Rabu, 05 Maret 2014

Tautan Moral Dalam Bahasa Ibu

Oleh Fathoni Ahmad

Pada tanggal 21 Februari lalu warga dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Hingar bingar pun tak terdengar dan tak terlihat, entah di dunia nyata maupun dunia maya seperti kita menyambut hari anti korupsi sedunia pada setiap tanggal 9 Desember dengan banyaknya spanduk nangkring yang isinya himbauan ‘jangan korupsi’ oleh kemungkinan para koruptor sendiri dan hari buruh internasional setiap tanggal 2 Mei yang kita sebut May Day itu. Bahkan saking gemah ripahnya, may day dijadikan hari libur nasional oleh SBY, tentu saja ini menajdi peluang para buruh untuk terus-menerus demo di tanggal itu. Sederhananya, bukan libur nasional saja demo, apalagi dijadikan hari libur?

Ya, biasa-biasa saja, itulah yang penulis esai ini rasakan pada 21 Februari lalu di hari dimana setiap manusia memperolah tautan budaya dan moralnya melalui bahasa ibu. Indonesia merupakan gudangnya kebudayaan, 400 suku lebih dan 746 bahasa daerah di Indonesia telah membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang (ter)amat besar. Tentu saja potensi keberagaman yang ada di dalamnya adalah sebuah kekuatan, sehingga termasuk jenis manusia bermasalah (something wrong) jika mempersoalkan perbedaan dan menginginkan keseragaman di tengah Indonesia. Bagaimana mungkin kekuatan yang semestinya dipupuk malah digonjang-ganjingkan?

Dengan ratusan suku dan bahasa daerah tersebut, berarti dengan jumlah itulah bangsa Indonesia mempunyai bahasa ibu. Bahasa ibulah yang menuntun dan menyadarkan kita bahwa, bangsa Indonesia adalah satu bahasa ibu. Bahasa yang menyadarkan bahwa kita adalah beragam, berbudaya, dan bermartabat meskipun seolah-olah tidak, sebab telah diracuni oleh bahasa birokrat yang sering terlihat tak bermartabat.

Di awal sudah dijelaskan bahwa bahasa ibu merupakan tautan moral. Artinya? Anda mesti berpikir dan mungkin bertanya-tanya, jika merupakan tautan moral, mengapa moral generasi sekarang ini makin mengalami degradasi atau keterpurukan dengan bejibunnya bahasa ibu tersebut? Jawabannya mudah sekali, berarti anda bukan penghayat bahasa ibu anda sendiri.
Bahasa ibu sebagai tautan moral harus dipahami untuk menumbuhkan nilai moral individu. Katakanlah meskipun seorang ibu keras mendidikmu jangan lantas membuatmu keras, karena itulah bahasa ibumu untuk membuatmu bermoral halus. Sebab itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam sebuah tulisan pernah mengatakan pahami dan pertahankanlah bahasa ibumu.

Pernah penulis esai ini dalam kenyataan melihat peran orang tua, katakanlah ibu yang selalu melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu sehingga memaksa anak untuk melakukan pelanggaran secara sembunyi-sembunyi. Apakah ini sebuah dampak dari pelarangan orang tua? Kita harus berpikir bahwa dari hal inilah kita sebagai anak diajarkan untuk lebih bertanggung jawab. Artinya kebebasan yang kita lakukan harus disandingkan dengan tanggung jawab. Tak masalah kita berjam-jam di warnet atau main playstation, jika sebelum dan setelah itu kita menunaikan tanggung jawab kita sebagai pelajar, hamba Tuhan, dan sebagai anggota keluarga misalnya sehingga itulah pengahyatan dari sebuah larangan seorang ibu tadi.


Bahasa Ibu, Bahasa Persatuan

Begitu kuatnya konstruksi moral yang bersumber dari bahasa ibu sehingga hal ini diperingati di seluruh dunia. Negara di dunia pun mengakui, sehingga tak ada alasan apapun dengan bangsa Indonesia untuk tidak memperingatinya, apalagi tidak sadar, sebab ratusan kekayaan bahasa ibu kita lebih banyak dibandingkan Negara-negara lain di belahan bumi ini.
Penulis esai ini mempunyai sahabat warga Tionghoa bernama Fun Ji. Dia asli dari Kota Singkawang, Kalimantan Barat namun telah menetap lama di Jakarta. Selama ini warga pribumi masih mempunyai persepsi bahwa warga Tionghoa di berbagai daerah di Nuasantara bukanlah orang Indonesia.

Tetapi faktanya tidak demikian, penulis pernah menanyakan apakah bahasa yang kalian gunakan itu bahasa Mandarin? Sebab setiap kali berinteraksi dengan warga Tionghoa lain, penulis memahaminya itu bahasa Mandarin. Ternyata bukan, dari pengakuan dia, ini adalah bahasa kek (baca: ke’), bahasa ini sama sekali berbeda dengan bahasa Mandarin.
Lain Fun Ji, lain juga Maya Lee, sahabat penulis, warga Tionghoa Medan, juga pernah menetap di Jakarta tahun 2012 lalu. Awalnya penulis kira bahasa yang digunakan sama yaitu bahasa kek. Ternyata warga Tionghoa Medan menggunakan bahasa Mandolin yang juga tak sama dengan bahasa kek dan mandarin. Sebab itu, Maya Lee tak bisa mengartikan bahasa kek, begitu juga dengan Fun Ji tidak mengerti bahasa Mandolin.

Yang menakjubkan, mereka juga tidak mau disebut orang Chinese (Cina), karena Tionghoa berbeda dengan Cina. Mereka hanya merasa, bahwa mereka adalah orang Indonesia. Luar Biasa! Penulis mengambil kesimpulan bahwa jika kita adalah orang Indonesia beretnis Jawa, Sunda, dan lain-lain, mereka juga orang Indonesia beretnis Tionghoa. Dengan kata lain, mereka benar-benar mengakui bahasa ibu kita, yaitu Indonesia dengan beragam budayanya.
Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk membeda-bedakan, menonjolkan perbedaan dengan mengabaikan persamaan prinsip dan tujuan karena kita adalah orang Indonesia, satu bahasa ibu, sumber tautan moral sebagai instrumen rasa senasib dan sepenanggungan, bukan?


 Jakarta, 23 Februari 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi