Rabu, 24 Desember 2014

Ibu, Wanita Muda dan RA Kartini

Oleh: Fathoni Ahmad

Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu (Mothers Day). Pada tanggal itu juga, digelar Kongres Perempuan Indonesia pertama  di Yogyakarta tahun 1928, sebagai instrumen pendobrak pola pikir yang bersifat paternalisitik. Semuanya seolah laki-laki yang berhak dalam peran kehidupan. Wanita seolah hanya pengisi ruang yang sangat familiar di telinga kita, dapur, sumur dan kasur. Bahkan fenomena demikian terjadi kepada wanita muda seperti seorang RA Kartini (wafat usia 25 tahun). Kendati demikian, wanita muda tersebut adalah seorang pendobrak paternalistik sejati.

Lantas, apakah wanita-wanita muda tak ada sangkut pautnya dengan terminologi seorang ibu? Keliru besar jika kenyataannya mereka berpikir seperti itu. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir seperti jika mereka adalah seorang wanita? Calon ibu bagi anak-anaknya kelak. Jiwa muda sebagai seorang wanita itu perlu, namun kedewasaanlah yang dimiliki seorang ibu secara psikis. Jadi penulis sering mengatakan, semangat muda bagi seorang wanita muda harus diikuti oleh kedewasaan seorang ibu. Begitu juga sebaliknya, kedewasaan seorang ibu mesti diimbangi oleh semangat jiwa muda yang dimiliki oleh wanita muda.

Paradigma ini tentu bukan bermaksud mereduksi peran seorang wanita pada umumnya secara psikologis, melainkan rule of the game dalam memaksimalkan peran seorang ibu maupun wanita muda dalam kehidupan. Itulah menurut penulis dalam rangka peranan global seorang ibu. Tentu bukan peranan global secara praktis, karena peran ibu dalam sebuah keluarga pun sudah mencapai taraf yang melelahkan bagi sebagian ibu. Peranan global di sini artinya seorang ibu jangan berhenti untuk senantiasa memperbarui sel-sel otaknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam merefleksikan dirinya dalam memerankan seorang ibu. Terutama pengetahuan spiritual dan akhlak guna membentuk cetakan awal seorang anak. Tentu teladan yang baik masih menempati tingkatan nomor satu dalam hal pendidikan anak.

Jadi hendaknya wanita-wanita muda memahami ibu bukan secara simbolik tapi dari sisi peran, perasaan dan kedewasaan seorang ibu. Bahwa pikiran seorang ibu yang terkadang dianggap konservatif oleh wanita muda, mungkin tak keliru mengingat pergaulan wanita muda zaman sekarang yang seolah tak memahami kedewasaan seorang wanita yang diperankan oleh seorang ibu. Seorang ibu tentunya harus memahami dinamika kehidupan wanita muda zaman sekarang sehingga mampu menempatkan diri sebagaimana mestinya sehingga kedewasaan yang dimilikinya dapat terwujud dengan baik di relung-relung hati wanita muda.

Kedewasaan seorang wanita yang diperankan oleh seorang ibu dapat diterjemahkan sebagai pengertian bahwa hendaknya wanita muda mampu menahan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baik untuk diri sendiri atau orang lain di masa kini maupun di masa mendatang. Jika seorang ibu mampu melakukannya karena mungkin ada pemicunya yaitu seorang anak dan suami, wanita muda juga harus berpikir bahwa dia mempunyai seorang ibu. Tugas dia setidaknya dapat membahagiakan ibu dan keluarganya dengan karakter-karakter yang baik di tengah-tengah masyarakat.

Jika mampu menempatkan diri di tengah kedewasaan seorang ibu, seharusnya tak ada kasus wanita muda seperti Assyifa Ramadhani (18 tahun) yang dengan tragis membunuh temannya sendiri, Ade Sara Angelina Suroto (19) yang merupakan mantan kekasih pacarnya yang tak lain Ahmad Imam al-Hafitd (19) secara terencana karena alasan cemburu dan sakit hati. Ironisnya, si Hafitd juga ikut andil dalam rencana jahat tersebut. Atas tindakan kriminalnya, dua sejoli muda tersebut dibui selama 20 tahun berdasar putusan PN Jakarta Pusat. Kemudian tak harus ada kasus seorang anak dan menantu yang menggugat ibunya sendiri senilai 1 miliar rupiah karena persoalan kepemilikan tanah. Ya, warga Tangerang, nenek Fatimah digugat oleh anak dan menantunya sendiri yang bernama Nurhanah dan Nurhakim di Pengadilan Negeri Tangerang.

Terlepas dari kondisi dan alasan-alasan yang melingkupi mereka, wanita atau bahkan seorang Nurhanah yang notabene seorang ibu mestinya mampu memaksimalkan potensi kedeawasaan yang terkandung dalam diri seorang ibu yang tak lain diperankan oleh wanita menjadi tindakan yang justru mampu mengangkat harkat dan martabat dunia ibu. Sehingga tindakan kriminal sadis yang terbalut oleh perasaan cinta semu yang dilakukan oleh Assyifa dan Hafitd dan perilaku rasional yang jauh dari kebijaksanaan yang ditempuh oleh Nurhanah dan Nurhakim  tidak ada lagi di bumi pertiwi yang tiap tahun memperingati Hari Ibu, Hari Bahasa Ibu dan Hari Kartini ini, Bukan?


Jakarta, 23 Desember 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi