Selasa, 09 Juni 2015

Otentisitas Dakwah Wali Songo

Oleh: Fathoni Ahmad

“Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif. Namun, benar-benar ada secara historis, arkeologis, maupun secara sosiologis.” Itulah pernyataan Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo ketika buku gubahannya, Atlas Wali Songo meraih penghargaan sebagai buku terbaik 2014 versi Islamic Book Fair (IBF) dalam kategori Buku Nonfiksi Dewasa di Gedung Istora Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Sabtu, 1 Maret 2014 lalu.

Ya, buku Atlas Wali Songo: Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah karya sejarawan NU ini meraih pengahargaan IBF Award dalam pameran buku-buku Islam terbesar di Indonesia itu.

Melalui proses seleksi yang ketat, Atlas Wali Songo (Pustaka IIMaN) menyisihkan beberapa nominasi di antaranya Cak Nur: Banyak Jalan Menuju Tuhan karya Budhy Munawar Rachman (Mizan), Hijama or Oxidant Drainage Therapy (ODT) karya Azib Susiyanto, Sy (Gema Insani), Kaidah Tafsir karya Quraish Shihab (Lentera Hati), dan The New World Order karya Jagad A.Purbawati (Pustaka Al-Kautsar).

Buku Atlas Wali Songo tidak hanya menyajikan peristiwa sejarah, tetapi juga mengungkapkan bukti-bukti arkeologis mengenai proses penyebaran Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Wali Songo. Atas upaya penelitian ilmiahnya ini, Agus Sunyoto dan bukunya mendapat apresiasi dari ‘Begawan’ Arkeologi Universitas Indonesia, Prof Dr Mundardjito sebagai karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Guru Besar Arkeologi UI ini berkata, “Atlas Wali Songo menyediakan latar belakang kesejarahan yang memadai dan dengan dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Uraian informasi yang dimulai dari ruang lingkup luas secara geografis dan kultural, mampu mengantarkan informasi yang spesifik, terinci, dan runut” (hlm. xii).

Jadi secara akademis, bukti-bukti kesejarahan Wali Songo merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dibantahkan yang disajikan dalam buku ini. Secara otentik, Agus Sunyoto juga sering mengatakan, bahwa dirinya mempunyai literatur-literatur primer karya Wali Songo dan semuanya dalam tulisan Jawa, tidak ada satu pun karya Wali Songo yang menggunakan tulisan Arab Pegon. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena tulisan Jawa para Wali dalam karya-karyanya merupakan hasil akulturasi. Hal ini juga bukannya para Wali tidak bisa menuliskan karya-karyanya dalam bentuk huruf Arab, tetapi mereka berusaha menyesuaikan tulisannya dengan tulisan-tulisan yang berkembang di masyarakat ketika itu.

Dengan demikian, sungguhlah bahwa para Wali betul-betul menyesuaikan diri dengan tradisi dan budaya masyarakat sekitar dalam menyebarkan Islam, bukan hanya dalam bentuk tembang, praktik-praktik keagamaan dan lain-lain, tetapi juga dalam bentuk karya tulisan. Oleh karena itulah, Agus Sunyoto sendiri tidak yakin, bahwa Wali Songo digambarkan memakai pakaian dalam bentuk jubah yang merupakan pakaian model Arab.

Hal ini diungkapkannya karena dalam kidung Sunan Kalijaga pun yang berjudul ‘lir-ilir’, pakaian yang berkembang di tengah masyarakat kala itu disebut ‘dodot’, yaitu semacam kain panjang putih yang dilingkarkan hanya sampai dada. Pakaian ini dipakai oleh para pendeta Hindu sebagai panutan masyarakat ketika itu. Para wali tahu pakaian jenis shafir (seperti jubah), sifatnya eksklusif, mereka menilai tidak boleh memakai pakaian yang sifatnya eksklusif seperti itu. Kalau berada di tengah-tengah masyarakat, ya berpakaian seperti mereka. Jadi, jika para Wali tiba-tiba berpakaian jubah seperti itu, menurut hukum yang berlaku di masyarakat ketika itu, haram hukumnya. Lagipula, para wali tidak mau berpakaian yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Itulah mengapa dakwah Wali Songo sangat berhasil dalam meng-Islamkan Nusantara dengan cara Nusantara itu sendiri. Bukan dengan cara Arab, apalagi dengan menonjolkan simbol-simbol Arab.

Para Wali memahami human interest orang-orang Nusantara dengan cara menggunakan instrumen tradisi dan budaya yang telah berkembang dan memiliki daya pikat di tengah masyarakat, misal pertunjukan wayang yang kala itu juga sebagai pertunjukan spiritual dengan ritual yanh khas. Disebutkan dalam buku tersebut, wayang merupakan seni pertunjukan tertua sebagaimana tercatat dalam Prasasti Balitung berangka tahun 829 Saka (907 masehi) adalah wayang yang digelar untuk Tuhan (si galigi mawayang buat Hyang macarita bimmaya kumara). Selain itu, dalam Prasasti Wilasrama yang berangka tahun 852 Saka (930 Masehi), telah menyebut keberadaan seni pertunjukan yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut Wayang Wwang (hlm. 134).

Dalam konteks memosisikan seni pertunjukan wayang pada kedudukan semula, yakni sebagai pertunjukan yang bersifat spiritual dengan ritual khas, para Wali Songo melakukan pengambilalihan seni pertunjukan ini dengan sejumlah penyesuaian yang selaras dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa wayang adalah salah satu bukti arkeologis sejarah penyebaran Islam di Nusantara oleh para Wali. Selain itu, tembang, kidung, dan lain-lain juga sudah pasti dihasilkan oleh para Wali terkait nyanyian yang dibawakan dalam pertunjukan wayang tersebut.
  
Dengan kata lain, bukan hanya berdakwah melalui tradisi, budaya, dan karya tulisan, para Wali juga berdakwah dengan seni yang kesemuanya dengan corak dakwah khas Nusantara. Dengan menyajikan historiografi yang apik, Agus Sunyoto mampu membawa kita untuk menelusuri jejak-jejak Wali Songo dengan fakta-fakta empirik. Pendekatan arkeologis yang digunakan olehnya dalam menyajikan sejarah Wali Songo juga menjadikan keberadaan dakwah mereka betul-betul otentik. Sehingga peresensi buku ini menyebut, corak dakwah para Wali dalam membentuk Islam yang khas Nusantara sebagai supremasi Wali Songo yang diteruskan oleh para ulama pesantren. Selamat membaca!



*) Tulisan ini juga dimuat di website jalandamai.org dengan judul 'Berguru pada Dakwah Wali Songo', 8 Juni 2015.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi