Oleh:
Fathoni Ahmad
Akhir tahun 2013, tepatnya tanggal 10-19 Desember 2013 aku mengikuti Diklat di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dalam rangka pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi para calon pemimpin yang mana difokuskan kepada para anggota partai politik (parpol) menjelang Pemillu 2014. Aku sebetulnya bukan anggota parpol, tetapi aku berangkat sebagai bagian dari organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang kebangsaan. Jadi cukup relevan jika toh aku diminta mengikuti diklat tersebut oleh salah satu politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Bang Abdul Jalil. Ah, padahal dia sudah masuk usia tua, tetapi panggilan itulah yang seakan membuat kita akrab dalam relasi organisasi.
Ya, saat itu aku sudah menjadi bagian dari Kantor Berita Nahdaltul Ulama, NU Online, www.nu.or.id, yang manggung di lantai 5 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Sebagai bagian dari ormas besar NU, NU Online bergerak dalam bidang informasi mengenai keagamaan, keislaman, kebangsaan, dan lain sebagainya dengan sumber shahih dan rujukan terpercaya sehingga kami meraih penghargaan sebagai situs terbaik dalam bidang sosial kemasyarakatan tahun 2004 versi Komputer Aktif, lembaga penelitian independen yang bergerak dalam teknologi, informasi dan komunikasi. Kantor Berita kami juga konsisten dalam memberikan informasi tentang penanaman nilai-nilai kebangsaan, khususnya kepada warga NU (nahdliyin).
Selama
10 hari mengikuti diklat di lembaga yang digawangi oleh Prof. Dr. Ir. Budi Susilo
Soepandji, DEA., aku dan ratusan peserta lain mendapatkan banyak input dari berbagai persoalan kebangsaan
dan kepemimpinan. Secara pribadi, aku merasa bangga karena saat itu aku
termasuk peserta termuda dengan usia 24 tahun. Bahkan peserta lain banyak yang
sudah mencapai pendidikan Doktor (S3), sedangkan aku baru semester 1 di
Pascasarjana (S2) Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Rasa
sedikit minder ada, tetapi problem tersebut tidak menjadi kendala terutama
ketika berada di dalam forum diskusi dan diklat. Ya, meski bukan aktivis tulen,
yang namanya diskusi, bahkan debat sudah banyak aku lalui di dunia pergerakan
dulu.
Dengan
pengalaman keilmuan yang masih seumur jagung, tentu aku tambah bangga ketika
yang menjadi instruktur diklat orang-orang yang mempunyai kompetensi tinggi. Meski
bukan sebagai peserta Kursus Singkat Angkatan (KSA), yang memang menjadi kelas
bergengsi di Lemhannas, pengajar yang diberikan kepada kita sama seperti
kelas-kelas KSA yang diperuntukan bagi pejabat eselon 1 dan setingkat brigadir
jenderal (Brigjen) ialah jenderal berbintang satu. Diantara pengajarku ketika
di Lemhannas yaitu, Kriminolog UI Adrianus Meliala yang juga komisioner
Kompolnas, pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja, hakim MK, Patrialis Akbar, peneliti
senior CSIS, J. Kristiadi, motivator ulung, Hillon I. Gowa, trainer andal, Ganis
Fitriawati, Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, dan para perwira tinggi
militer dari Angkatan Darat, Laut dan Udara yang sudah purna tugas.
Singkatnya,
aku bersyukur menghabiskan tahun 2013 dengan pengalaman yang sangat berarti
dalam menambah teman tentunya dan mengawali tahun 2014 dengan semangat tinggi
meraih kebahagiaan atas pengabdianku di pasar, di kantor maupun di kampus
sebagai seorang yang masih harus banyak belajar. Dengan kata lain, jadi orang
pasar, orang kantor dan anak kampus merupakan pergerakan yang sangat dinamis
meski sedikit lelah kawan. Kendati demikian, dinamisasi tersebut aku pikir
membutuhkan dinamisator yang dapat memacu supaya makin dinamis. Ya, tahun 2014
adalah rencanaku untuk melepas masa lajang setelah hampir 4 tahun berbagi
pengalaman, baik suka maupun senang dengan belahan jiwaku, Ummi Khoirunnisa,
twitter @annisa_choir, silakan yang mau follow
dia kawan, orangnya baik, hatinya lembut, perhatian, penyayang orang tua,
kritis, tapi sensitif seperti wanita pada umumnya. Itulah, mengapa aku mantap
memilih dia untuk jadi pendamping hidupku, forever.
So sweet kan? Singkat cerita, aku menikahinya dengan sepenuh jiwaku pada
tanggal 12 Agustus 2014 di kediamannya, Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan
Bantarkawung, Kabupaten Brebes.
Sebelumnya,
pada tanggal 14 Maret 2014, aku berkesempatan meliput Gubernur DKI Joko Widodo
yang saat itu digadang-gadang maju ke arena Pilpres 2014. Tak sekadar meliput, aku
juga bangga bisa foto bareng dengan mantan Walikota Solo itu di Pendopo Balai
Kota Jakarta. Sekarang, dia telah terpilih menjadi Presiden RI, bangga makin
bertambah, anggap saja aku foto bareng dengan Presiden RI, mantan Gubernur DKI
Jakarta. Keren kan? Walau aku yakin simpatisan Jonru dan kelompoknya bakal
nyinyir baca ceritaku ini, emang gue pikirin (EGP)!
Ketika
pilpres 2014 hanya ada dua pasangan calon, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Pilpres
2014 dinilai sebagai pilpres paling panas dalam sejarah. Dimana dua kubu
simpatisan saling ‘serang’, terutama di dunia maya dengan memanfaatkan sosial
media. Jujur, aku pun ikut larut di dalamnya dengan alasan, aku tidak terima
orang baik dinafikan kebaikannya karena dianggap pencitraan bahkan difitnah ngalor ngidul ora nggenah (sana-sini
tidak karu-karuan). Singkatnya, untuk melawan simbol otoritarianisme, rakyat
berhasil berpartisipasi aktif, bahkan tidak dibayar sekalipun untuk mengajak
supaya memilih preisden pilihan rakyat, karena pemimpin rakyat lahir dari
rakyat. Singkatnya, Jokowi menang pilpres dengan sangat demokratis sepanjang
sejarah meski dianggap kubu lain terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis
dan masif (TSM).
Anggapan
ini pun tidak terbukti oleh MK setelah mereka menggugat di lembaga tinggi
negara tersebut. Sebelumnya, ketika penghitungan suara sedang dilakukan KPU
Pusat, kubu Prabowo menarik diri, tidak mengakui pilpres yang sudah berjalan.
Sehingga ‘perang’ masif pun terus berlanjut antara dua kubu. Bahkan Prabowo
membentuk koalisi permanen, koalisi merah putih (KMP) yang hanya bertujuan
‘menggerus’ kekuasaan pemerintah yang gagal diraihnya. Terbukti, perang koalisi
pun terjadi di parlemen. Koalisi Jokowi-JK, koalisi Indonesia hebat (KIH) tak
satu pun mendapat kursi pimpinan di parlemen karena kalah jumlah suara oleh
koalisi Prabowo, yang memang jumlah koalisi partainya lebih banyak. Dari hal inilah orientasi
kekuasaan mutlak, menjadi tujuan koalisi Prabowo dengan menafikan ngurusi rakyat. Puncaknya, ketika kubu
KIH membentuk DPR tandingan karena aspirasi mereka tidak diindahkan oleh
pimpinan dewan yang berasal dari orang-orang KMP.
Sejak
saat itulah, inisiasi untuk bersatu berusaha dilakukan demi kepentingan rakyat.
Padahal rakyat saat itu sudah mengidentifikasi pendapat Presiden Gus Dur dulu
yang menyebut anggota DPR tak lebih seperti anak-anak TK. Aku juga sendiri
geleng-geleng kepala, bayangkan saja, sejak pertama kali dilantik menjadi
anggota dewan pada tanggal 1 November 2014, tidak ada yang mereka kerjakan
secara signifikan sebagai wakil rakyat. Yang aku tahu, mereka, yaitu kubu
Prabowo hanya mengkritik pemerintah tanpa solusi, selain merencanakan
pemanggilan beberapa menteri, dan menerima kunjungan para artis mahabaratha. Sedangkan
pemerintah Jokowi-JK sudah ‘berlari’ mengurus rakyat. Jadi nggak lucu kan? Itulah sedikitnya dinamika pilpres dan setelahnya.
Kita
juga patut bersedih, karena menjelang akhir tahun 2014 terjadi musibah yang
merenggut nyawa saudara-saudara kita. Pertama bencana longsor di Banjarnegara,
Jawa Tengah pada tanggal 12 Desember 2014 yang merenggut 150 nyawa manusia, 39
rumah terurug tanah, dan 55 kepala keluarga melayang. Jelang beberapa hari
setelah bencana tersebut, angin puting beliung menerjang Kota Bandung, 155
rumah warga rusak parah, meski hanya 1 korban yang jatuh, yaitu seorang nenek
berusia 98 tahun. Selain itu, meletusnya Gunung Gamalama di Ternate, Maluku
Utara, kemudian Gunung Sinabung yang hingga awal tahun 2015 terus menyemburkan
awan panas. Tentu kita ingat ketika Sinabung memakan 17 korban saat meletus
Februari 2014, kemudian kembali meletus di bulan Oktober 2014.
Kita
patut bersedih, karena jelas, angka kemiskinan makin bertambah sebab bencana.
Selain itu, banjir setinggi 3 meter terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Puncak musibah akhir tahun terjadi ketika pesawat Air Asia
dengan kode penerbangan QZ 8501 hilang kontak pada tanggal 28 Desember 2014.
Pesawat tersebut membawa 155 orang dan 9 awak pesawat dengan tujuan penerbangan
ke Singapura dari Bandara Juanda Surabaya. Singkat cerita, setelah 2 hari
pencarian, akhirnya kru dari Tim Basarnas, TNI AU, TNI AL, dan nelayan setempat
menemukan puing-puing pesawat dan korban mengambang di perairan tak jauh dari Pangkalan
Bun, Kalimantan Tengah, dan sekitar Selat Karimata.
Berawal
dari itulah korban-korabn lain dapat ditemukan meski belum semuanya dan kru
pencarian harus terus-menerus menghadapi kendala cuaca yang ekstrim untuk
mengadakan pencarian dengan pesawat maupun kapal. Tak mudah menerima kenyataan
ini bagi para keluarga korban terutama dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Apalagi kita semua akan menyambut tahun baru 2015 yang semestinya bisa dilalui
dengan riang dan semangat. Tetapi, itulah rencana Tuhan untuk memberikan
pelajaran bagi kita manusia dalam menyikapi hidup, terutama dalam menyambut
tahun baru, indah bukan?
Jakarta,
31 Desember 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi