Pada
tanggal 21 Februari lalu warga dunia memperingati Hari Bahasa Ibu
Internasional. Hingar bingar pun tak terdengar dan tak terlihat, entah di dunia
nyata maupun dunia maya seperti kita menyambut hari anti korupsi sedunia pada
setiap tanggal 9 Desember dengan banyaknya spanduk nangkring yang isinya
himbauan ‘jangan korupsi’ oleh kemungkinan para koruptor sendiri dan hari buruh
internasional setiap tanggal 2 Mei yang kita sebut May Day itu. Bahkan saking gemah
ripahnya, may day dijadikan hari
libur nasional oleh SBY, tentu saja ini menajdi peluang para buruh untuk
terus-menerus demo di tanggal itu. Sederhananya, bukan libur nasional saja
demo, apalagi dijadikan hari libur?
Ya,
biasa-biasa saja, itulah yang penulis esai ini rasakan pada 21 Februari lalu di
hari dimana setiap manusia memperolah tautan
budaya dan moralnya melalui bahasa ibu. Indonesia merupakan gudangnya
kebudayaan, 400 suku lebih dan 746 bahasa daerah di Indonesia telah membuktikan
bahwa bangsa ini adalah bangsa yang (ter)amat besar. Tentu saja potensi
keberagaman yang ada di dalamnya adalah sebuah kekuatan, sehingga termasuk
jenis manusia bermasalah (something wrong)
jika mempersoalkan perbedaan dan menginginkan keseragaman di tengah Indonesia.
Bagaimana mungkin kekuatan yang semestinya dipupuk malah digonjang-ganjingkan?
Dengan
ratusan suku dan bahasa daerah tersebut, berarti dengan jumlah itulah bangsa
Indonesia mempunyai bahasa ibu. Bahasa ibulah yang menuntun dan menyadarkan
kita bahwa, bangsa Indonesia adalah satu bahasa ibu. Bahasa yang menyadarkan
bahwa kita adalah beragam, berbudaya, dan bermartabat meskipun seolah-olah
tidak, sebab telah diracuni oleh bahasa birokrat yang sering terlihat tak
bermartabat.
Di
awal sudah dijelaskan bahwa bahasa ibu merupakan tautan moral. Artinya? Anda
mesti berpikir dan mungkin bertanya-tanya, jika merupakan tautan moral, mengapa
moral generasi sekarang ini makin mengalami degradasi atau keterpurukan dengan bejibunnya bahasa ibu tersebut?
Jawabannya mudah sekali, berarti anda bukan penghayat bahasa ibu anda sendiri.
Bahasa
ibu sebagai tautan moral harus dipahami untuk menumbuhkan nilai moral individu.
Katakanlah meskipun seorang ibu keras mendidikmu jangan lantas membuatmu keras,
karena itulah bahasa ibumu untuk membuatmu bermoral halus. Sebab itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam sebuah tulisan pernah mengatakan
pahami dan pertahankanlah bahasa ibumu.
Pernah
penulis esai ini dalam kenyataan melihat peran orang tua, katakanlah ibu yang
selalu melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu sehingga memaksa anak untuk
melakukan pelanggaran secara sembunyi-sembunyi. Apakah ini sebuah dampak dari
pelarangan orang tua? Kita harus berpikir bahwa dari hal inilah kita sebagai
anak diajarkan untuk lebih bertanggung jawab. Artinya kebebasan yang kita
lakukan harus disandingkan dengan tanggung jawab. Tak masalah kita berjam-jam
di warnet atau main playstation, jika
sebelum dan setelah itu kita menunaikan tanggung jawab kita sebagai pelajar,
hamba Tuhan, dan sebagai anggota keluarga misalnya sehingga itulah pengahyatan
dari sebuah larangan seorang ibu tadi.
Bahasa Ibu, Bahasa Persatuan
Begitu
kuatnya konstruksi moral yang bersumber dari bahasa ibu sehingga hal ini
diperingati di seluruh dunia. Negara di dunia pun mengakui, sehingga tak ada
alasan apapun dengan bangsa Indonesia untuk tidak memperingatinya, apalagi
tidak sadar, sebab ratusan kekayaan bahasa ibu kita lebih banyak dibandingkan
Negara-negara lain di belahan bumi ini.
Penulis
esai ini mempunyai sahabat warga Tionghoa bernama Fun Ji. Dia asli dari Kota
Singkawang, Kalimantan Barat namun telah menetap lama di Jakarta. Selama ini
warga pribumi masih mempunyai persepsi bahwa warga Tionghoa di berbagai daerah
di Nuasantara bukanlah orang Indonesia.
Tetapi
faktanya tidak demikian, penulis pernah menanyakan apakah bahasa yang kalian
gunakan itu bahasa Mandarin? Sebab setiap kali berinteraksi dengan warga
Tionghoa lain, penulis memahaminya itu bahasa Mandarin. Ternyata bukan, dari
pengakuan dia, ini adalah bahasa kek (baca:
ke’), bahasa ini sama sekali berbeda dengan bahasa Mandarin.
Lain
Fun Ji, lain juga Maya Lee, sahabat penulis, warga Tionghoa Medan, juga pernah
menetap di Jakarta tahun 2012 lalu. Awalnya penulis kira bahasa yang digunakan
sama yaitu bahasa kek. Ternyata warga
Tionghoa Medan menggunakan bahasa Mandolin
yang juga tak sama dengan bahasa kek
dan mandarin. Sebab itu, Maya Lee tak bisa mengartikan bahasa kek, begitu juga dengan Fun Ji tidak
mengerti bahasa Mandolin.
Yang
menakjubkan, mereka juga tidak mau disebut orang Chinese (Cina), karena Tionghoa berbeda dengan Cina. Mereka hanya
merasa, bahwa mereka adalah orang Indonesia. Luar Biasa! Penulis mengambil
kesimpulan bahwa jika kita adalah orang Indonesia beretnis Jawa, Sunda, dan
lain-lain, mereka juga orang Indonesia beretnis Tionghoa. Dengan kata lain,
mereka benar-benar mengakui bahasa ibu kita, yaitu Indonesia dengan beragam
budayanya.
Dengan
demikian, tidak ada lagi alasan untuk membeda-bedakan, menonjolkan perbedaan
dengan mengabaikan persamaan prinsip dan tujuan karena kita adalah orang
Indonesia, satu bahasa ibu, sumber tautan moral sebagai instrumen rasa senasib
dan sepenanggungan, bukan?
Jakarta, 23 Februari 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi