen PBNU Marsudi Syuhud, Ketua Umum Muslimat NU yang juga Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa, dan Pemimpin Redaksi NU Online, situs resmi NU, Syafi’ Aliel’ha.

Namun, penulis tidak bermaksud menjelaskan pemaparan yang dilakukan oleh narasumber-narasumber tersebut, melainkan berusaha menyampaikan kembali bahwa dari puluhan juta warga NU tersebut, sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan data di atas. Padahal warga NU di pedesaan setiap saat dan tiap waktu menyumbangkan sebagian besar kebutuhan masyarakat Indonesia melalui hasil pertanian yang mereka hasilkan. Namun, mereka terus mengalami kepayahan dengan hasil panennya yang harus dijual dengan harga murah. Tak sedikit yang mengalami kerugian besar karena uang yang dihasilkan hanya bisa untuk menutupi hutang pupuk, bahkan masih menyisakan hutang.

Perlu diketahui, sebagian besar petani di pedesaan hutang pupuk dengan harga yang terus meningkat, mereka seolah bertaruh dengan usahanya memeras keringat setiap hari.  Karena mereka tidak berdaya dengan permainan harga panen hasil taninya sehingga kerap mengalami kerugian besar karena hasil panennya dihargai murah. Bahkan ada yang menggunakan hasil taninya untuk bibit saja untuk menghadapi musim tani berikutnya. Hal ini terjadi di sebagian besar petani bawang merah di daerah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Fenomena tersebut terjadi setiap tahun. Sia-sia belaka secara fisik, tenaga, dan waktu yang juga menjadi modal mereka selain limpahan hutang pupuk. Bahkan penulis merasakan keprihatinan mendalam sebagai seorang yang lahir di desa. Bagaimana tidak, pemerintah yang seharusnya menjadi pengendali dan penjaga harga hasil panen petani mendiamkan para tengkulak untuk bermain harga. Artinya, ada kekosongan dan keterputusan peran pemerintah di antara petani sehingga diambil alih oleh tengkulak untuk mempermainkan harga yang berdampak pada kerugian petani secara terus menerus.

Dari persoalan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari Jepang. Sebagai salah satu negara maju secara teknologi maupun kebudayaan, pemerintah Jepang sangat perhatian dengan yang namanya profesi petani. Produk-produk petani lokal dipatenkan. Harga terkendali sehingga petani di sana sejahtera. Pemerintah sekuat tenaga memberdayakan hasil tani lokal dengan tidak mengimpor yang akan membuat produk lokal tergencet dengan harga murah. Bahkan tak jarang dengan suntikan modal secara moral dari pemerintah, petani Jepang terus melakukan inovasi, sehingga produk pertanian mempunyai kualitas tinggi. Bahkan tak jarang petani di sana bergelar Doktor (Ph.D) bukan seperti di Doktor pertanian di Indonesia yang senangnya duduk empuk di kursi kantor yang tidak ada korelasi dengan bidang akademisnya sehingga muncul plesetan Doktor ialah orang yang ‘mondok di kantor” bukan berlumuran tanah mengadvokasi petani di desa untuk mengembangkan kualitas hasil tani. Ironis lagi, banyak sarjana pertanian yang kontraproduktif dengan bekerja sebagai pegawai di Bank.

Peran NU untuk Petani Indonesia

Tak dipungkiri, petani di pedesaan adalah warga NU yang sebagian besar nasibnya tak menentu. Kerja kerasnya memberikan ‘makan’ masyarakat negeri tidak dibayar tuntas dengan apa yang disebut kesejahteraan. Padahal menurut pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, “petani itulah penolong negeri”. Dengan nir-kesejahteraan dari kerja keras warga negara, tentu pemerintah sebagai pengambil kebijakan negara menjadi anomali. Padahal, keputusan, tindakan, dan kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus terkait dengan kesejahteraan mereka (tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyatihi manutun bil maslahah) seperti itulah teori hukum Islam (qawaidul fiqh) menyebutkan.

Di usia yang ke-89 tahun ini, NU memiliki peran strategis dalam memberikan pendampingan petani untuk menghubungkannya dengan kebijakan pemerintah yang menyangkut persoalan petani. Pertama, sebagian besar petani di pedesaan adalah warga NU. Kedua, paradigma negara agraria makin tereduksi sehingga kebijakan pemerintah tak menyentuh secara fundamental (mendasar) terhadap nasib petani yang terus bergelut dengan kepayahannya sendiri. Ketiga, potensi secara kuantitas petani NU jika tak diimbangi dengan kesejahteraan dapat menggerus prinsip Islam damai mengingat paham-paham keagamaan radikal atau Islam garis keras sudah menyebar ke pelosok desa dan tak jarang mempengaruhinya dengan iming-iming materi. Keempat, komitmen presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berupaya membangkitkan sektor pertanian dengan membentuk Kementerian Agraria dan Kementerian Desa sebagai perluasan Kementerian PDT. Karena menurut Jokowi, membangun Indonesia harus berawal dari membangun desa.

NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dengan lembaga pertaniannya (LPNU) merupakan mitra strategis bagi pemerintah untuk menggerakkan regulasi agar berpihak kepada petani. Secara organik, petani juga membutuhkan ‘tangan’ NU. Karena mereka merasa hanya punya NU untuk menyambungkan aspirasi. Bahkan kesejahteraan dalam ‘mengurus’ negeri yang tak kunjung hadir, ‘digenggam’ secara ikhlas oleh mereka, mirip dengan keikhlasan perjuangan para kiai-kiai NU sejak zaman kolonial hingga sekarang dalam memberdayakan umat secara moral dan spiritual. Dengan banyaknya kader-kader NU di pemerintahan saat ini, tentu lebih mudah bagi NU untuk lebih memperhatikan kesejahteraan petani.

Selain itu, hal ini juga selaras dengan visi Presiden Jokowi yang ingin menguatkan ketahanan pangan melalui petani sehingga tidak tergantung dengan produk impor. Karena menurut penulis, selama ini yang menurunkan tingkat produktivitas petani adalah cara instan seperti impor. Sebab, semangat memproduksi menjadi terpatahkan karena jika berhasil panen pun, harganya akan murah ditangan mereka karena tidak bisa bersaing dengan produk impor dengan harga murah berkualitas bagus. Oleh karena itu, prinsip swasembada pangan harus digerakkan NU bersama pemerintah untuk menyejahterakan petani. Karena menyejahterakan mereka sama halnya menyejahterakan rakyat Indonesia, sehingga dapat memperkokoh corak Islam damai di Indonesia dan mewujudkan masyarakat berkeadilan.


Jakarta, 31 Januari 2015


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi