Fathoni Ahmad
Para
pengamat barat melihat Islam di Indonesia, atau di wilayah nusantara pada
umumnya, sebagai bentuk sinkretisme, bukan Islam yang sebenarnya sebagaimana
yang mereka lihat di timur tengah; sebuah penampakan Islam yang seragam dengan
"jubah dan warna hitam putih"; bukan bukan Islam dengan berbagai
"corak warna dan batik", dan Indonesia memang tidak pernah
diproklamirkan sebagai sebuah negara Islam.
Adalah
dua postulat yang dikemukakan oleh A. Khoirul Anam, NU Online (19/11) mengapa
muslim di Nusantara atau Indonesia ini kurang diperhitungkan dalam dinamika
sejarah perkembangan Islam, baik secara historis maupun geopolitik.
Secara
historis, wacana yang berkembang ialah, ada tiga teori masuknya Islam di
Nusantara yaitu teori Gujarat, Persia, dan Arab. Lantas, mana teori yang
mendekati kebenaran untuk kemudian bisa dijadikan rujukan secara historis?
Tentu di sini kita tidak bermaksud mengurai sejarah tersebut. Artinya, Islam yang
berkembang di Nusantara memang berasal dari luar namun penuh dengan nuansa
lokalitas.
Bahkan
agama Hindu-Buddha yang konon dianggap sebagai agama pertama yang diyakini oleh
para leluhur tidak sepenuhnya benar,
sebab keyakinan dan kepercayaan yang muncul pertama kali ialah kepercayaan
kepada roh para leluhur lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Keyakinan
tersebut oleh orang-orang Nusantara terdahulu disimbolkan dengan mantera,
keris, semedi di bawah pohon besar yang dikemas dalam laku (mirip ibadah)
sehingga inilah yang kemudian menurut Clifford Geertz, antropolog Amerika menjadi
sebuah sistem budaya (Cultural System).
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah, mengapa para antropolog barat menganggap bahwa
Islam di Indonesia penuh dengan sinkretis? Seperti yang dikemukakan oleh A.
Khoirul Anam dalam Risalah Redaksinya, artinya bukan Islam seperti yang tergambar
di Arab.
Perlu
diketahui bahwa, kepercayaan orang-orang Nusantara terdahulu seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Nur Syam membentuk sebuah nilai sehingga orang berbondong-bondong
mengikuti ritual-ritual pemujaan, pembacaan mantera, semedi (meditasi), sebab
dengan laku tersebut, para penghayat keyakinan memperoleh sebuah nilai yaitu
ketenangan batin, sehingga membentuk sebuah makna dari ritualnya tersebut, dan
sistem demikian berjalan terus-menerus jika ada kepercayaan baru yang masuk ke
nusantara.
Dari
hal ini, kita bisa memahami bahwa orang-orang nusantara dahulu sudah mempunyai
sifat toleran dalam menerima kepercayaan baru yang masuk. Termasuk dalam
menerima ajaran agama monoteisme seperti Hindu, Buddha, Nasrani atapun
Islam. Hal demikian juga bukan hanya
karena tolerannya orang-orang Nusantara dalam menerima ajaran baru yang masuk,
tetapi juga agama atau kepercayaan baru yang masuk mampu menyesuaikan dengan
tradisi yang dibawa sejak zaman dahulu terutama Islam sehingga agama baru yang
dianut oleh orang-orang nusantara tidak lepas dari tradisi lokal yang dibawa
oleh agama atau kepercayaan terdahulunya.
Misal
Islam di Sasak, Lombok yang ditulis oleh Erni Budiwanti. Dia mengemukakan bahwa Islam Sasak adalah
Islam juga, hanya saja Islam yang bernuansa lokal. Dalam agama wetu telu yang paling menonjol dan
sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan
tentang Islam sama sekali, misalnya doa-doa, tempat peribadatan masjid dan
tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.
Hal
inilah yang kemudian disimpulkan oleh para antropolog barat bahwa Islam di
nusantara berbau sinkretisme. Namun, kemudian Budiwanti mengemukakan lagi bahwa
sebenarnya peran Negara dalam bentuk Islam wetu
limo, yaitu Islam puritan yang ada di Lombok menjadi sangat menonjol di
tengah suasana pribumisasi Islam yang mestinya berperan akomodatif bukan
penetratif. Mengapa? Karena hal demikian akan banyak merugikan tradisi
keagamaan lokal, dan ini tidak sesuai dengan karakter Islam sendiri yang ramah.
Lain
Sasak, lain pula jawa dengan kejawennya. Sampai saat ini, sebagian muslim di
jawa masih menampakan ritual-ritual kepercayaan terdahulunya seperti
disimbolkan dengan sesajen dan slametan. Dengan trikotominya, santri,
priyayi, dan abangan, Clifford Geertz mengemukakan bahwa paradigma kehidupan
kejawen relatif masih sangat dominan sehingga pola ritual slametan juga dominan, seirama dengan dominannya ideologi abangan
dalam kehidupan keagamaan dan sosial politik di Jawa. Dari hal inilah Geertz melihat elemen-elemen yang
sinkretik dan animistik dalam pola slametan
di jawa. Meskipun pada zaman sekarang lebih pada akulturasi budaya, sebab slametan diisi dengan bacaan-bacaan
al-Quran.
Demikian
kita bisa memahami bahwa Clifford Geertz adalah satu dari antropolog barat yang
‘menghukumi’ bahwa Islam di Indonesia penuh dengan sinkretisme. Geertz adalah
seorang antropolog yang mengkonsentrasikan diri dalam antropologi budaya.
Perspektif antropologinya seperti yang dikemukakan oleh Nur Syam ialah
antropologi simbolik-interpretatif.
Aliran antropologi yang memperoleh perhatian luas dan menjadi
perbincangan hingga akhir-akhir ini. Aliran ini dikembangkan oleh Geertz
melalui berbagai kajiannya, terutama di Indonesia.
Lebih
dari 40 tahun Geertz memperkenalkan antropologi Indonesia ke dunia luar. Bahkan
karena kajian antropologinya tersebut, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa
Utama dari Pemerintah Indonesia.
Ironis!
Ketika Geertz merupakan seorang antropolog yang memahami Islam Indonesia penuh
dengan sinkretisme. Dengan demikian, selama 40 tahun juga Geertz memahamkan
dunia bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah sinkretis sehingga tesis
A. Khoirul Anam dalam Risalah Redaksi telah menemui klimaksnya ketika muslim
Indonesia tidak diperhitungkan di dunia karena satu dari sebab tersebut.
Terlepas
Islam di Nusantara itu bernuansa sinkretik atau animistik, penulis tetap
mempunyai pemahaman bahwa hakikat Islamlah yang mesti menjadi perhatian bersama
dalam memahami Islam wetu telu atau
Islam kejawen misalnya. Sebab dari hal itulah kita dapat memahami keotentikan
Islam dengan berbagai praktik keagamaan berbasis lokal menuju Tuhannya. Bukan
Islam yang dipahami secara simbolistik berupa jubah dan jenggot seperti yang
nampak di Arab.
Dengan
demikian, dunia boleh-boleh saja menggambarkan Islam itu, ya Arab. Namun,
nilai-nilai Islam otentik hanya ada di Indonesia. Terbukti, Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai representasi Islam Indonesia mampu aktif dalam percaturan
perdamaian dunia secara ideologis-praktis yang hingga saat ini masih dihantui
oleh terorisme global. Dari sudut pandang inilah Islam di Nusantara layak
menjadi kiblat dunia Islam.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Islam
Nusantara STAINU Jakarta
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online, Senin, 10 Februari 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi