Oleh: Fathoni Ahmad
Tanggal
22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu (Mothers
Day). Pada tanggal itu juga, digelar Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1928, sebagai instrumen pendobrak
pola pikir yang bersifat paternalisitik.
Semuanya seolah laki-laki yang berhak dalam peran kehidupan. Wanita seolah
hanya pengisi ruang yang sangat familiar di telinga kita, dapur, sumur dan
kasur. Bahkan fenomena demikian terjadi kepada wanita muda seperti seorang RA
Kartini (wafat usia 25 tahun). Kendati demikian, wanita muda tersebut adalah
seorang pendobrak paternalistik sejati.
Lantas,
apakah wanita-wanita muda tak ada sangkut pautnya dengan terminologi seorang
ibu? Keliru besar jika kenyataannya mereka berpikir seperti itu. Bagaimana
mungkin mereka akan berpikir seperti jika mereka adalah seorang wanita? Calon
ibu bagi anak-anaknya kelak. Jiwa muda sebagai seorang wanita itu perlu, namun
kedewasaanlah yang dimiliki seorang ibu secara psikis. Jadi penulis sering
mengatakan, semangat muda bagi seorang wanita muda harus diikuti oleh
kedewasaan seorang ibu. Begitu juga sebaliknya, kedewasaan seorang ibu mesti
diimbangi oleh semangat jiwa muda yang dimiliki oleh wanita muda.
Paradigma
ini tentu bukan bermaksud mereduksi peran seorang wanita pada umumnya secara
psikologis, melainkan rule of the game dalam
memaksimalkan peran seorang ibu maupun wanita muda dalam kehidupan. Itulah
menurut penulis dalam rangka peranan global seorang ibu. Tentu bukan peranan
global secara praktis, karena peran ibu dalam sebuah keluarga pun sudah
mencapai taraf yang melelahkan bagi sebagian ibu. Peranan global di sini
artinya seorang ibu jangan berhenti untuk senantiasa memperbarui sel-sel
otaknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam merefleksikan dirinya dalam
memerankan seorang ibu. Terutama pengetahuan spiritual dan akhlak guna
membentuk cetakan awal seorang anak. Tentu teladan yang baik masih menempati
tingkatan nomor satu dalam hal pendidikan anak.
Jadi
hendaknya wanita-wanita muda memahami ibu bukan secara simbolik tapi dari sisi
peran, perasaan dan kedewasaan seorang ibu. Bahwa pikiran seorang ibu yang
terkadang dianggap konservatif oleh wanita muda, mungkin tak keliru mengingat
pergaulan wanita muda zaman sekarang yang seolah tak memahami kedewasaan
seorang wanita yang diperankan oleh seorang ibu. Seorang ibu tentunya harus
memahami dinamika kehidupan wanita muda zaman sekarang sehingga mampu
menempatkan diri sebagaimana mestinya sehingga kedewasaan yang dimilikinya
dapat terwujud dengan baik di relung-relung hati wanita muda.
Kedewasaan
seorang wanita yang diperankan oleh seorang ibu dapat diterjemahkan sebagai
pengertian bahwa hendaknya wanita muda mampu menahan diri dari
perbuatan-perbuatan tidak baik untuk diri sendiri atau orang lain di masa kini
maupun di masa mendatang. Jika seorang ibu mampu melakukannya karena mungkin
ada pemicunya yaitu seorang anak dan suami, wanita muda juga harus berpikir
bahwa dia mempunyai seorang ibu. Tugas dia setidaknya dapat membahagiakan ibu
dan keluarganya dengan karakter-karakter yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Jika
mampu menempatkan diri di tengah kedewasaan seorang ibu, seharusnya tak ada
kasus wanita muda seperti Assyifa Ramadhani (18 tahun) yang dengan tragis
membunuh temannya sendiri, Ade Sara Angelina Suroto (19) yang merupakan mantan
kekasih pacarnya yang tak lain Ahmad Imam al-Hafitd (19) secara terencana
karena alasan cemburu dan sakit hati. Ironisnya, si Hafitd juga ikut andil
dalam rencana jahat tersebut. Atas tindakan kriminalnya, dua sejoli muda
tersebut dibui selama 20 tahun berdasar putusan PN Jakarta Pusat. Kemudian tak
harus ada kasus seorang anak dan menantu yang menggugat ibunya sendiri senilai
1 miliar rupiah karena persoalan kepemilikan tanah. Ya, warga Tangerang, nenek
Fatimah digugat oleh anak dan menantunya sendiri yang bernama Nurhanah dan
Nurhakim di Pengadilan Negeri Tangerang.
Terlepas
dari kondisi dan alasan-alasan yang melingkupi mereka, wanita atau bahkan
seorang Nurhanah yang notabene seorang ibu mestinya mampu memaksimalkan potensi
kedeawasaan yang terkandung dalam diri seorang ibu yang tak lain diperankan
oleh wanita menjadi tindakan yang justru mampu mengangkat harkat dan martabat
dunia ibu. Sehingga tindakan kriminal sadis yang terbalut oleh perasaan cinta
semu yang dilakukan oleh Assyifa dan Hafitd dan perilaku rasional yang jauh
dari kebijaksanaan yang ditempuh oleh Nurhanah dan Nurhakim tidak ada lagi di bumi pertiwi yang tiap
tahun memperingati Hari Ibu, Hari Bahasa Ibu dan Hari Kartini ini, Bukan?
Jakarta,
23 Desember 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi