Oleh Fathoni Ahmad
Sejak
tahun 2003 silam, ujian kelulusan berbasis nasional digunakan oleh pemerintah
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai alat evaluasi. Dari
mekanisme baru ini, poin pentingnya yaitu adanya standarisasi. Siswa dinyatakan
lulus apabila telah memenuhi standar yang telah ditetapkan secara ketat dan
mengikat. Mekanisme dan standar kelulusan dari tahun ke tahun mengalami
perbaruan.
Dengan
standar yang ketat dan mengikat, Ujian Nasional (UN) sering menjadi momok bagi
setiap siswa di Indonesia. Siswa dikerahkan untuk mengikuti pelajaran tambahan
hingga sore hari. Tambahan jam pelajaran ini dilakukan oleh siswa dengan guru
sebagai instrukturnya agar siswa memahami secara ‘teknis’ dalam mengerjakan
soal-soal ujian. Dengan kata lain, semua itu dilakukan dengan tujuan hanya supaya
siswa dapat menaklukan soal-soal ujian nasional! Bukan untuk mengarahkan pada
cara berpikir yang baik dan sistematis dalam menghadapi persoalan. Dalam hal
ini, 3 tahun bersekolah seakan ditentukan oleh 3 hari ujian nasional. Dalam
nomenklatur Bloom, praktis UN hanya bersifat cognitif center, dua aspek penting lain seperti afektif (kecerdasan laku) dan psikomotor (skill, keterampilan gerak)
sadar atau tidak telah mengalami degradasi.
Kendati
demikian, perbaruan mekanisme ujian nasional 4 tahun belakangan dirasa tak
sesulit sebelumnya yang jika siswa tidak lulus, praktis tidak bisa mengulang.
Kelulusan, 100% ditentukan oleh nilai mata pelajaran yang diujinasionalkan,
ujian sekolah dan nilai rapor dinafikan saat itu. Berbeda dengan sekarang dengan
komposisi UN sebesar 60% dan US (Ujian Sekolah) 40% dalam hal mempengaruhi kelulusan. Artinya,
nilai UN dapat terangkat oleh nilai US.
Dengan
kondisi psikologis siswa yang dari zaman ke zaman mengalami perubahan, juga dengan
kemudahan mekanisme dan standar ujian nasional, nampaknya tak mempengaruhi psikologis siswa di Indonesia yang masih banyak mengalami depresi,
stres, dan lain-lain. Dari gejala psikologis ini, akhirnya siswa melakukan
banyak hal untuk mereduksinya mulai dari perilaku hitam yaitu mencari kemudahan
melalui dukun atau orang pintar hingga yang putih seperti berdoa bersama atau
beristighotsah, bahkan ada yang melakukan ritual pensil UN-nya minta didoakan
sehingga mengerjakan soal serasa lebih mudah.
Sebagai
sebuah usaha tentu tidak ada salahnya jika seorang siswa meyakini akan
kebenarannya, minimal dengan nalarnya sendiri. Jika nalarnya berpikir bahwa
Tuhan adalah satu-satunya tempat meminta, mintalah kepada Tuhan atau
orang-orang yang sangat dekat berafiliasi dengan Tuhan seperti Ulama atau Kiai yang
benar-benar wara’ dan bersahaja.
Dengan hal yang demikian, tentu kita tidak memposisikan seorang Kiai adalah
tempat meminta, melainkan sebagai wasilah
(perantara) kepada Yang Maha Memberi yaitu Tuhan.
Apakah
Tuhan tidak mendengarkan kita sehingga kita perlu perantara? Tentu sangat
mendengar, bahkan dari keinginan hatimu yang tersembunyi. Sekarang
pertanyaannya dibalik kepada diri kita, apakah doa seorang yang fakir seperti
kita yang laku kehidupannya jauh dari Tuhan, lalai, bahkan lebih banyak tidak
tunduknya kemudian Tuhan akan mengabulkan atau dengan cepat akan mengabulkan
permohonan kita?
Tentu
perantara orang baik secara sosial dan spiritual, soleh, taat, dan tunduk
kepada Tuhannya sangat diperlukan untuk menjadi wasilah yang akan membawa doa-doa kita menuju ke Haribaan-Nya.
Manusia yang dekat dengan Tuhannya, akan menjadi kekasih-Nya, wali kalau istilah sekarang. Semua hijab
di dunia dibukakan oleh Tuhan sehingga hal-hal yang bersifat ghoib yang tidak nampak di mata manusia
biasa, tetapi dalam pandangannya semua nampak jelas. Itulah karomah atau keistimewaan sehingga
apakah kita masih meragukan bahwa peran wasilah
orang-orang soleh sangat penting untuk kita yang masih fakir?
Artinya,
dekatlah dengan orang-orang soleh agar kita mendaptkan kemudahan dari Tuhan
yang memang dekat dengan mereka. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh siswa
dengan beristighotsah, menghadirkan guru atau Kiai untuk mendoakan sangatlah
penting. Banyak nilai-nilai keislaman yang bisa kita raup, selain menghadirkan optimisme, energi spiritual akan tumbuh
dan tali kasih sayang sesama manusia pun (silaturrahim) akan semakin erat.
Apakah Tuhan menyukainya? Tentu sangat menyukai.
Pengalaman
penulis artikel ini di tahun 2005 hingga 2007, di setiap tes atau ujian penulis
selalu mengalami first shock dalam
mengerjakan soal. Apalagi yang dikerjakan mata pelajaran eksak terutama
matematika. Gejala gemetaran, takut tidak bisa menyelasaikan soal, tidak pede sehingga timbul rasa khawatir jika
nanti sudah menganalisis soal dengan cara yang begitu panjang tapi tidak ketemu
juga jawabannya, grogi, dan lain sebagainya membuat penulis nyata-nyata
kesulitan dalam mengerjakan soal-soal ujian.
Itu
tes sekelas ujian semester, apalagi tingkatan ujian nasional yang saat itu
memang mekanismenya jika nilai UN dari tiga mata pelajaran tidak mencapai
standar kelulusan, maka siswa harus mengulang lagi satu tahun. Ketika itu
memang tidak ada mekanisme ujian ulang, jika pun ingin mendapatkan ijazah atau lulus tepat waktu,
pemerintah memepersilahkan siswa untuk mengambil pendidikan kesetaraan, paket C misalnya.
Setiap
ba’da shalat maghrib hingga malam, memang penulis bersama 4 orang teman mengaji
al-Quran dan kitab ulama klasik kepada seorang Kiai dan kegiatan mengaji ini
sudah kita jalani selama 3 tahun. Kita berlima pun setiap hari tak jarang
berkonsultasi persoalan kehidupan tak terkecuali masalah UN yang beberapa
minggu lagi akan kita hadapi saat itu. Kami memang hanya sekadar meminta doa
karena dia merupakan seorang ulama yang begitu alim dan wara’ di desa kami.
Ketika
itu kami belum memahami hal ihwal wasilah,
kami hanya berpikir bahwa dia adalah orang soleh dan baik, tentu merupakan hal yang
baik minta doa kepada orang baik. Ternyata tak sekadar mendoakan, dia juga
memberikan amalan doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap habis shalat wajib
dan shalat malam sebagai bekal spiritual untuk 'berperang' dengan soal-soal UN. Artinya, doa ini makbul jika kita tidak melalaikan shalat. Penulis menyadarinya ini merupakan hiden education yang luar biasa, agar kami lebih bersungguh-sungguh dalam shalat. Penulis
sendiri memang berusaha tirakat dengan
secara rutin berpuasa sunah senin-kamis walaupun tujuan puasa itu selama
menjadi pelajar sedikit beraroma pragmatis.
Ketika
hari H ujian nasional tiba, penulis merasakan kemudahan dan ketenangan dalam
mengerjakan soal-soal UN. Bahkan matematika yang selama ini terasa menjadi
momok bagi penulis berhasil dengan tenang, mudah dan mengalir dapat penulis
kerjakan dengan jawaban yang sangat meyakinkan saat itu. Sebuah pengalaman yang
belum pernah dirasakan sebelumnya, karena setiap menghadapi soal matematika dan
ilmu eksak lain, penulis selalu merasa tidak tenang dan grogi. Itulah
kemungkinan besar yang membuat setiap siswa praktis kesulitan secara psikologis
dalam mengerjakan soal. Padahal kondisi psikologis yang tenang dan rileks
sangat dibutuhkan untuk berpikir.
Kemudahan
dan ketenangan dalam mengerjakan soal-soal UN, penulis sadari bahwa semua ini
didapatkan berkat kontemplasi yang selama ini dilakukan. Dekat dengan seorang
Kiai, mendapatkan doa-doanya, dan menjalani amalan-amalan yang diberikannya
berupa doa dan anjuran ketundukan kepada Tuhan. Penulis sadar betul bahwa harus
ada ikhtiar pribadi untuk melegitimasi kesungguhan hati dalam rangka untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar untuk kepentingan pragmatis dalam
memperoleh kesuksesan di ujian nasional. Semoga.
Jakarta,
29 Maret 2014
2 komentar
Siip... usaha rasional harus dibarengi dengan usaha spiritual.
Tulisan yang sangat bermanfaat untuk menghadapi UN pertengahan April mendatang.
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi