Jumat, 02 Januari 2015

2014, Lika-likuku, dan Indonesiaku

Oleh: Fathoni Ahmad

Akhir tahun 2013, tepatnya tanggal 10-19 Desember 2013 aku mengikuti Diklat di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dalam rangka pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi para calon pemimpin yang mana difokuskan kepada para anggota partai politik (parpol) menjelang Pemillu 2014. Aku sebetulnya bukan anggota parpol, tetapi aku berangkat sebagai bagian dari organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang kebangsaan. Jadi cukup relevan jika toh aku diminta mengikuti diklat tersebut oleh salah satu politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Bang Abdul Jalil. Ah, padahal dia sudah masuk usia tua, tetapi panggilan itulah yang seakan membuat kita akrab dalam relasi organisasi.

Ya, saat itu aku sudah menjadi bagian dari Kantor Berita Nahdaltul Ulama, NU Online, www.nu.or.id, yang manggung di lantai 5 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Sebagai bagian dari ormas besar NU, NU Online bergerak dalam bidang informasi mengenai keagamaan, keislaman, kebangsaan, dan lain sebagainya dengan sumber shahih dan rujukan terpercaya sehingga kami meraih penghargaan sebagai situs terbaik dalam bidang sosial kemasyarakatan tahun 2004 versi Komputer Aktif, lembaga penelitian independen yang bergerak dalam teknologi, informasi dan komunikasi. Kantor Berita kami juga konsisten dalam memberikan informasi tentang penanaman nilai-nilai kebangsaan, khususnya kepada warga NU (nahdliyin). 
  
Selama 10 hari mengikuti diklat di lembaga yang digawangi oleh Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA., aku dan ratusan peserta lain mendapatkan banyak input dari berbagai persoalan kebangsaan dan kepemimpinan. Secara pribadi, aku merasa bangga karena saat itu aku termasuk peserta termuda dengan usia 24 tahun. Bahkan peserta lain banyak yang sudah mencapai pendidikan Doktor (S3), sedangkan aku baru semester 1 di Pascasarjana (S2) Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Rasa sedikit minder ada, tetapi problem tersebut tidak menjadi kendala terutama ketika berada di dalam forum diskusi dan diklat. Ya, meski bukan aktivis tulen, yang namanya diskusi, bahkan debat sudah banyak aku lalui di dunia pergerakan dulu.

Dengan pengalaman keilmuan yang masih seumur jagung, tentu aku tambah bangga ketika yang menjadi instruktur diklat orang-orang yang mempunyai kompetensi tinggi. Meski bukan sebagai peserta Kursus Singkat Angkatan (KSA), yang memang menjadi kelas bergengsi di Lemhannas, pengajar yang diberikan kepada kita sama seperti kelas-kelas KSA yang diperuntukan bagi pejabat eselon 1 dan setingkat brigadir jenderal (Brigjen) ialah jenderal berbintang satu. Diantara pengajarku ketika di Lemhannas yaitu, Kriminolog UI Adrianus Meliala yang juga komisioner Kompolnas, pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja, hakim MK, Patrialis Akbar, peneliti senior CSIS, J. Kristiadi, motivator ulung, Hillon I. Gowa, trainer andal, Ganis Fitriawati, Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, dan para perwira tinggi militer dari Angkatan Darat, Laut dan Udara yang sudah purna tugas.

Singkatnya, aku bersyukur menghabiskan tahun 2013 dengan pengalaman yang sangat berarti dalam menambah teman tentunya dan mengawali tahun 2014 dengan semangat tinggi meraih kebahagiaan atas pengabdianku di pasar, di kantor maupun di kampus sebagai seorang yang masih harus banyak belajar. Dengan kata lain, jadi orang pasar, orang kantor dan anak kampus merupakan pergerakan yang sangat dinamis meski sedikit lelah kawan. Kendati demikian, dinamisasi tersebut aku pikir membutuhkan dinamisator yang dapat memacu supaya makin dinamis. Ya, tahun 2014 adalah rencanaku untuk melepas masa lajang setelah hampir 4 tahun berbagi pengalaman, baik suka maupun senang dengan belahan jiwaku, Ummi Khoirunnisa, twitter @annisa_choir, silakan yang mau follow dia kawan, orangnya baik, hatinya lembut, perhatian, penyayang orang tua, kritis, tapi sensitif seperti wanita pada umumnya. Itulah, mengapa aku mantap memilih dia untuk jadi pendamping hidupku, forever. So sweet kan? Singkat cerita, aku menikahinya dengan sepenuh jiwaku pada tanggal 12 Agustus 2014 di kediamannya, Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes.

Sebelumnya, pada tanggal 14 Maret 2014, aku berkesempatan meliput Gubernur DKI Joko Widodo yang saat itu digadang-gadang maju ke arena Pilpres 2014. Tak sekadar meliput, aku juga bangga bisa foto bareng dengan mantan Walikota Solo itu di Pendopo Balai Kota Jakarta. Sekarang, dia telah terpilih menjadi Presiden RI, bangga makin bertambah, anggap saja aku foto bareng dengan Presiden RI, mantan Gubernur DKI Jakarta. Keren kan? Walau aku yakin simpatisan Jonru dan kelompoknya bakal nyinyir baca ceritaku ini, emang gue pikirin (EGP)!

Ketika pilpres 2014 hanya ada dua pasangan calon, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Pilpres 2014 dinilai sebagai pilpres paling panas dalam sejarah. Dimana dua kubu simpatisan saling ‘serang’, terutama di dunia maya dengan memanfaatkan sosial media. Jujur, aku pun ikut larut di dalamnya dengan alasan, aku tidak terima orang baik dinafikan kebaikannya karena dianggap pencitraan bahkan difitnah ngalor ngidul ora nggenah (sana-sini tidak karu-karuan). Singkatnya, untuk melawan simbol otoritarianisme, rakyat berhasil berpartisipasi aktif, bahkan tidak dibayar sekalipun untuk mengajak supaya memilih preisden pilihan rakyat, karena pemimpin rakyat lahir dari rakyat. Singkatnya, Jokowi menang pilpres dengan sangat demokratis sepanjang sejarah meski dianggap kubu lain terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Anggapan ini pun tidak terbukti oleh MK setelah mereka menggugat di lembaga tinggi negara tersebut. Sebelumnya, ketika penghitungan suara sedang dilakukan KPU Pusat, kubu Prabowo menarik diri, tidak mengakui pilpres yang sudah berjalan. Sehingga ‘perang’ masif pun terus berlanjut antara dua kubu. Bahkan Prabowo membentuk koalisi permanen, koalisi merah putih (KMP) yang hanya bertujuan ‘menggerus’ kekuasaan pemerintah yang gagal diraihnya. Terbukti, perang koalisi pun terjadi di parlemen. Koalisi Jokowi-JK, koalisi Indonesia hebat (KIH) tak satu pun mendapat kursi pimpinan di parlemen karena kalah jumlah suara oleh koalisi Prabowo, yang memang jumlah koalisi partainya  lebih banyak. Dari hal inilah orientasi kekuasaan mutlak, menjadi tujuan koalisi Prabowo dengan menafikan ngurusi rakyat. Puncaknya, ketika kubu KIH membentuk DPR tandingan karena aspirasi mereka tidak diindahkan oleh pimpinan dewan yang berasal dari orang-orang KMP.

Sejak saat itulah, inisiasi untuk bersatu berusaha dilakukan demi kepentingan rakyat. Padahal rakyat saat itu sudah mengidentifikasi pendapat Presiden Gus Dur dulu yang menyebut anggota DPR tak lebih seperti anak-anak TK. Aku juga sendiri geleng-geleng kepala, bayangkan saja, sejak pertama kali dilantik menjadi anggota dewan pada tanggal 1 November 2014, tidak ada yang mereka kerjakan secara signifikan sebagai wakil rakyat. Yang aku tahu, mereka, yaitu kubu Prabowo hanya mengkritik pemerintah tanpa solusi, selain merencanakan pemanggilan beberapa menteri, dan menerima kunjungan para artis mahabaratha. Sedangkan pemerintah Jokowi-JK sudah ‘berlari’ mengurus rakyat. Jadi nggak lucu kan? Itulah sedikitnya dinamika pilpres dan setelahnya.

Kita juga patut bersedih, karena menjelang akhir tahun 2014 terjadi musibah yang merenggut nyawa saudara-saudara kita. Pertama bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 12 Desember 2014 yang merenggut 150 nyawa manusia, 39 rumah terurug tanah, dan 55 kepala keluarga melayang. Jelang beberapa hari setelah bencana tersebut, angin puting beliung menerjang Kota Bandung, 155 rumah warga rusak parah, meski hanya 1 korban yang jatuh, yaitu seorang nenek berusia 98 tahun. Selain itu, meletusnya Gunung Gamalama di Ternate, Maluku Utara, kemudian Gunung Sinabung yang hingga awal tahun 2015 terus menyemburkan awan panas. Tentu kita ingat ketika Sinabung memakan 17 korban saat meletus Februari 2014, kemudian kembali meletus di bulan Oktober 2014.

Kita patut bersedih, karena jelas, angka kemiskinan makin bertambah sebab bencana. Selain itu, banjir setinggi 3 meter terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Puncak musibah akhir tahun terjadi ketika pesawat Air Asia dengan kode penerbangan QZ 8501 hilang kontak pada tanggal 28 Desember 2014. Pesawat tersebut membawa 155 orang dan 9 awak pesawat dengan tujuan penerbangan ke Singapura dari Bandara Juanda Surabaya. Singkat cerita, setelah 2 hari pencarian, akhirnya kru dari Tim Basarnas, TNI AU, TNI AL, dan nelayan setempat menemukan puing-puing pesawat dan korban mengambang di perairan tak jauh dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan sekitar Selat Karimata.

Berawal dari itulah korban-korabn lain dapat ditemukan meski belum semuanya dan kru pencarian harus terus-menerus menghadapi kendala cuaca yang ekstrim untuk mengadakan pencarian dengan pesawat maupun kapal. Tak mudah menerima kenyataan ini bagi para keluarga korban terutama dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi kita semua akan menyambut tahun baru 2015 yang semestinya bisa dilalui dengan riang dan semangat. Tetapi, itulah rencana Tuhan untuk memberikan pelajaran bagi kita manusia dalam menyikapi hidup, terutama dalam menyambut tahun baru, indah bukan?


Jakarta, 31 Desember 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi