Pertanyaan sederhana dengan cakupan
bermakna jika dapat dijelaskan dengan baik dan benar dari berbagai perspektif
atau sudut pandang. Apalagi jika konsep Islam Nusantara ini dilihat dari
perspektif pribumisasi Islam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ini penting karena
Islam Nusantara bisa dikatakan sebagai produk pribumisasi Islam yang dicetuskan
oleh Gus Dur sebagai metode atau cara yang digunakan untuk membaca keislaman,
kebudayaan, fiqh dan adat, aplikasi nash, tasawuf, hingga seni.
Entitas tersebut bersifat universal sehingga keliru jika konsep Islam Nusantara adalah konsep yang berupaya melokalisasi Islam. Justru konsep ini mengonstelasi entitas-entitas tersebut. Karena diantara mereka kerap kali terjadi benturan jika dihadapkan satu sama lain. Misal antara agama dan budaya. Ketika Islam masuk ke wilayah nusantara, di situlah Islam dihadapkan dengan tradisi dan budaya yang telah mengakar sehingga kerap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Namun demikian, Walisongo sebagai
subjek utama penyebaran Islam di nusantara tidak memandangnya demikian. Justru
mereka menilai bahwa tradisi dan budaya yang telah mengakar tersebut sebagai
sebuah potensi untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang-orang nusantara
zaman dulu. Oleh karena itu, tradisi yang berkembang dijadikan instrumen
penyebaran Islam oleh para Walisongo. Tradisi yang berkembang saat itu bukan
hanya ritual-ritual agama, tetapi juga seni, adat, dan sistem kepercayaan yang
dianut mereka.
Apakah tradisi tersebut hilang
bersamaan dengan proses Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo? Sama sekali
tidak, karena proses yang terjadi adalah akulturasi bukan asimilasi. Dalam hal
ini, akulturasi dapat dikatakan sebagai penyatuan beberapa unsur, namun
karakter masing-masing unsur tersebut masih ada. Berbeda dengan asimilasi yang
berarti satu sama lain melebur sehingga karakter masing-masing hilang. Terbukti
dengan kekayaan budaya yang dimiliki oleh orang-orang nusantara dari zaman dulu
hingga sekarang. Hal ini berdampak pada kehidupan yang selaras meskipun
terdapat lebih dari 17 ribu pulau di Indonesia dengan 400 suku lebih yang
masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri.
Konsep universal
Dalam perspektif kenusantaraan,
Islam Nusantara adalah perwujudan Islam melalui budaya lokal, yakni tradisi dan
budaya yang berkembang di Indonesia. Perwujudan ini juga dalam rangka
mengoperasionalkan bahwa Islam adalah agama universal. Sehingga dengan
konstruksi Islam Nusantara ini, Islam mampu mewujud pada apapun dan dimanapun
ia akan disebarkan. Bukan semata-semata melokalisasi seperti yang telah
disebutkan di atas, namun sebagai cara yang sangat operasional untuk mewujudkan
Islam rahmatan lil ‘alamin.
Konsep ini dapat diwujudkan secara
universal mengingat dunia Islam mudah bergejolak dari dulu hingga sekarang.
Corak Islam Nusantara mengakomodir tradisi dan budaya yang berkembang di
masyarakat lokal. Inilah corak Islam yang sama sekali berbeda dengan negara
Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Oleh karena itu, Islam Arab yang sedari
lahir ikut memajukan peradaban dunia, sekarang justru mereduksinya, sebab tidak
menerima Islam yang mewujud melalui budaya lokal. Padahal peradaban dibangun melalui
budaya yang berkembang di masyarakat.
Tak heran sejak Dinasti Saud
berkuasa di Arab Saudi berkuasa, pemurnian Islam yang disebut gerakan
puritanisasi atas nama paham wahabi menggejala dengan berupaya menghancurkan
pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini meliputi makam Nabi Muhammad yang hendak
dihancurkan. Bahkan upaya tersebut hingga kini terus mengemuka. Karena makam
Nabi banyak di-ziarahi kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia, baik saat
musim haji maupun hari-hari biasa. Tradisi ziarah kubur yang sering dilakukan
orang-orang nusantara sejak dulu dianggap kebiasaan yang mengada-ada, karena
tidak sesuai dengan ajaran Islam versi wahabi. Oleh karena itulah, makam Nabi,
sahabat, ulama, hingga kiai yang merupakan pusat peradaban Islam berusaha
dihancurkan.
Jika ziarah sebagai budaya yang
telah men-tradisi dikalangan masyarakat muslim, maka menjaga peradaban melalui
makam adalah sebuah ‘kewajiban kultural’. Karena kewajiban inilah yang disebut
Gus Dur merupakan media perwujudan kultural Islam (Gus Dur, 1974: 12). Kemudian,
perwujudan kutlural Islam inilah yang disebut Islam Nusantara. Bukan Islam Arab
yang cenderung non-budayawi.
Tak heran jika saat ini, corak
keislaman di Indonesia menjadi rujukan bagi masyarakat dunia. Terutama
negara-negara muslim yang tak kunjung reda dengan kesengsaraan akibat perang.
Bagaimana mungkin negara super majemuk seperti Indonesia bisa menjalani
kehidupan dengan damai? Sedangkan negara-negara Arab yang hanya terdiri tak lebih
dari 5 (lima) suku, namun keadaannya terus mencekam. Oleh sebab itulah, Islam
di Indonesia dengan Islam Nusantaranya adalah sebuah konsep universal yang
dibangun melalui tradisi dan budaya lokal sebagai perwujudan Islam rahmatan lil
‘alamin.
Sebuah pendekatan
Salah satu peradaban Islam yang
megah yakni makam Nabi Yunus as dihancurkan oleh kelompok Islam radikal yaitu
NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Sesungguhnya hal ini bukan salah satu
klimaks gerakan puritanisme. Pusat-pusat peradaban lain seperti masjid pun tak
lepas dari aksi teror bom seperti yang terjadi di sebuah masjid di Yaman dan
menewaskan tak kurang dari 127 manusia tak berdosa. Tentu paham demikian tak
ideal bagi dunia Islam khususnya.
Islam Nusantara dapat dijadikan
pendekatan oleh negara-negara Islam dalam menghadapi benturan antarkeyakinan
yang mengarah pada gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Selain
merugikan peradaban materi, radikalisme dapat mengahncurkan peradaban manusia
sebagai pusat peradaban (central of civilization) itu sendiri sehingga umat
Islam justru hancur oleh gerakan-gerakan pemurnian agama.
Dalam memandang Islam Nusantara
sebagai sebuah pendekatan, tentu rumusannya harus jelas. Selama ini yang
konsisten mengawal Islam ramah dan toleran ala nusantara adalah organisasi
sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtma’iyah) Nahdlatul Ulama (NU),
organisasi yang digawangi oleh para kiai pesantren. Dengan prinsip al-Muhafadzah
ala al-Qadhimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah, melestarikan
nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik, NU
mampu mewujudkan sikap kemasyarakatan yang bersifat fleksibel.
Sikap-sikap kemasyarakatan NU
diwujudkan melalui sikap tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawasuth
(mengambil jalan tengah), i’tidal (adil), dan amar ma’ruf nahi
munkar (mengerjakan yang baik, menjauhi yang buruk) dengan cara yang baik.
Tentu semua prinsip itu merupakan sebagian dari konsep Islam Nusantara yang
damai, ramah, dan toleran. Sehingga menggali Islam Nusantara sebagai
pendekatan, dapat melalui rumusan organisasi seperti NU dalam hal aqidah,
syariah, hukum Islam (fiqh), dan tasawuf yang diejawantahkan oleh
orang-orang nusantara sebagai perwujudan kultural Islam, yakni Islam melalui kultur
tradisi dan budaya nusantara. ***
Jakarta, 14 April 2015
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi