Minggu, 30 Maret 2014

Kontemplasi Ujian Nasional (UN)

Oleh Fathoni Ahmad

Sejak tahun 2003 silam, ujian kelulusan berbasis nasional digunakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai alat evaluasi. Dari mekanisme baru ini, poin pentingnya yaitu adanya standarisasi. Siswa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi standar yang telah ditetapkan secara ketat dan mengikat. Mekanisme dan standar kelulusan dari tahun ke tahun mengalami perbaruan.

Dengan standar yang ketat dan mengikat, Ujian Nasional (UN) sering menjadi momok bagi setiap siswa di Indonesia. Siswa dikerahkan untuk mengikuti pelajaran tambahan hingga sore hari. Tambahan jam pelajaran ini dilakukan oleh siswa dengan guru sebagai instrukturnya agar siswa memahami secara ‘teknis’ dalam mengerjakan soal-soal ujian. Dengan kata lain, semua itu dilakukan dengan tujuan hanya supaya siswa dapat menaklukan soal-soal ujian nasional! Bukan untuk mengarahkan pada cara berpikir yang baik dan sistematis dalam menghadapi persoalan. Dalam hal ini, 3 tahun bersekolah seakan ditentukan oleh 3 hari ujian nasional. Dalam nomenklatur Bloom, praktis UN hanya bersifat cognitif center, dua aspek penting lain seperti afektif (kecerdasan laku) dan psikomotor (skill, keterampilan gerak) sadar atau tidak telah mengalami degradasi.  

Kendati demikian, perbaruan mekanisme ujian nasional 4 tahun belakangan dirasa tak sesulit sebelumnya yang jika siswa tidak lulus, praktis tidak bisa mengulang. Kelulusan, 100% ditentukan oleh nilai mata pelajaran yang diujinasionalkan, ujian sekolah dan nilai rapor dinafikan saat itu. Berbeda dengan sekarang dengan komposisi UN sebesar 60% dan US (Ujian Sekolah) 40% dalam hal mempengaruhi kelulusan. Artinya, nilai UN dapat terangkat oleh nilai US.

Dengan kondisi psikologis siswa yang dari zaman ke zaman mengalami perubahan, juga dengan kemudahan mekanisme dan standar ujian nasional, nampaknya tak mempengaruhi psikologis siswa di Indonesia yang masih banyak mengalami depresi, stres, dan lain-lain. Dari gejala psikologis ini, akhirnya siswa melakukan banyak hal untuk mereduksinya mulai dari perilaku hitam yaitu mencari kemudahan melalui dukun atau orang pintar hingga yang putih seperti berdoa bersama atau beristighotsah, bahkan ada yang melakukan ritual pensil UN-nya minta didoakan sehingga mengerjakan soal serasa lebih mudah.

Sebagai sebuah usaha tentu tidak ada salahnya jika seorang siswa meyakini akan kebenarannya, minimal dengan nalarnya sendiri. Jika nalarnya berpikir bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat meminta, mintalah kepada Tuhan atau orang-orang yang sangat dekat berafiliasi dengan Tuhan seperti Ulama atau Kiai yang benar-benar wara’ dan bersahaja. Dengan hal yang demikian, tentu kita tidak memposisikan seorang Kiai adalah tempat meminta, melainkan sebagai wasilah (perantara) kepada Yang Maha Memberi yaitu Tuhan.

Apakah Tuhan tidak mendengarkan kita sehingga kita perlu perantara? Tentu sangat mendengar, bahkan dari keinginan hatimu yang tersembunyi. Sekarang pertanyaannya dibalik kepada diri kita, apakah doa seorang yang fakir seperti kita yang laku kehidupannya jauh dari Tuhan, lalai, bahkan lebih banyak tidak tunduknya kemudian Tuhan akan mengabulkan atau dengan cepat akan mengabulkan permohonan kita?

Tentu perantara orang baik secara sosial dan spiritual, soleh, taat, dan tunduk kepada Tuhannya sangat diperlukan untuk menjadi wasilah yang akan membawa doa-doa kita menuju ke Haribaan-Nya. Manusia yang dekat dengan Tuhannya, akan menjadi kekasih-Nya, wali kalau istilah sekarang. Semua hijab di dunia dibukakan oleh Tuhan sehingga hal-hal yang bersifat ghoib yang tidak nampak di mata manusia biasa, tetapi dalam pandangannya semua nampak jelas. Itulah karomah atau keistimewaan sehingga apakah kita masih meragukan bahwa peran wasilah orang-orang soleh sangat penting untuk kita yang masih fakir? 

Artinya, dekatlah dengan orang-orang soleh agar kita mendaptkan kemudahan dari Tuhan yang memang dekat dengan mereka. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh siswa dengan beristighotsah, menghadirkan guru atau Kiai untuk mendoakan sangatlah penting. Banyak nilai-nilai keislaman yang bisa kita raup, selain menghadirkan optimisme, energi spiritual akan tumbuh dan tali kasih sayang sesama manusia pun (silaturrahim) akan semakin erat. Apakah Tuhan menyukainya? Tentu sangat menyukai.

Pengalaman penulis artikel ini di tahun 2005 hingga 2007, di setiap tes atau ujian penulis selalu mengalami first shock dalam mengerjakan soal. Apalagi yang dikerjakan mata pelajaran eksak terutama matematika. Gejala gemetaran, takut tidak bisa menyelasaikan soal, tidak pede sehingga timbul rasa khawatir jika nanti sudah menganalisis soal dengan cara yang begitu panjang tapi tidak ketemu juga jawabannya, grogi, dan lain sebagainya membuat penulis nyata-nyata kesulitan dalam mengerjakan soal-soal ujian.

Itu tes sekelas ujian semester, apalagi tingkatan ujian nasional yang saat itu memang mekanismenya jika nilai UN dari tiga mata pelajaran tidak mencapai standar kelulusan, maka siswa harus mengulang lagi satu tahun. Ketika itu memang tidak ada mekanisme ujian ulang, jika pun ingin mendapatkan ijazah atau lulus tepat waktu, pemerintah memepersilahkan siswa untuk mengambil pendidikan kesetaraan, paket C misalnya.

Setiap ba’da shalat maghrib hingga malam, memang penulis bersama 4 orang teman mengaji al-Quran dan kitab ulama klasik kepada seorang Kiai dan kegiatan mengaji ini sudah kita jalani selama 3 tahun. Kita berlima pun setiap hari tak jarang berkonsultasi persoalan kehidupan tak terkecuali masalah UN yang beberapa minggu lagi akan kita hadapi saat itu. Kami memang hanya sekadar meminta doa karena dia merupakan seorang ulama yang begitu alim dan wara’ di desa kami.

Ketika itu kami belum memahami hal ihwal wasilah, kami hanya berpikir bahwa dia adalah orang soleh dan baik, tentu merupakan hal yang baik minta doa kepada orang baik. Ternyata tak sekadar mendoakan, dia juga memberikan amalan doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap habis shalat wajib dan shalat malam sebagai bekal spiritual untuk 'berperang' dengan soal-soal UN. Artinya, doa ini makbul jika kita tidak melalaikan shalat. Penulis menyadarinya ini merupakan hiden education yang luar biasa, agar kami lebih bersungguh-sungguh dalam shalat. Penulis sendiri memang berusaha tirakat dengan secara rutin berpuasa sunah senin-kamis walaupun tujuan puasa itu selama menjadi pelajar sedikit beraroma pragmatis.

Ketika hari H ujian nasional tiba, penulis merasakan kemudahan dan ketenangan dalam mengerjakan soal-soal UN. Bahkan matematika yang selama ini terasa menjadi momok bagi penulis berhasil dengan tenang, mudah dan mengalir dapat penulis kerjakan dengan jawaban yang sangat meyakinkan saat itu. Sebuah pengalaman yang belum pernah dirasakan sebelumnya, karena setiap menghadapi soal matematika dan ilmu eksak lain, penulis selalu merasa tidak tenang dan grogi. Itulah kemungkinan besar yang membuat setiap siswa praktis kesulitan secara psikologis dalam mengerjakan soal. Padahal kondisi psikologis yang tenang dan rileks sangat dibutuhkan untuk berpikir.

Kemudahan dan ketenangan dalam mengerjakan soal-soal UN, penulis sadari bahwa semua ini didapatkan berkat kontemplasi yang selama ini dilakukan. Dekat dengan seorang Kiai, mendapatkan doa-doanya, dan menjalani amalan-amalan yang diberikannya berupa doa dan anjuran ketundukan kepada Tuhan. Penulis sadar betul bahwa harus ada ikhtiar pribadi untuk melegitimasi kesungguhan hati dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar untuk kepentingan pragmatis dalam memperoleh kesuksesan di ujian nasional. Semoga.  


Jakarta, 29 Maret 2014

2 komentar

Siip... usaha rasional harus dibarengi dengan usaha spiritual.

Tulisan yang sangat bermanfaat untuk menghadapi UN pertengahan April mendatang.


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi