Oleh Fathoni dan Ahmad Iftah Sidik
1
PENDAHULUAN
Tidak ada
kemajuan peradaban yang dibangun tanpa ilmu pengetahuan. Itu terbukti di
manapun kota atau negara yang peradabannya pernah mencapai kebesaran dan keagungan,
pasti di sana ilmu tumbuh dengan subur. Karena itu ada kaitan erat antara
peradaban dan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami dan mengelola
kehidupan. Yang menjadi pertanyaan kemudian dan hendak dijawab dalam makalah
ini adalah:
1.
Apa
pengertian ilmu dan peradaban?
2.
Bagaimana
sebuah peradaban dibangun? Unsur-unsur apa saja yang menjadi unsur bangunannya?
3.
Bagaimana
peran imu dalam pembangunan sebuah peradaban?
4.
Bagaiamana
relasi antara ilmu, peradaban dan islam?
2
ILMU PENGETAHUAN DAN
PERADABAN
A.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Secara umum, Ilmu
(science) atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha
sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.[1]
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati
dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian
konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang
sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih
lanjut (Ziman J. dalam Qadir
C.A., 1995). Percobaan adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka
konseptual dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan
(eksperimen).
Definisi
John Ziman menekankan pada makna manfaat, sebab
kesahihan gagasan baru dan makna
penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis)
akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan
eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian
kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada
tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh
tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual
atau teori yang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian
secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama,
dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sumber ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi)
dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut
empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya
berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David
Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun
teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene
Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang
rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang
mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
B.
Pengertian
Peradaban
Arnold Toynbee menyatakan dalam “The Disintegrations of Civilization”, peradaban adalah kebudayaan
yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi.
Pengertian yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya, maupun iptek).[2]
Pengertian yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya, maupun iptek).[2]
Sementara Samuel Huntington memberi definisi bahwa
peradaban adalah sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi
melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan,
institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif. Berangkat dari
definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika Serikat- dan Eropa
yang sejauh ini disatukan oleh bahas, budaya dan agama dapat diklasifikasikan
sebagai satu peradaban, yakni peradaban barat.
Sebelum adanya peradaban Eroamerika yang menguasai dunia
peradaban sekarang ini sudah barang tentu terlebih dahulu sudah ada peradaban
yang disebut dengan peradaban dunia; kuno atau klasik pra-Islam. Di antara
peradaban-peradaban itu adalah:
1. Irak, di
antara peradaban yang terpenting adalah Sumeria, Akkadia, Ayalamiyah,
Babilonia, Asyuriah, dan Kaldaniah
2. Peradaban
Syam, di antara peradaban yang terpenting adalah Amuriyah, Vinikia, Kan’an,. Aramiyah,
Anbath, Tadmur, Ghassan, dan Munazarah
3. Peradaban
Mesir, peradaban yang terpenting adalah peradabaan Fir’aun dan peradaban Heksus
4. Peradaban
Yaman, di antaranya Ma’in, Saba’, Himyar, dan Qatban.
5. Peradaban
Persia
6. Peradaban
Yunani dan Romawi
Peradaban
Fir’aun dan Sumeria adalah dua peradaban paling awal yang ada dalam sejarah
manusia[3].
Dari dunia Islam, kajian tentang peradaban umat manusia dilakkan oleh
sosiololog mulim, Ibnu Khaldun. Berdasarkan
teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul
tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap
sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap
tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap
ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam
pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan
mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3. Tahap
sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa
tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap
kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan
segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap hidup
boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan
pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal
menunggu kehancurannya.
Ibn Khaldun juga menuturkan
bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan
kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur
dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka
membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan
perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah
peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan
kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas
kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal
dengan Teori Siklus.
A. J. Toynbee dalam karyanya, A Study of History, mengatakan, peradaban bukan negara yang menjadi basis karya
sejarahnya. Bagi Toynbee, peradaban adalah unit nyata dari sejarah. Dia
menganalisis, dua puluh satu peradaban, empat peradaban abortif (mati di tengah
jalan) dan lima peradaban terpenjara (tidak bergerak dari fase awal
peradabannya). Dari
Studinya ia merumuskan beberapa pertanyaan terkain tahap pertumbuhan peradaban,
yaitu:[4]
Problem
pertama, bagaimana peradaban lahir? Jawaban Toynbee, kelahiran sebuah
peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkungan geografis, tetapi
bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya minoritas kreatif dan
lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini bisa tidak sangat
menguntungkan, bisa juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme
kelahiran sebuah peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam
proses saling mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan (challenge-and-response).
Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya
menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif
ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru
kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus
berjalan. Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu
membawanya kepada tingkat peradaban. Apa bentuk tantangan-tantangan atau
rangsangan lingkungan yang melahirkan peradaban ini ? Negeri yang ganas (hard
country), tanah baru (new ground, karena migrasi misalnya), serangan
(blows, perang misalnya), tekanan (pressures, kompetisi antar
masyarakat), hukuman (penalization, hukuman sosial).
Pertanyaanya
kemudian, mengapa dan bagaimana beberapa masyarakat gugur dalam proses
peradabannya dan beberapa yang lain terperangkap pada taraf permulaan saja,
sedangkan yang lain tumbuh menjadi peradaban yang penuh elan ? Menurut Toynbee
untuk menjawab ini perlu ditegaskan dulu makna dari pertumbuhan (growth)
dan gejala-gejalanya. Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak
diukur dari ekspansi geografis masyarakatnya (kebalikannya malah valid,
kemunduran peradaban bisa diasosiasikan dengan ekspansi geografis). Pertumbuhan
peradaban juga tidak diukur dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri
dari determinasi diri atau artikulasi diri ke dalam yang progresif dan
kumulatif, dalam “etherialisasi” nilai-nilai masyarakat secara progresif dan
kumulatif, dan simplifikasi aparatus dan teknik peradabannya [etherialisasi,
mengarahkan aksi dari luar ke dalam]. Dari aspek hubungan intrasosial dan antar
individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal henti dari minoritas kreatif
terhadap tantangan-tantangan lingkungan yang ada. Peradaban yang berkembang
membentangkan potensi dominannya; estetika pada peradaban Hellenik, religius
pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik pada peradaban Barat, dsb.
Problem ketiga,
bagaimana dan mengapa peradaban jatuh, terdisintegrasi dan hancur ?. Peradaban
yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan atau
kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis
atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan
karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah
sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama
masa pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses
memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban
gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh
karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations
die from suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban
berasal dari tiga hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan
mimesis dari mayoritas dan hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban
melewati fase-fase berikut; kejatuhan (break-down), distintegrasi dan
hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bakan ribuan tahun.
Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai jatuh pada abad ke-16 SM dan
hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh dan
kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu.
Pada masa
pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap tantangan
yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan,
minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai
relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas
mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung
pada kekuatan (force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas
kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk
menjaga kelangsungan hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal
Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas
dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai
meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal
(misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada
kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya external proletariat)
mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaba\n yang mulai
runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan tubuh peradaban. Peperangan
kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, schism ini mengubah mentalitas
dan prilaku anggotanya.
Personalitas
manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi empat golongan besar. Mereka
yang mengidealisasikan masa lalu (archaism), mereka yang
mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri
dari realitas dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi
keruntuhan dengan wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali
bagi transfigurator, usaha-usaha manusia berdasarkan tipe personalitasnya tidak
menghentikan proses disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat
peradaban menjadi fosil. Jalan tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai
kepada spiritualitas baru, tidak menghentikan disintegrasi peradaban, tetapi
membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru.
C.
Peran Ilmu dalam
Membangun Peradaban
Beberapa bangsa yang menjadi besar dan maju
peradabannya, tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuannya pada zaman itu. Yunani kuno, misalnya,
kemajuannya dimulai dari kemajuan ilmu filsafat yang berlomba dengan agama.
Sokrates meletakkan dasar pengetahuan
dengan mengikirs mitos dan memperkenalkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam
berfilsafat.
Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya. Hidup pada
masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang
bijaksana dan berapengetahuan”), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia
dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada
dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan
oleh Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit,
mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu dia
didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke
pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia
bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota
Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di
hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara itu pada Abad
Pertengahan (476 – 1492) Eropa secara
umum berada dalam “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran
filsafat barat abad pertengahan adalah: cara berfilsafatnya dipimpin oleh
gereja, berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, dan berfilsafat
dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain. Akal pada Abad Pertengahan ini
benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus, Agustinus,
Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu
filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan
merupakan dominasi akal yang hampir seratus persen pada Zaman Yunani
sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.
Berbeda dengan keaadan di Eropa, di dunia Islam pada masa yang
sama justru malah mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on
Medieval Europa (1994)
sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 31) menyatakan “peradaban Eropa tidak
dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam
yang menjadi motornya, kondisi barat tidak akan ada artinya”.
Bukti perkembangan tradisi pemikiran ilmiah pada masa
kekhilafahan Islam dapat dilihat dari sarana dan prasarana pendidikan yang
telah maju pada zamannya. Terdapat Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan oleh
Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Ada pula Madrasah An-Nuriah yang
didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Muhammad Nuruddin Zanky. Pada abad
ke-10, di Andalusia terdapat 20 perpustakaan umum, diantaranya yang terkenal
adalah perpustakaan Cordova yang saat itu memiliki tidak kurang 400 ribu judul
buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo mengoleksi tidak kurang dari 2 juta
judul buku, Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah dibakar pasukan
Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Bandingkan dengan
perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam
catatan Chatolique Encyclopedia,
hanya memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku (Sadik, 2011: 31). Jonathan
Bloom dan Sheila Blair dalam bukunya Islam: A Thousand Years of
Faith and Power (2002)
sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 32) menyatakan bahwa “rata-rata tingkat
kemampuan literasi (membaca dan menulis) di dunia Islam pada Abad Pertengahan
lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa”.
Tokoh-tokoh yang terkenal memberi dasar pada kemajuan tradisi
pemikiran ilmiah, sains dan teknologi pada masa kekhilafahan Islam, diantaranya
Imam Syafi’I yang menurut Imam Al-Mawardi karyanya mencapai 113 kitab tentang
tafsir, fiki, adab, dan lain-lain. Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dengan
kitabnya Al-Musnad. Selain
itu, terdapat cendekiawan bidang sains yang disegani di dunia barat yaitu Ibnu
Sina (dikalangan ilmuwan Barat dikenal dengan nama Avicenna). Karyanya yang sangat terkenal Al-Qanun fi ath-Thibb, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris The Canon of Medicine merupakan tujukan bidang kedokteran
dunia selama berabad-abad. Di dalam kitabnya, ia menulis ensiklopedia jutaan
item tentang pengobatan dan obat-obatan. Karya lainnya adalah Kitab Asy-Syifa yang
terdiri dari 18 jilid dan dikenal di dunia kedokteran modern sebagai
ensiklopedia filosofi kedokteran (Sadik, 2011: 32). Kemudian, Al-Biruni, yang
oleh saintis Barat, George Sarton (Introduction to the History of Science, 1927),
dikategorikan sebagai ilmuwan terhebat sepanjang zaman. John J O’Connor dan
Edmund F Robertson dalam bukunya History of Mathematics,
menyebutkan bahwa Al-Biruni telah berkontribusi penting dalam geodesi dan
geografi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik mengukur jarak
di bumi menggunakan metode triangulasi. Dalam kitabnya, Al-Jawahir atau Book of Precious Stones, al-Biruni menjelaskan beragam
mineral dan mengklasifikasikannya berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan
serta beratnya. Al-Biruni merupakan ilmuwan Muslim pertama yang mengemukakan
bahwa kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara.
Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan
fisika. Menurut catatan sejarah, 1000 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori
relativitas, seorang ilmuwan Muslim abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar
teori relativitas tersebut, yaitu al-Kindi. Dalam kitabnya, Al-Falsafah al-Ula, al-Kindi mengemukakan bahwa fisik
bumi dan seluruh fenomena fisik bumi (waktu, ruang, gerakan, dan benda)
semuanya relatif dan tidak absolute. Ia berbeda dengan Galileo, dan Descartes
yang menanggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolute. Teori Einstein
tentang relativitas yang dipublikasikan dalam La Relativite banyak dipengaruhi oleh pemikiran
al-Kindi.
Ilmuwan Muslim lainnya yang memajukan tradisi pemikiran ilmiah
pada masa keemasan Islam adalah al-Khawarizmi yang terkenal dengan kitab
monumentalnya, al-Maqalah fi Hisab al-Jabr wa
al-Muqabilah, yang versi terjemahan bahasa Inggrisnya adalah The Compendious Book on Calcuation By Completion and Balancing.
Melalui kitabnya ini, al-Khawarizmi telah meletakkan dasar cabang Matematika
modern yakni Aljabar (Algebra). Carl B.
Boyer dalam bukunya The Arabic Hegemony: A History
of Mathematics, mengungkapkan bahwa kitab Al-Jabr karya
al-Khawarizmi itu telah menguraikan perhitungan yang lengkap dalam memecahkan
akar positif polynomial persamaan sampai dengan derajat kedua.
Perkembangan dunia sains juga dipelopori oleh al-Haitham atau
Alhazen. Penelitiannya mengenai cahaya telah memberikan dasar penting kepada
saintis Barat yaitu Boger, Bacon, dan Kepler dalam penciptaan mikroskop serta
teleskop. Adapun Jabir Ibnu Hayyan atau di Barat dikenal dengan nama Geber
merupakan peletak dasar ilmu kimia modern.Sepuluh abad sebelum ahli kimia barat
John Dalton mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721 M-815 M)
telah menemukannya pada abad ke-8, kitabnya yang berjudul Al-Kimya atau
versi terjemahannya The Book of Composition Aichemy,
telah menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa selama ratusan tahun.
Berkat jasa Jabir, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam
nitrat, asam sitrat, asam nitrat, asam asetat, teknik distilasi dan teknik
kritalisasi.
Perkembangan pemikiran filsafat di era kekhilafahan Islam
dimulai dari seorang tokoh yang bernama Al-Kindi yang merupakan orang arab
keturunan Qahtan. Kedudukan Al-Kindi diakui oleh ahli sehrah pemikiran Ibnu
An-Nadlim, sebagai salah seorang tokoh agung pada zamannya bahkan dinobatkan
sebagai filosuf arab pertama (Maghfur, 2002: 66). Mendalamnya pengetahuan
Al-Kindi Nampak dari karya-karyanya yang telah dikumpulkan oleh An-Nadlim
sebanyak 241 topik, dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik,
geometri 23 topik, matematika 18 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik,
dan sebagainya. Karya monumental Al-Kindi di bidang filsafat adalah Kitab Ila al-Mu;tashim Billah fi al-falsafah al-Ula.
Sepeninggal Al-Kindi pada tahun 260 H/873 M, muncul nama besar
lainnya dalam sejarah filsafat Islam yaitu Al-Farabi. Al-farabi merupakan
filosuf muslim kedua setelah Al-Kindi. Al-Farabi anak seorang njenderal pada
masa Abbasiyah yang lahir di Farab Transoxiana. Dari kampungnya Al-Farabi
menuju Baghdad yang terkenal pada masa itu sebagai pusat studi sains.
Karya-karya al-Farabi sebanyak 128 buah, dalam bidang logika sebanyak 36 buah.
Karya monumental Al-Farabi diantaranya Kitab Al-Qiyas, Tawti’ah fi al-Mantiq.
Seperti halnya Al-Kindi, al-Farabi juga telah melakukan kompromi antara agama
dengan filsafat.
Setelah Al-Farabi yang meninggal pada 339 H/951 M di damaskus,
muncul filosuf lain yaitu Ibu Sina (370H/980 M). Ibnu Sina memiliki karya
sebanyak 276 Kitab, namun menurut Al-Badawi yang tersisa saat ini hanya 17 buah
antara lain yang terkenal al-Syifa’, yang
terdiri dari empat bagian, yaitu logika, matematika, fisika, dan metafisika.
Secara umum, kecenderungan filsafat Ibnu Sina tidak juah beda dengan al-Farabi.
Keduanya berusaha untuk mengintegrasikan pandangan kefilsafatan dengan agama.
Ibnu Sina meninggal dalam usia 58 tahun pada hari Jum’at pertama Ramadhan tahun
428 H/1049 M (Maghfur, 2002: 75).
Sepeninggal Ibnu Sina, muncul filosuf muslim yang mengembangkan
tradisi pemikiran filsafat Islam di Barat yakni Ibnu Bajjah (478-503
H/1099-1124 M), oleh Ibnu an-Nadlim disebut sebagai tokoh sentral filsafat
Islam di Barat. Ibnu Bajjah sezaman dengan al-Ghazali. Menurut Ibnu Tufayl
dalam pengantar Risalah Hayyi bin Yaqzan,
yang menyatakan bahwa di Andalusia (Spanyol) belum pernah ada orang yang
berpengetahuan lebih mendalam, sahih dan jujur dari segi periwayatannya
dalam bidang filsafat selain Ibnu Bajjah. Saat ini karya Ibnu Bajjah yang telah
didaftar oleh Oxford meliputi 29 judul, antara lain: Maqalat al-Sama’ awa al-Tabi’I. Filsafat Ibnu Bajjah
banyak dipengaruhi unsur Platonisme dibanding Aristoteleanisme (Maghfur, 2002:
82).
Filosuf muslim Barat kedua adalah Ibnu Tufayl. Beliau lahir di
Granada sekitar 506 H/1123 M. Setelah itu muncul generasi setelahnya yakni Ibnu
Rusyd pada tahun 520 H/1137 M atau 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Serta
masih banyak lagi pemikir atau filosuf muslim lainnya yang pernah dilahirkan
pada masa keemasan peradaban Islam (masa Kekhilafahan). Pengakuan jujur para
peneliti telah menjadi bukti akan kemajuan tradisi berpikir ilmiah pada masa
kekhilafahan Islam, sebagaimana John J.O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999)
menulis dalam MacTutor History of Mathematics Archive: Recent research paints a new picture of the debt that we owe to
Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought
to have been brilliant new conceptions due to Europen mathamatichians of the
sixteenth,seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been
developed by Arabic/Islamic mathamatichians around four centuries earlier. (Penelitian
terkini memberikan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan
matematika Islam pada kita. Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya
kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15,
17 dan 18 ternyata telah dikembangakan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira
empat abad lebih awal) (Amhar: 2011: 48)
Sementara setelah abad ke-14 Eropa baru bangun dari
tidur panjangnya melalui apa yg disebut renasisannce. Kata
Renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaisance adalah suatu
gerakan yang meliputi suatu zaman ketika orang merasa telah dilahirkan kembali
dalam keadaban. Zaman ini merupakan era kebangkitan kembali pemikiran yang
bebas dari dogma-dogma agama. Manusia pasa zaman ini adalah manusia yang
merindukan pemikiran bebas, seperti pada zaman Yunani Kuno.
Gejala-gejala kebangkitan kembali pemikiran bebas telah mulai
tampak pada abad ke-12M dan merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan ini dipelopori oleh beberapa orang
biarawan yang menuntut ilmu di Spanyol, kemudian menyebarkan kebeberapa tempat
di Eropa. Menurut Slamet Iman Santosa (1977:65) perkembangan ilmu pengetahuan
pada zaman Renaissance mempunyai tiga sumber, yaitu: (1) adanya hubungan dengan
kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan negara-nagara Perancis. (2) Perang
Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali. (3) jatuhnya Istanbul ke
tangan bangsa Turki (1453).
Kabangkitan ilmu pengetahuan pada zaman Renaisance ditandai
dengan timbulnya pemikiran dari tokoh-tokoh terkenal seperti: Nicolas
Copernicus, Tycho Brahe, Johannes Kepler, Galileo Galilei, dan Francis Bacon.
Disamping perkembangan di bidang ilmu pengetahuan alam, pada
zaman Renaisance juga terdapat perkembangan di bidang ilmu negara, sekalipun
puncaknya baru terdapat pada awal abad ke-17, yaitu dari Hugo de Groot
(1583-1645) dengan gagasannya tentang hukum internasional. Orang yang merintis
suatu perkembangan besar pada abad ke-17 adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia
dapat dipandang sebagai orang yang meletakkan dasar-dasarr bagi metode induksi
yang modern, dan menjadi pelopor dalam usaha mensistemalisasi secara logis
prosedur ilmiah.
Pada masa ini muncul pemikir-pemikir yang mendorong cara
pendekatann yang sama sekali baru terhadap masalah-masalah manusia, seperti
rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), yaitu syarat yang
dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sementara, aliran empirisme berpendapat
bahwa empiri ata pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman
batiniah maupun lahiriah.
Mulai saat zaman modern, teknologi mendapat arti baru sebagai
applied scince (Ilmu terapan). Ditemukannya mesin uap oleh James Watt mendorong
tercetusnya Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. Tokoh yangmemberikan
sumbangan pada masa modern adalah Rene Descartes (1596-1650) merupakan tokoh
yang amat mendewakan rasio dan terkenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut
Decrates, langkah-langkah berpikir terdiri dari empat hal, (1) tidak menerima
apa pun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu memang
benar, (2) memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk
mempermudah penyelesaiannya, (3) berpikir runtut dengan mulai dari hal yang
paling rumit, (4) perincian yang lengkap dan pemeriksaan yang menyeluruh
diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan dari permasalahan yang dikaji
(Mustansyir, 2001: 81-82). Tokoh-tokoh yang lain adalah Isaac Newton
(1643-1727) yakni dalam bidang ilmu fisika, dan matematika, J.J. Thompson
sebagai penemu electron, Darwin menyumbangkan teori evolusi serta tokoh-tokoh
lainnya.
Muncul pemikiran positivisme pada abad ke-19 yang dikemukakan
oleh Auguste Comte (1798-1857). Pemikiran ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang factual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang diluar
apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Menurut Comte,
perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, yaitu teologis,
metafisis, ilmiah atau positif. Zaman teologis, orang mengarahkan rohnya kepada
hakekat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terakhir
segala sesuatu. Zaman metafisis , kekuatan-kekuatan adikodrati hanya diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian yang
dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang dipandang sebagai asal
segala penampakan atau gejala yang khusus. Zaman positif adalah zaman ketika orang
tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha untuk mencapaii pengetahuan yang
mutlak. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kasamaan dan urutan yang
terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, yaitu
dengan pengamatan dan dengan memakai akal. Menurut Comte ilmu pasti adalah
dasar segala filsafat.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman kontemporer berkembang
dengan sangat cepat. Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan
berbagai macam penemuan-penemuannya. Penemuan dan penciptaan terjadi silih
berganti dan makin sering. Informasi ilmiah diproduksi dengan cepat, meliputi
dua setiap tahun, bahkan disiplin-disiplin tertentu seperti genetika setiap dua
tahun (Jacob, 1993:19).
Dalam bidang kedokteran, Mahzhab Hippokrates melihat kedokteran
secara historis , tetapi sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar
dengan gagasan manusia harus menguasai alam; materi dan jiwa harus dipisahkan.
Dalam dasawarsa-dasawarsa akhir datang pula arus kontra dengan gerakan ke
holism lagi, karena pengaruh negative teknologi dan pengaruh positif ekologi
(Jacob, 2993: 20-21).
Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan
guna semakin menajamkan daya analisa terhadap fenomena yang ditelitinya.
Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika sianggap memiliki
perkembangan yang sangat spektakuler. Salah satu fisikawan yang termasyur pada
masa itu adalah Albert Einstein.
Dalam 20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan teknologi
itu sedemikian rupa, sehingga kalau diukur dari jangka waktu yang pendek
tersebut , pertumbuhan itu laksana sebuah ledakan. Di masa depan teknologi akan
jauh lebih pesat lagi perkembangannya. Orang membayangkan masa depan yang penuh
shock, yan gpenuh katidakpastian dan kecemasan, karena lingkungan yang terlalu
cepat berubah. Perkembangan teknologi akan menambah kuatitas produk, tetapi
menurunkan kualitas. Teknologi sengaja dibuat segera usang atau tidak tahan
lama. Inilah yang disebut technostress.
Dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa
yang sangat penting, yang dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Media
elektronik kemudian merevolisi informasi dengan telavisa, Koran jarak jauh,
dll. Sekarang microelektronik dan multi media memebawa kita ke masyarakat
informasi yang sanggup menyajikan gambar, suara dan cetakan sekaligus dan dapat
bersifat individual dan personal.
Perkembangan teknologi juga ditrandai dengan makin meluasnya
penggunaan teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari, dan makin lama
makin mencapai skala masal. Disisi lain pada zaman Kontemporer perkembangan
ilmu juga ditandai dengan terjadinya spesialisasi-spesialisasi yang semakin
tajam. Akibatnya, bidang pengkajian suatu bidang keilmuan makin sempit yang
ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti asumsi dan
prinsip sehingga membuat lingkup penglihatan keilmuan bertambah sempit pula.
Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionelle.
Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan
lainnya dalam perkembangan ilmu pada zaman kontemporer ini adalah sintesis
antara bidang ilmu satu dengan bidang ilmu yang lainnya. Perkembangan ilmu yang
semakin cepat pada masa sekarang dimungkinkan karena adanya metode ilmiah dan
komunikasi ilmiah antar ilmuan. Komunikasi ilmiah antar ilmuan juga sangat
mendukung bagi percepatan perkembangna ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh seorang ilmuan disuatu wilayah akan dapat dengan mudah diketahui
oleh ilmuan lain di wilayah lain. Namun pada masa sekarang komunikasi antar
ilmuan menjadi sangat mudah karena munculnya pendukung lain seperti internet.
Inilah yang menjad kunci percepatan perkembangan ilmu sekarang ini.
D.
Relasi Ilmu,
Peradaban dan Islam
Adalah hal yang sangat luar biasa ketika Islam kemudian berhasil mengubah
peradaban padang yang tadinya hanya masyarakat pedagang keliling yang hobbi
perang antar suku untuk memperebutkan harta, dan nomaden, menjadi salah satu
pusat kemajuan dan peradaban dunia. Dan semua itu tidak lepas dari keberhasilan
Islam, dalam hal ini tentu RasulullahSAW membangun tradisi ilmu.
Mengapa tradisi
ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh
bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah
memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah
gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat
tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang
“gila ilmu”.
Bukan hanya
itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan
manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi sahaby” yang belum mampu
dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat
ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu
dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat
yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler”
hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Memang,
peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan
unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang
menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan.
Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan
dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya
yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus
kepada ibadah.
Berbeda dengan
jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru
mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku,
maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga
memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan
dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah
peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula
peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam
berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama
dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan
jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan
ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah
yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum),
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu
Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima
jabatan Qadhi negara.
Tradisi ilmu
dalam Islam ini berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Yunani, yang
merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat. Dalam bukunya, Budaya
Ilmu (Satu Penjelasan) (2003), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar
pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia,
mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan
kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: “Kami mempunyai
institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan
(keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk
melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.”
Karena itu,
tradisi ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang
dibangun dalam peradaban sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, pendiri ISTAC,
untuk membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus
dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai “ta’dib”.
Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab.
Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan
masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar
dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri,
masyarakat, dan lingkungannya.
Hasil tertinggi
dari adab ialah mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang
wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Jika konsep
adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban
yang dalam bahasa Melayu disebut ‘tamadun’, yang berbasiskan pada ‘ad-din’.
Madinah adalah kota dimana ”ad-Din” diaplikasikan.
3
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia yang semakin lama semakin maju dan meluas. Dan perkembangan
ilmu pengetahuan tidak terpusat hanya pada suatu wilayah tertentu saja.
Melainkan merata pada wilayah-wilayah yang dihuni manusia. Mulai dari Zaman
Purba yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Mesir dan
Babylonia pada abad 3–1 SM, perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah India pada
tahun 2000 SM, dan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Cina pada masa
Dinasti Shang dan Dinasti Chon. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada
Zaman Yunani (abad 7 SM–6 M) yang dikenal sebagai masa kelahiran pemikiran
kritis refleksi manusia. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman
Pertengahan (abad 6 SM–15M) yang dimulai dengan kejatuhan
Kekaisaran Romawi Barat hingga timbulnya Renaissance di Italia. Kemudian
perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Kekhilafahan Islam yang merupakan
dasar perkembangan tradisi pemikiran ilmiah, dan perkembangan IPTEK di barat.
Zaman Renaissance (abad 14–17 M) yang merupakan zaman peralihan ketika
kebudayaan abad tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Kemudian
perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Modern (abad 17-19 M) yang ditandai
dengan percepatan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Hingga perkembangan ilmu
pengetahuan pada Zaman Kontemporer (abad 20 M – sekarang) yang ditandai dengan
perkembangan disiplin ilmu dari masing-masing ilmu yang menghasilkan berbagai
macam penemuan yang silih berganti dan makin sering. Perubahan perilaku/
kebiasaan masyarakat mulai dari berburu, berladang hingga penggunaan teknologi
modern merupakan bentuk dari perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju
seiring dengan perkembangan akal pikiran manusia. Yang terjadi tidak hanya pada
benua Eropa tetapi dunia Timur juga memegang peran penting dalam perkembangan
ilmu dan peradaban manusia.
Islam hadir di semenanjung Arab dan berhasil mengubah peradaban padang yang tadinya hanya
masyarakat pedagang keliling yang hobbi perang antar suku untuk memperebutkan
harta, dan nomaden, menjadi salah satu pusat kemajuan dan peradaban dunia. Dan semua itu tidak lepas dari
keberhasilan Islam, dalam hal ini tentu Rasulullah SAW membangun tradisi ilmu. Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa
didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam.
Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah
masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah
masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal
sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
--oOo--
Referensi:
Amhar, Fahmi.
2011. IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Dunia dan Peradaban Dunia. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI,
1-30 Juni 2011.
Maghfur, Muhammad.
2002. Koreksi Atas Kesalahan
Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah.
Noor, Hadian.
1997. Pengantar Sejarah Filsafat.
Malang: Citra Mentari Group.
Osborne, Richard.
2001. Filsafat Untuk Pemula.
Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Maman,
dkk. 2008. Filsafat Ilmu.
Semarang: UPT UNNES Press.
Russell, Bertrand.
2004. Sejarah Filsafat Barat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadik, Kusman.
2011. Pendidikan Islam: Bermutu dan Melahirkan Manusia Unggul. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI,
1-30 Juni 2011.
Salam,
Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu
[2] Ardnold Toynbee, Theories of Society, (New York, The Free Press,
1965), h. 1355
[3] H.J Wills, Short History of the World (aldxh.
62.
[4] Pemahaman mengenai teori Toynbee di sini didasarkan kepada ringkasan tentang teori Toynbee oleh Pitirim Sorokin dalam, Toynbee’s Philosophy of History yang dimuat di buku Pattern of The Past : Can We Determine It ? (1949), juga kepada keterangan Pieter Gyel (salah satu kritikus Toynbee) pada buku yang sama.
[4] Pemahaman mengenai teori Toynbee di sini didasarkan kepada ringkasan tentang teori Toynbee oleh Pitirim Sorokin dalam, Toynbee’s Philosophy of History yang dimuat di buku Pattern of The Past : Can We Determine It ? (1949), juga kepada keterangan Pieter Gyel (salah satu kritikus Toynbee) pada buku yang sama.
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi