Minggu, 15 Februari 2015

Sinkretisme Islam Nusantara, Terbentuk atau Dibentuk?

Fathoni Ahmad

Para pengamat barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah nusantara pada umumnya, sebagai bentuk sinkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana yang mereka lihat di timur tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan "jubah dan warna hitam putih"; bukan bukan Islam dengan berbagai "corak warna dan batik", dan Indonesia memang tidak pernah diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam.

Adalah dua postulat yang dikemukakan oleh A. Khoirul Anam, NU Online (19/11) mengapa muslim di Nusantara atau Indonesia ini kurang diperhitungkan dalam dinamika sejarah perkembangan Islam, baik secara historis maupun geopolitik.

Secara historis, wacana yang berkembang ialah, ada tiga teori masuknya Islam di Nusantara yaitu teori Gujarat, Persia, dan Arab. Lantas, mana teori yang mendekati kebenaran untuk kemudian bisa dijadikan rujukan secara historis? Tentu di sini kita tidak bermaksud mengurai sejarah tersebut. Artinya, Islam yang berkembang di Nusantara memang berasal dari luar namun penuh dengan nuansa lokalitas.

Bahkan agama Hindu-Buddha yang konon dianggap sebagai agama pertama yang diyakini oleh para leluhur  tidak sepenuhnya benar, sebab keyakinan dan kepercayaan yang muncul pertama kali ialah kepercayaan kepada roh para leluhur lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Keyakinan tersebut oleh orang-orang Nusantara terdahulu disimbolkan dengan mantera, keris, semedi di bawah pohon besar yang dikemas dalam laku (mirip ibadah) sehingga inilah yang kemudian menurut Clifford Geertz, antropolog Amerika menjadi sebuah sistem budaya (Cultural System).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa para antropolog barat menganggap bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretis? Seperti yang dikemukakan oleh A. Khoirul Anam dalam Risalah Redaksinya, artinya bukan Islam seperti yang tergambar di Arab.  

Perlu diketahui bahwa, kepercayaan orang-orang Nusantara terdahulu seperti yang dikemukakan oleh Prof. Nur Syam membentuk sebuah nilai sehingga orang berbondong-bondong mengikuti ritual-ritual pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab dengan laku tersebut, para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu ketenangan batin, sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan sistem demikian berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke nusantara.

Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa orang-orang nusantara dahulu sudah mempunyai sifat toleran dalam menerima kepercayaan baru yang masuk. Termasuk dalam menerima ajaran agama monoteisme seperti Hindu, Buddha, Nasrani atapun Islam.  Hal demikian juga bukan hanya karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk, tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam sehingga agama baru yang dianut oleh orang-orang nusantara tidak lepas dari tradisi lokal yang dibawa oleh agama atau kepercayaan terdahulunya.

Misal Islam di Sasak, Lombok yang ditulis oleh Erni Budiwanti.  Dia mengemukakan bahwa Islam Sasak adalah Islam juga, hanya saja Islam yang bernuansa lokal. Dalam agama wetu telu yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang Islam sama sekali, misalnya doa-doa, tempat peribadatan masjid dan tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.

Hal inilah yang kemudian disimpulkan oleh para antropolog barat bahwa Islam di nusantara berbau sinkretisme. Namun, kemudian Budiwanti mengemukakan lagi bahwa sebenarnya peran Negara dalam bentuk Islam wetu limo, yaitu Islam puritan yang ada di Lombok menjadi sangat menonjol di tengah suasana pribumisasi Islam yang mestinya berperan akomodatif bukan penetratif. Mengapa? Karena hal demikian akan banyak merugikan tradisi keagamaan lokal, dan ini tidak sesuai dengan karakter Islam sendiri yang ramah.

Lain Sasak, lain pula jawa dengan kejawennya. Sampai saat ini, sebagian muslim di jawa masih menampakan ritual-ritual kepercayaan terdahulunya seperti disimbolkan dengan sesajen dan slametan. Dengan trikotominya, santri, priyayi, dan abangan, Clifford Geertz mengemukakan bahwa paradigma kehidupan kejawen relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan, seirama dengan dominannya ideologi abangan dalam kehidupan keagamaan dan sosial politik di Jawa. Dari  hal inilah Geertz melihat elemen-elemen yang sinkretik dan animistik dalam pola slametan di jawa. Meskipun pada zaman sekarang lebih pada akulturasi budaya, sebab slametan diisi dengan bacaan-bacaan al-Quran.

Demikian kita bisa memahami bahwa Clifford Geertz adalah satu dari antropolog barat yang ‘menghukumi’ bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretisme. Geertz adalah seorang antropolog yang mengkonsentrasikan diri dalam antropologi budaya. Perspektif antropologinya seperti yang dikemukakan oleh Nur Syam ialah antropologi simbolik-interpretatif.  Aliran antropologi yang memperoleh perhatian luas dan menjadi perbincangan hingga akhir-akhir ini. Aliran ini dikembangkan oleh Geertz melalui berbagai kajiannya, terutama di Indonesia.

Lebih dari 40 tahun Geertz memperkenalkan antropologi Indonesia ke dunia luar. Bahkan karena kajian antropologinya tersebut, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia.  

Ironis! Ketika Geertz merupakan seorang antropolog yang memahami Islam Indonesia penuh dengan sinkretisme. Dengan demikian, selama 40 tahun juga Geertz memahamkan dunia bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah sinkretis sehingga tesis A. Khoirul Anam dalam Risalah Redaksi telah menemui klimaksnya ketika muslim Indonesia tidak diperhitungkan di dunia karena satu dari sebab tersebut.

Terlepas Islam di Nusantara itu bernuansa sinkretik atau animistik, penulis tetap mempunyai pemahaman bahwa hakikat Islamlah yang mesti menjadi perhatian bersama dalam memahami Islam wetu telu atau Islam kejawen misalnya. Sebab dari hal itulah kita dapat memahami keotentikan Islam dengan berbagai praktik keagamaan berbasis lokal menuju Tuhannya. Bukan Islam yang dipahami secara simbolistik berupa jubah dan jenggot seperti yang nampak di Arab.
 
Dengan demikian, dunia boleh-boleh saja menggambarkan Islam itu, ya Arab. Namun, nilai-nilai Islam otentik hanya ada di Indonesia. Terbukti, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi Islam Indonesia mampu aktif dalam percaturan perdamaian dunia secara ideologis-praktis yang hingga saat ini masih dihantui oleh terorisme global. Dari sudut pandang inilah Islam di Nusantara layak menjadi kiblat dunia Islam.  



Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online, Senin, 10 Februari 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi