Senin, 13 Januari 2014

Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Wali Songo

Oleh Fathoni


Pendahuluan
Walisongo dalam pengertian yang paling familiar oleh masyarakat Indonesia ialah wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Siapa saja yang termasuk dalam kelembagaan walisongo? Banyak versi. Agus Sunyoto mengemukakan anggota walisongo yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syaikh Siti Jenar, Sunan Kudus, dan Raden Patah.[1]
Sedangkan Arman Arroisi menjelaskan biografi walisongo dengan anggota yang secara umum kita telah mengetahui yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan Sunan Muria.[2] Manakah yang tepat? Kita di sini tidak bermaksud membahas yang demikian.
Walisongo merupakan tokoh yang sangat fenomenal, sebab dengan berbagai tradisi, budaya, dan kepercayaan orang-orang Nusantara yang sangat beragam, namun dapat menyebarkan misi agama Islam dengan baik sehingga tidak menimbulkan konflik secara frontal.
Pendekatan yang digunakan oleh para wali dalam meng-Islamkan Nusantara perlu menjadi pijakan intelektual. Sebab, bangunan atau konstruksi pemikiran sosial yang dibalut dengan kebudayaan yang berkembang pesat di Nusantara justru menjadi energi positif bagi para wali dalam berdakwah.
Berangkat dari latar belakang itu, Konstruksi pemikiran sosial dan kebudayaan seperti apakah yang digunakan oleh para Walisongo?

1.    Teori Konstruksi Sosial
Teori Konstruksi Sosial merupaka bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann.[3]  
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi.
Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah memperoleh lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann.[4]
Hal ini bukan bukan bermaksud mengidentifikasi konstruk pemikiran social walisongo dengan tokoh-tokoh barat tersebut. Namun, komparasi dan korelasi antara keilmuan masa kini.

2.   Konstruksi Pemikiran Sosial dan Kebudayaan Walisongo
Tradisi dan budaya yang berkembang di Nusantara ketika itu cukup beragam dengan banyaknya macam-macam bentuk budaya, serta aliran kepercayaan sebelum Islam yang dibawa oleh walisongo. 
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam.
Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam.
Dengan kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi budaya yang dikembangkan oleh Walisongo, yakni aristektur masjid sebagai representasi tatanan sosial egaliter,
wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

1)   Arsitektur Masjid Representasi Tatanan Sosial Egaliter
Arsitektur masjid dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari konsep masjid yang ada di Timur Tengah dengan vihara, pura, dan candi. Setidaknya, ada tiga entitas arsitektur masjid yang perlu dielaborasi, yakni atap masjid bersusun tiga, bentuk
mustaka, dan bentuk menara.
Model arsitektur masjid yang demikian itu tidak ditemukan di negara asal Islam, yakni Saudi Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Pertama, atap masjid yang tersusun dari atas tiga lapis atap sebagaimana dapat dilihat pada Masjid Agung Demak dan masjid-masjid lainnya dapat dipandang sebagai bentuk adopsi dari pura. Dalam tradisi Hindu yang syarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannya.

Pura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan), dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi para raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja atau bangsawan, dan hanya digunakan untuk para raja dan bangsawan.
Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa, dan digunakan sebagai tempat mereka beribadah. Pura model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan, tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.
Mungkin sekali, Walisongo dengan sengaja mengadopsi filosofi arsitektur Pura dengan atap bersusun tiga tersebut untuk membuat rakyat jelata tidak canggung untuk bergabung di tempat tersebut.[5]
Namun demikian, Walisongo tidak menjadikan masjid dengan atap bersusun tiga tersebut hanya untuk para rakyat jelata, melainkan untuk umat Islam secara keseluruhan, termasuk para bangsawan dan bahkan raja. Di samping sebagai raja, Raden Patah juga sekali waktu menjadi imam di Masjid
Agung Demak yang diikuti oleh para bangsawan dan rakyat jelata. Dengan demikian, Walisongo sebenarnya secara cultural telah berusaha melakukan perombakan tatatan masyarakat yang kental dengan sistem kasta dan status sosial menjadi masyarakat yang egaliter dan berkeadilan—yang merupakan bagian dari esensi ajaran Islam.
Arsitektur masjid yang terdiri dari tiga atap juga dapat diangap sebagai adopsi dari konsep arsitektur candi agama Budha. Dalam filsafat Budha, candi yang terdiri dari tiga lantai merepresentasikan filsafat perjalanan ruh manusia. Lantai pertama
sebagai representasi alam sebelum manusia; lantai kedua sebagai representasi alam manusia; dan lantai ketiga sebagai representasi alam pasca melewati lingkaran karma. Adapun stupa merupakan representasi penyatuan ruh manusia dengan jiwa kosmik penggerak lingkaran karma. Masjid yang beratap tiga lapis dengan puncaknya diletakkan mustaka dapat dilihat sebagai adopsi dari candi Budha tersebut.
Hanya saja, Islam memberikan penjelasan teologi yang berbeda dari agama Budha. Dalam Islam, proses perjalanan ruh manusia dari alam arwah ke alam dunia ke alam kubur, dan selanjutnya ke alam akhirat hanya berlangsung sekali. Oleh karena itu, perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa Islam tidak mengenal adanya konsep reinkarnasi sebagaimana agama Budha. Hal ini menunjukkan bahwa para Walisongo menyadari frame pemikiran masyarakat tentang arsitektur tempat ibadah. Jadi, mereka mendekatkan ajaran teologi Islam dengan menggunakan instrumen budaya yang telah ada, dan mengisinya dengan ajaran Islam.
Pertanyaan yang kemudan muncul adalah apakah desain arsitketur masjid dengan atap berlapis tiga tersebut lebih merupakan adopsi dari arsitektur Pura atau atau Candi Budha? Dilihat dari filosofi dan semangat budaya yang dibangun tampaknya penyesuaian dengan Pura lebih dekat daripada penyesuaiannya dengan Candi Budha. Alasannya adalah ketika Islam datang maka daerah-daerah yang menjadi sasaran dakwah Walisongo lebih banyak terpengaruh oleh ajaran dan budaya Hindu daripada Budha. Selain itu, ide persamaan harkat kemanusiaan yang diusung melalui simbolisasi penggunaan masjid untuk semua umat tanpa melihat kelas sosial dipandang lebih dapat menyentuh langsung hati masyarakat yang ketika itu sangat kental dengan sistem kasta daripada konsep teologi kehidupan ataupun eskatologi yang biasanya akan dibangun belakangan. Namun demikian, bisa jadi Walisongo mengadopsi kedua bentuk tersebut, pura dan Candi Budha, secara bersamaan agar lebih mendekati masyarakat yang sudah terkena pengaruh Hindu dan Budha dalam waktu yang panjang.
Kedua, mustaka masjid yang berbetuk seperti nanas adalah khas Indonesia. Hal ini lebih merupakan model dari arsitektur Pura atau Vihara dalam budaya Jawa. Penulis menduga bahwa mustaka yang berbentuk setengah lingkaran dengan atasnya lancip barulah ditemukan diakhir-akhir abad 18 di Indonesia setelah kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh, kuat dan mempunyai hubungan langsung dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia. Masjid dengan model mustakasetengah lingkaran tersebut utamanya terdapat di Aceh. Adapun masjid di Jawa masih didominasi oleh model mustaka berbentuk nanas sampai pertengahan abad ke-20. Hal itu menunjukkan bahwa bahwa arsitektur masjid sebagai pusat pengembangan komunitas Muslim dirancang oleh Walisongo sesuai dengan budaya setempat. Walisongo tampaknya tidak khawatir bahwa mustaka yang bergaya pura atau vihara tersebut akan menghilangkan identitas Islam.
Hal ini dapat diartikan bahwa Walisongo lebih menekankan pada dimensi esensi daripada dimensi artifisial dalam beragama. Mereka dapat membedakan antara inti ajaran dari kebudayaan yang melingkupinya. Mereka lebih mementingkan dilaksanakannya esensi atau substansi ajaran agama oleh masyarakat daripada maraknya simbol keagamaan. Mereka mengusahakan agar Islam dapat memberikan kontribusi riil bagi masyarakat daripada mengusahakan Islam diterima secara
Formalistic dan dipahami secara formalistik pula.
Ketiga, menara-menara3masjid yang dibangun pada masa Walisongo maupun masa setelahnya sangat khas dengan budaya Jawa. Bahkan, menara Masjid Sunan Kudus memanfaatkan menara dari bekas menara Pura. 4 Fenomena ini juga mempertegas sikap adaptif Walisongo terhadap budaya masyarakat setempat.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional. Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial.
Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat. Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.
Fenomena arsitektur masjid yang dikembangkan oleh Walisongo merepresentasikan suatu tatanan masayarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif. Masyarakat yang egaliter ditunjukkan oleh pengakuan harkat dan martabat setiap orang untuk melakukan interaksi sosial secara proporsional.
Bahkan, dalam bidang keagamaan, seperti yang ditunjukkan pada saat shalat berjamaah, tidak ada perbedaan antara manusia berdasarkan status sosial. Walisongo juga membentuk masyarakat yang tidak sekadar dapat menghargai keyakinan dan agama masyarakat setempat, tetapi Walisongo mengakultuasikan nilai-nilai Islam dengan instrumen kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini merupakan perilaku beragama yang inklusif dan transformatif. Sifat inklusivismenya terlihat dari cara mereka menghargai agama dan budaya masyarakat setempat, sedangkan sifat transformatifnya terlihat dari cara mereka membangun masyarakat Muslim dalam masyarakat plural menuju kesejahteraan bersama bagi kemanusiaan.

2)   Wayang Sarana Membangun Teologi dan Konstruksi Sosial
Wayang merupakan bentuk kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai pengganti dari teologi Hindu. Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabaratadan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu.
Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur nilainilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya, walisogo hanya mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu (dan tentunya juga teologi Budha) yang terdapat di dalamnya.
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan
pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci Surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.5Pemaknaan baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.
Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi visi sosial kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi.
Untuk tujuan tersebut, Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar  yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis.
Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti seorangyang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman.
Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata baghá yang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.[6]
Enam Karakter-karakter punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan sesame manusia, Tuhan, dan alam semesta.

3)   Seni Islam Bernuansa Lokal
Jika dilakukan inventarisasi secara intensif, maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat. Dari sisi kesenian, kita dapat mencatat kreasi Walisongo yang berupa tembang macapat, lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan, dan bentukbentuk permainan untuk anak-anak dan remaja.
Walisongo mengembangkan lirik dan langgam tembang-tembang macapat yang sudah dikenal dan berkembang luas di masyarakat. Hanya saja Walisongo turut memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut.
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh, sinom, mijil, dan dandang gula. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti ilir-ilir, bagi masyarakat umum.
Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungan dan trempolo kendang.
Dalam banyak hal, permainan tersebut dimainkan dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu dan mainan tersebut banyak dilakukan di sekitar masjid sehingga mendekatkan remaja dan anak-anak kepada masjid. Di samping itu, lagu-lagu dolanan, model-model permainan maupun lagu macapat tersebut dirancang secara
filosofis sehigga mereka mempunyai nilai pedagogis.
Dalam perspektif ini, ketika anak-anak bermain dan menyanyikan lagu dolanan ataupun orang dewasa melantunkan lagu macapat, mereka sebenarnya sedang mempelajari, memahami, dan meresapi sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam elemen budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika aktivitas itu dilakukandi sekiar masjid—yang ketika itu merupakan arena publik dengan multi fungsi—termasuk tempat kesenian dan hiburan rakyat.

KESIMPULAN

Pemahaman Walisongo dan generasi sesudahnya dan sampai sekarang di Indonesia terhadap agama dan budaya membuat mereka dapat menghargai kebudayaan dan situs budaya lokal yang telah ada dan terus berkembang. Mereka menjaga sikap toleran dan inklusif-transformatif tersebut meskipun mereka pada akhirnya menjadi masyarakat mayoritas. Oleh karena itu, hingga sekarang kita masih dapat menyaksikan megahnya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Gedong Songo, Menara Kudus, dan lain-lain.

Kreasi budaya yang dipromosikan Walisongo selalu mengapresiasi budaya setempat. Hal itu semua dilakukan oleh Walisongo untuk menghormati budaya setempat tanpa menghilangkan keharusan untuk menginternalisasikan ajaran Islam.
Bahkan, penghargaan terhadap tradisi juga masih ada yang berkembang hingga sekarang. Sebagai contoh, larangan Sunan Kudus bagi masyarakat muslim Kudus untuk memakan daging sapi, menurut Abdurrahman Mas’ud, masih dijaga hingga
sekarang meskipun mereka mengetahuinya sebagai halal. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari toleransi budaya yang menyatu dalam diri mereka.
Walisongo merupakan desainer dan perancang masyarakat Muslim yang inklusif-transformatif. Mereka mengembangkan Islam dengan menggunakan media kebudayaan lokal setelah diberi muatan nilai-nilai Islam terhadapnya. Hal ini bukan berarti bahwa Walisongo mengaburkan ajaran Islam dan menghilangkan identitas umat Islam.
Islam tidak kehilangan identitasnya karena akulturasi budaya merupakan strategi kebudayaan, bukan tujuan akhir dari proses rekonsruksi masyarakat itu sendiri.
Walisongo sebagai pemimpin umat Islam sekaligus pengembang Islam dan pengelola masyarakat muslim awal di Indonesia telah menggunakan strategi akulturasi budaya.
Hal itu mengimplikasikan kesadaran mereka terhadap kenyataan latar belakang budaya dan keyakinan yang plural yang terdapat di Indonesia.
Setidaknya, Walisongo telah membuktikan dalam sejarah bahwa strategi akulturasi budaya telah mampu membangun masyarakat Islam di tengah-tengahmasyarakat plural, tanpa kehilangan indentitas keislamannya. Keberhasilan tersebut dapat menjadi titik tolak refleksi umat muslim Indonesia untuk membangun peradaban Islam dan bingkai keindonesiaan.

Daftar Pustaka

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta: IIMan, 2012.

 Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo,  Bandung: Rosda, 2004.

http://bit.ly/1d43GFM diakses 5 Desember 2013.

Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: Insan Cendekian, 2002.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. “Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. (Ed.). Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Barat danDakwah. Yogyakarta: SIPRESS.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Sternbrink, Karel A. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Sudarto. 2002. “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. Ed. Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media.

Endnote:

       [1] Lihat Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Jakarta: IIMan, 2012), cet. Ke-1.
       [2] Lihat Arman Arroisi, Kumpulan Buku Biografi Sejarah Walisongo, (Bandung: Rosda, 2004), cet. Ke-10.
       [3] http://bit.ly/1d43GFM, diakses 5 Desember 2013.
    [4] Basrowi, Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya : Insan Cendekian, 2002).hlm. 204

      [5] Menara masjid mungkin sekali merupakan hasil dari pengadopsian Islam terhadap tower tempat api bagi agama Majusi di Persia. Menara berasal dari bahasa Arab manárah artinya adalah tempat api. Di kalangan Persia, ada tempat yang tinggi yang ditempatkannya api abadi dan merupakan arah bagi umat Majusi Persia dalam menyembah Dewa Api. Sebagai agama yang datang kemudian, Islam mengadopsi modelnya sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan agar suaranya terjangkau sampai jarak yang jauh.
       [6] Abdurrahman Mas’ud, “The Religion of Pesantren” dalam International Conference on Religious Harmony: Problem, Practice, and Education in Yogyakarta-Semarangpada 27 September-3 Oktober 2004 yang diselenggarakan oleh International Association for History of Religion (IAHR), hal. 3.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi