Senin, 13 Januari 2014

Ilmu dan Peradaban

Oleh Fathoni dan Ahmad Iftah Sidik

1
PENDAHULUAN
Tidak ada kemajuan peradaban yang dibangun tanpa ilmu pengetahuan. Itu terbukti di manapun kota atau negara yang peradabannya pernah mencapai kebesaran dan keagungan, pasti di sana ilmu tumbuh dengan subur. Karena itu ada kaitan erat antara peradaban dan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami dan mengelola kehidupan. Yang menjadi pertanyaan kemudian dan hendak dijawab dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian ilmu dan peradaban?
2.      Bagaimana sebuah peradaban dibangun? Unsur-unsur apa saja yang menjadi unsur                  bangunannya?
3.      Bagaimana peran imu dalam pembangunan sebuah peradaban?
4.      Bagaiamana relasi antara ilmu, peradaban dan islam?

2
ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN

A.       Definisi Ilmu Pengetahuan
Secara umum,  Ilmu (science) atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.[1]
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Percobaan adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Definisi John Ziman menekankan pada makna manfaat, sebab kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori yang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sumber ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.

B.       Pengertian Peradaban
Arnold Toynbee menyatakan dalam “The Disintegrations of Civilization”, peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi.
Pengertian yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya, maupun iptek).[2]
Sementara Samuel Huntington memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif. Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika Serikat- dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahas, budaya dan agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban, yakni peradaban barat.
Sebelum adanya peradaban Eroamerika yang menguasai dunia peradaban sekarang ini sudah barang tentu terlebih dahulu sudah ada peradaban yang disebut dengan peradaban dunia; kuno atau klasik pra-Islam. Di antara peradaban-peradaban itu adalah:
1.      Irak, di antara peradaban yang terpenting adalah Sumeria, Akkadia, Ayalamiyah, Babilonia, Asyuriah, dan Kaldaniah
2.      Peradaban Syam, di antara peradaban yang terpenting adalah Amuriyah, Vinikia, Kan’an,. Aramiyah, Anbath, Tadmur, Ghassan, dan Munazarah
3.      Peradaban Mesir, peradaban yang terpenting adalah peradabaan Fir’aun dan peradaban Heksus
4.      Peradaban Yaman, di antaranya Ma’in, Saba’, Himyar, dan Qatban.
5.      Peradaban Persia
6.      Peradaban Yunani dan Romawi

Peradaban Fir’aun dan Sumeria adalah dua peradaban paling awal yang ada dalam sejarah manusia[3].
Dari dunia Islam, kajian tentang peradaban umat manusia dilakkan oleh sosiololog mulim, Ibnu Khaldun. Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1.      Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.      Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.      Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4.      Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5.      Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
A. J. Toynbee dalam karyanya, A Study of History, mengatakan, peradaban bukan negara yang menjadi basis karya sejarahnya. Bagi Toynbee, peradaban adalah unit nyata dari sejarah. Dia menganalisis, dua puluh satu peradaban, empat peradaban abortif (mati di tengah jalan) dan lima peradaban terpenjara (tidak bergerak dari fase awal peradabannya). Dari Studinya ia merumuskan beberapa pertanyaan terkain tahap pertumbuhan peradaban, yaitu:[4]
Problem pertama, bagaimana peradaban lahir? Jawaban Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini bisa tidak sangat menguntungkan, bisa juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme kelahiran sebuah peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam proses saling mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan (challenge-and-response). Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat peradaban. Apa bentuk tantangan-tantangan atau rangsangan lingkungan yang melahirkan peradaban ini ? Negeri yang ganas (hard country), tanah baru (new ground, karena migrasi misalnya), serangan (blows, perang misalnya), tekanan (pressures, kompetisi antar masyarakat), hukuman (penalization, hukuman sosial).
Pertanyaanya kemudian, mengapa dan bagaimana beberapa masyarakat gugur dalam proses peradabannya dan beberapa yang lain terperangkap pada taraf permulaan saja, sedangkan yang lain tumbuh menjadi peradaban yang penuh elan ? Menurut Toynbee untuk menjawab ini perlu ditegaskan dulu makna dari pertumbuhan (growth) dan gejala-gejalanya. Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari ekspansi geografis masyarakatnya (kebalikannya malah valid, kemunduran peradaban bisa diasosiasikan dengan ekspansi geografis). Pertumbuhan peradaban juga tidak diukur dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri dari determinasi diri atau artikulasi diri ke dalam yang progresif dan kumulatif, dalam “etherialisasi” nilai-nilai masyarakat secara progresif dan kumulatif, dan simplifikasi aparatus dan teknik peradabannya [etherialisasi, mengarahkan aksi dari luar ke dalam]. Dari aspek hubungan intrasosial dan antar individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal henti dari minoritas kreatif terhadap tantangan-tantangan lingkungan yang ada. Peradaban yang berkembang membentangkan potensi dominannya; estetika pada peradaban Hellenik, religius pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik pada peradaban Barat, dsb.
Problem ketiga, bagaimana dan mengapa peradaban jatuh, terdisintegrasi dan hancur ?. Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan atau kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama masa pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations die from suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut; kejatuhan (break-down), distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bakan ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu.
Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan, minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan (force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk menjaga kelangsungan hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya external proletariat) mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaba\n yang mulai runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, schism ini mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya.
Personalitas manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi empat golongan besar. Mereka yang mengidealisasikan masa lalu (archaism), mereka yang mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri dari realitas dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi keruntuhan dengan wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali bagi transfigurator, usaha-usaha manusia berdasarkan tipe personalitasnya tidak menghentikan proses disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat peradaban menjadi fosil. Jalan tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai kepada spiritualitas baru, tidak menghentikan disintegrasi peradaban, tetapi membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru.

C.       Peran Ilmu dalam Membangun Peradaban
Beberapa bangsa yang menjadi besar dan maju peradabannya, tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuannya pada zaman itu. Yunani kuno, misalnya, kemajuannya dimulai dari kemajuan ilmu filsafat yang berlomba dengan agama. Sokrates meletakkan dasar pengetahuan dengan mengikirs mitos dan memperkenalkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.
Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya. Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang bijaksana dan berapengetahuan”), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu dia didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara itu pada Abad Pertengahan (476 – 1492) Eropa secara umum berada dalam “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja, berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, dan berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain. Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus, Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan dominasi akal yang hampir seratus persen pada Zaman Yunani sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.
Berbeda dengan keaadan di Eropa, di dunia Islam pada masa yang sama justru malah mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europa (1994) sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 31) menyatakan “peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi barat tidak akan ada artinya”.
Bukti perkembangan tradisi pemikiran ilmiah pada masa kekhilafahan Islam dapat dilihat dari sarana dan prasarana pendidikan yang telah maju pada zamannya. Terdapat Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Ada pula Madrasah An-Nuriah yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Muhammad Nuruddin Zanky. Pada abad ke-10, di Andalusia terdapat 20 perpustakaan umum, diantaranya yang terkenal adalah perpustakaan Cordova yang saat itu memiliki tidak kurang 400 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku, Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah dibakar pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Bandingkan dengan perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encyclopedia, hanya memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku (Sadik, 2011: 31). Jonathan Bloom dan Sheila Blair dalam bukunya Islam: A Thousand Years of Faith and Power (2002) sebagaimana dikutip Kusman Sadik (2011: 32) menyatakan bahwa “rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa”.
Tokoh-tokoh yang terkenal memberi dasar pada kemajuan tradisi pemikiran ilmiah, sains dan teknologi pada masa kekhilafahan Islam, diantaranya Imam Syafi’I yang menurut Imam Al-Mawardi karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiki, adab, dan lain-lain. Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dengan kitabnya Al-Musnad. Selain itu, terdapat cendekiawan bidang sains yang disegani di dunia barat yaitu Ibnu Sina (dikalangan ilmuwan Barat dikenal dengan nama Avicenna). Karyanya yang sangat terkenal Al-Qanun fi ath-Thibb, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Canon of Medicine merupakan tujukan bidang kedokteran dunia selama berabad-abad. Di dalam kitabnya, ia menulis ensiklopedia jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Karya lainnya adalah Kitab Asy-Syifa yang terdiri dari 18 jilid dan dikenal di dunia kedokteran modern sebagai ensiklopedia filosofi kedokteran (Sadik, 2011: 32). Kemudian, Al-Biruni, yang oleh saintis Barat, George Sarton (Introduction to the History of Science, 1927), dikategorikan sebagai ilmuwan terhebat sepanjang zaman. John J O’Connor dan Edmund F Robertson dalam bukunya History of Mathematics, menyebutkan bahwa Al-Biruni telah berkontribusi penting dalam geodesi dan geografi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik mengukur jarak di bumi menggunakan metode triangulasi. Dalam kitabnya, Al-Jawahir atau Book of Precious Stones, al-Biruni menjelaskan beragam mineral dan mengklasifikasikannya berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan serta beratnya. Al-Biruni merupakan ilmuwan Muslim pertama yang mengemukakan bahwa kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara.
Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Menurut catatan sejarah, 1000 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, seorang ilmuwan Muslim abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas tersebut, yaitu al-Kindi. Dalam kitabnya, Al-Falsafah al-Ula, al-Kindi mengemukakan bahwa fisik bumi dan seluruh fenomena fisik bumi (waktu, ruang, gerakan, dan benda) semuanya relatif dan tidak absolute. Ia berbeda dengan Galileo, dan Descartes yang menanggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolute. Teori Einstein tentang relativitas yang dipublikasikan dalam La Relativite banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Kindi.
Ilmuwan Muslim lainnya yang memajukan tradisi pemikiran ilmiah pada masa keemasan Islam adalah al-Khawarizmi yang terkenal dengan kitab monumentalnya, al-Maqalah fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah, yang versi terjemahan bahasa Inggrisnya adalah The Compendious Book on Calcuation By Completion and Balancing. Melalui kitabnya ini, al-Khawarizmi telah meletakkan dasar cabang Matematika modern yakni Aljabar (Algebra). Carl B. Boyer dalam bukunya The Arabic Hegemony: A History of Mathematics, mengungkapkan bahwa kitab Al-Jabr karya al-Khawarizmi itu telah menguraikan perhitungan yang lengkap dalam memecahkan akar positif polynomial persamaan sampai dengan derajat kedua.
Perkembangan dunia sains juga dipelopori oleh al-Haitham atau Alhazen. Penelitiannya mengenai cahaya telah memberikan dasar penting kepada saintis Barat yaitu Boger, Bacon, dan Kepler dalam penciptaan mikroskop serta teleskop. Adapun Jabir Ibnu Hayyan atau di Barat dikenal dengan nama Geber merupakan peletak dasar ilmu kimia modern.Sepuluh abad sebelum ahli kimia barat John Dalton mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721 M-815 M) telah menemukannya pada abad ke-8, kitabnya yang berjudul Al-Kimya atau versi terjemahannya The Book of Composition Aichemy, telah menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa selama ratusan tahun. Berkat jasa Jabir, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam nitrat, asam asetat, teknik distilasi dan teknik kritalisasi.
Perkembangan pemikiran filsafat di era kekhilafahan Islam dimulai dari seorang tokoh yang bernama Al-Kindi yang merupakan orang arab keturunan Qahtan. Kedudukan Al-Kindi diakui oleh ahli sehrah pemikiran Ibnu An-Nadlim, sebagai salah seorang tokoh agung pada zamannya bahkan dinobatkan sebagai filosuf arab pertama (Maghfur, 2002: 66). Mendalamnya pengetahuan Al-Kindi Nampak dari karya-karyanya yang telah dikumpulkan oleh An-Nadlim sebanyak 241 topik, dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 18 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, dan sebagainya. Karya monumental Al-Kindi di bidang filsafat adalah Kitab Ila al-Mu;tashim Billah fi al-falsafah al-Ula.
Sepeninggal Al-Kindi pada tahun 260 H/873 M, muncul nama besar lainnya dalam sejarah filsafat Islam yaitu Al-Farabi. Al-farabi merupakan filosuf muslim kedua setelah Al-Kindi. Al-Farabi anak seorang njenderal pada masa Abbasiyah yang lahir di Farab Transoxiana. Dari kampungnya Al-Farabi menuju Baghdad yang terkenal pada masa itu sebagai pusat studi sains. Karya-karya al-Farabi sebanyak 128 buah, dalam bidang logika sebanyak 36 buah. Karya monumental Al-Farabi diantaranya Kitab Al-Qiyas, Tawti’ah fi al-Mantiq. Seperti halnya Al-Kindi, al-Farabi juga telah melakukan kompromi antara agama dengan filsafat.
Setelah Al-Farabi yang meninggal pada 339 H/951 M di damaskus, muncul filosuf lain yaitu Ibu Sina (370H/980 M). Ibnu Sina memiliki karya sebanyak 276 Kitab, namun menurut Al-Badawi yang tersisa saat ini hanya 17 buah antara lain yang terkenal al-Syifa’, yang terdiri dari empat bagian, yaitu logika, matematika, fisika, dan metafisika. Secara umum, kecenderungan filsafat Ibnu Sina tidak juah beda dengan al-Farabi. Keduanya berusaha untuk mengintegrasikan pandangan kefilsafatan dengan agama. Ibnu Sina meninggal dalam usia 58 tahun pada hari Jum’at pertama Ramadhan tahun 428 H/1049 M (Maghfur, 2002: 75).
Sepeninggal Ibnu Sina, muncul filosuf muslim yang mengembangkan tradisi pemikiran filsafat Islam di Barat yakni Ibnu Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), oleh Ibnu an-Nadlim disebut sebagai tokoh sentral filsafat Islam di Barat. Ibnu Bajjah sezaman dengan al-Ghazali. Menurut Ibnu Tufayl dalam pengantar Risalah Hayyi bin Yaqzan, yang menyatakan bahwa di Andalusia (Spanyol) belum pernah ada orang yang berpengetahuan  lebih mendalam, sahih dan jujur dari segi periwayatannya dalam bidang filsafat selain Ibnu Bajjah. Saat ini karya Ibnu Bajjah yang telah didaftar oleh Oxford meliputi 29 judul, antara lain: Maqalat al-Sama’ awa al-Tabi’I. Filsafat Ibnu Bajjah banyak dipengaruhi unsur Platonisme dibanding Aristoteleanisme (Maghfur, 2002: 82).
Filosuf muslim Barat kedua adalah Ibnu Tufayl. Beliau lahir di Granada sekitar 506 H/1123 M. Setelah itu muncul generasi setelahnya yakni Ibnu Rusyd pada tahun 520 H/1137 M atau 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Serta masih banyak lagi pemikir atau filosuf muslim lainnya yang pernah dilahirkan pada masa keemasan peradaban Islam (masa Kekhilafahan). Pengakuan jujur para peneliti telah menjadi bukti akan kemajuan tradisi berpikir ilmiah pada masa kekhilafahan Islam, sebagaimana John J.O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics Archive: Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to Europen mathamatichians of the sixteenth,seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathamatichians around four centuries earlier. (Penelitian terkini memberikan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita. Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15, 17 dan 18 ternyata telah dikembangakan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat abad lebih awal) (Amhar: 2011: 48)
Sementara setelah abad ke-14 Eropa baru bangun dari tidur panjangnya melalui apa yg disebut renasisannce. Kata Renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaisance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman ketika orang merasa telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman ini merupakan era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Manusia pasa zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran bebas, seperti pada zaman Yunani Kuno.
Gejala-gejala kebangkitan kembali pemikiran bebas telah mulai tampak pada abad ke-12M dan merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan ini dipelopori oleh beberapa orang biarawan yang menuntut ilmu di Spanyol, kemudian menyebarkan kebeberapa tempat di Eropa. Menurut Slamet Iman Santosa (1977:65) perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Renaissance mempunyai tiga sumber, yaitu: (1) adanya hubungan dengan kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan negara-nagara Perancis. (2) Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali. (3) jatuhnya Istanbul ke tangan bangsa Turki (1453).
Kabangkitan ilmu pengetahuan pada zaman Renaisance ditandai dengan timbulnya pemikiran dari tokoh-tokoh terkenal seperti: Nicolas Copernicus, Tycho Brahe, Johannes Kepler, Galileo Galilei, dan Francis Bacon.
Disamping perkembangan di bidang ilmu pengetahuan alam, pada zaman Renaisance juga terdapat perkembangan di bidang ilmu negara, sekalipun puncaknya baru terdapat pada awal abad ke-17, yaitu dari Hugo de Groot (1583-1645) dengan gagasannya tentang hukum internasional. Orang yang merintis suatu perkembangan besar pada abad ke-17 adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia dapat dipandang sebagai orang yang meletakkan dasar-dasarr bagi metode induksi yang modern, dan menjadi pelopor dalam usaha mensistemalisasi secara logis prosedur ilmiah.
Pada masa ini muncul pemikir-pemikir yang mendorong cara pendekatann yang sama sekali baru terhadap masalah-masalah manusia, seperti rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sementara, aliran empirisme berpendapat bahwa empiri ata pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman batiniah maupun lahiriah.
Mulai saat zaman modern, teknologi mendapat arti baru sebagai applied scince (Ilmu terapan). Ditemukannya mesin uap oleh James Watt mendorong tercetusnya Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. Tokoh yangmemberikan sumbangan pada masa modern adalah Rene Descartes (1596-1650) merupakan tokoh yang amat mendewakan rasio dan terkenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Decrates, langkah-langkah berpikir terdiri dari empat hal, (1) tidak menerima apa pun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu memang benar, (2) memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaiannya, (3) berpikir runtut dengan mulai dari hal yang paling rumit, (4) perincian yang lengkap dan pemeriksaan yang menyeluruh diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan dari permasalahan yang dikaji (Mustansyir, 2001: 81-82). Tokoh-tokoh yang lain adalah Isaac Newton (1643-1727) yakni dalam bidang ilmu fisika, dan matematika, J.J. Thompson sebagai penemu electron, Darwin menyumbangkan teori evolusi serta tokoh-tokoh lainnya.
Muncul pemikiran positivisme pada abad ke-19 yang dikemukakan oleh Auguste Comte (1798-1857). Pemikiran ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang diluar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisis, ilmiah atau positif. Zaman teologis, orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan terakhir segala sesuatu. Zaman metafisis , kekuatan-kekuatan adikodrati hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian yang dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus. Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha untuk mencapaii pengetahuan yang mutlak. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kasamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akal. Menurut Comte ilmu pasti adalah dasar segala filsafat.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman kontemporer berkembang dengan sangat cepat. Masing-masing ilmu mengembangkan disiplin keilmuannya dan berbagai macam penemuan-penemuannya. Penemuan dan penciptaan terjadi silih berganti dan makin sering. Informasi ilmiah diproduksi dengan cepat, meliputi dua setiap tahun, bahkan disiplin-disiplin tertentu seperti genetika setiap dua tahun (Jacob, 1993:19).
Dalam bidang kedokteran, Mahzhab Hippokrates melihat kedokteran secara historis , tetapi sekitar lima abad yang lalu terjadi perubahan besar dengan gagasan manusia harus menguasai alam; materi dan jiwa harus dipisahkan. Dalam dasawarsa-dasawarsa akhir datang pula arus kontra dengan gerakan ke holism lagi, karena pengaruh negative teknologi dan pengaruh positif ekologi (Jacob, 2993: 20-21).
Dalam disiplin ilmu social, berbagai macam pendekatan dihasilkan guna semakin menajamkan daya analisa terhadap fenomena yang ditelitinya. Sementara itu dalam ilmu pengetahuan alam, terutama fisika sianggap memiliki perkembangan yang sangat spektakuler. Salah satu fisikawan yang termasyur pada masa itu adalah Albert Einstein.
Dalam 20 tahun terakhir ini, percepatan pertumbuhan teknologi itu sedemikian rupa, sehingga kalau diukur dari jangka waktu yang pendek tersebut , pertumbuhan itu laksana sebuah ledakan. Di masa depan teknologi akan jauh lebih pesat lagi perkembangannya. Orang membayangkan masa depan yang penuh shock, yan gpenuh katidakpastian dan kecemasan, karena lingkungan yang terlalu cepat berubah. Perkembangan teknologi akan menambah kuatitas produk, tetapi menurunkan kualitas. Teknologi sengaja dibuat segera usang atau tidak tahan lama. Inilah yang disebut technostress.
Dalam media komunikasi, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa yang sangat penting, yang dimanfaatkan dengan baik pertama kali di Eropa. Media elektronik kemudian merevolisi informasi dengan telavisa, Koran jarak jauh, dll. Sekarang microelektronik dan multi media memebawa kita ke masyarakat informasi yang sanggup menyajikan gambar, suara dan cetakan sekaligus dan dapat bersifat individual dan personal.
Perkembangan teknologi juga ditrandai dengan makin meluasnya penggunaan teknologi modern itu dalam kehidupan sehari-hari, dan makin lama makin mencapai skala masal. Disisi lain pada zaman Kontemporer perkembangan ilmu juga ditandai dengan terjadinya spesialisasi-spesialisasi yang semakin tajam. Akibatnya, bidang pengkajian suatu bidang keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti asumsi dan prinsip sehingga membuat lingkup penglihatan keilmuan bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionelle.
Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lainnya dalam perkembangan ilmu pada zaman kontemporer ini adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan bidang ilmu yang lainnya. Perkembangan ilmu yang semakin cepat pada masa sekarang dimungkinkan karena adanya metode ilmiah dan komunikasi ilmiah antar ilmuan. Komunikasi ilmiah antar ilmuan juga sangat mendukung bagi percepatan perkembangna ilmu pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuan disuatu wilayah akan dapat dengan mudah diketahui oleh ilmuan lain di wilayah lain. Namun pada masa sekarang komunikasi antar ilmuan menjadi sangat mudah karena munculnya pendukung lain seperti internet. Inilah yang menjad kunci percepatan perkembangan ilmu sekarang ini.
D.      Relasi Ilmu, Peradaban dan Islam
Adalah hal yang sangat luar biasa ketika Islam kemudian berhasil mengubah peradaban padang yang tadinya hanya masyarakat pedagang keliling yang hobbi perang antar suku untuk memperebutkan harta, dan nomaden, menjadi salah satu pusat kemajuan dan peradaban dunia. Dan semua itu tidak lepas dari keberhasilan Islam, dalam hal ini tentu RasulullahSAW  membangun tradisi ilmu.
Mengapa tradisi ilmu?  Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi sahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
Tradisi ilmu dalam Islam ini berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Yunani, yang merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat. Dalam bukunya, Budaya Ilmu (Satu Penjelasan) (2003), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: “Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.” 
Karena itu, tradisi ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, untuk membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai “ta’dib”. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut ‘tamadun’, yang berbasiskan pada ‘ad-din’. Madinah adalah kota dimana ”ad-Din” diaplikasikan.



3
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia yang semakin lama semakin maju dan meluas. Dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak terpusat hanya pada suatu wilayah tertentu saja. Melainkan merata pada wilayah-wilayah yang dihuni manusia. Mulai dari Zaman Purba yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Mesir dan Babylonia pada abad 3–1 SM, perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah India pada tahun 2000 SM, dan perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah Cina pada masa Dinasti Shang dan Dinasti Chon. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Yunani (abad 7 SM–6 M) yang dikenal sebagai masa kelahiran pemikiran kritis refleksi manusia. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman
Pertengahan (abad 6 SM–15M) yang dimulai dengan kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat hingga timbulnya Renaissance di Italia. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Kekhilafahan Islam yang merupakan dasar perkembangan tradisi pemikiran ilmiah, dan perkembangan IPTEK di barat. Zaman Renaissance (abad 14–17 M) yang merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Modern (abad 17-19 M) yang ditandai dengan percepatan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Hingga perkembangan ilmu pengetahuan pada Zaman Kontemporer (abad 20 M – sekarang) yang ditandai dengan perkembangan disiplin ilmu dari masing-masing ilmu yang menghasilkan berbagai macam penemuan yang silih berganti dan makin sering. Perubahan perilaku/ kebiasaan masyarakat mulai dari berburu, berladang hingga penggunaan teknologi modern merupakan bentuk dari perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju seiring dengan perkembangan akal pikiran manusia. Yang terjadi tidak hanya pada benua Eropa tetapi dunia Timur juga memegang peran penting dalam perkembangan ilmu dan peradaban manusia.
Islam hadir di semenanjung Arab dan berhasil mengubah peradaban padang yang tadinya hanya masyarakat pedagang keliling yang hobbi perang antar suku untuk memperebutkan harta, dan nomaden, menjadi salah satu pusat kemajuan dan peradaban dunia. Dan semua itu tidak lepas dari keberhasilan Islam, dalam hal ini tentu Rasulullah SAW membangun tradisi ilmu.  Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
--oOo--
Referensi:
Amhar, Fahmi. 2011. IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Dunia dan Peradaban Dunia. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI, 1-30 Juni 2011.
Maghfur, Muhammad. 2002. Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah.
Noor, Hadian. 1997. Pengantar Sejarah Filsafat. Malang: Citra Mentari Group.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Maman, dkk. 2008. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT UNNES Press.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadik, Kusman. 2011. Pendidikan Islam: Bermutu dan Melahirkan Manusia Unggul. Media Politik dan Dakwah Al-Wa’ie. No. 130 Tahun XI, 1-30 Juni 2011.
Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu
[2] Ardnold Toynbee, Theories of Society, (New York, The Free Press, 1965), h. 1355
[3] H.J Wills, Short History of the World  (aldxh. 62.
[4] Pemahaman mengenai teori Toynbee di sini didasarkan kepada ringkasan tentang teori Toynbee oleh Pitirim Sorokin dalam, Toynbee’s Philosophy of History yang dimuat di buku Pattern of The Past : Can We Determine It ? (1949), juga kepada keterangan Pieter Gyel (salah satu kritikus Toynbee) pada buku yang sama.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi