Oleh Fathoni Ahmad
Mampu
mengurus orang lain, entah itu masyarakat atau bangsa dari skala luas
direpresentasikan dari bagaimana dia mampu mengurus dirinya sendiri. Menjadi
pemimpin yang unggul tidak harus menunggu menjadi Kepala Desa, Bupati,
Walikota, Gubernur atau bahkan menjadi Presiden. Namun, pemimpin yang unggul
adalah manusia yang mampu menjadi pemimpin bagi dirinya masing-masing.
Setidaknya, dia mempunyai bekal untuk dapat memimpin orang lain.
Pemimpin
meninggalkan warisan berupa pola dan karakter kepemimpinan. Artinya, meskipun
pemimpin utama pergi, semua rancangan program dapat dilaksanakan dengan baik
oleh pemimpin kedua. Dengan pola dan karakter yang sama, tentu akan
menghasilkan keberhasilan yang menjadi harapan rakyat yang dipimpinnya. Rakyat
membutuhkan pemimpin yang mempunyai tujuan sama yaitu menegakkan hukum berbasis
keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin.
Persoalannya,
selama ini tujuan mulia tersebut seakan alot
untuk dicapai mengingat banyaknya partai politik (parpol) yang berperan dalam
percaturan kepemimpinan nasional. Asumsinya, semakin banyak parpol, makin banyak
pula kepentingan yang melingkupinya. Ironisnya, kepentingan yang menjadi agenda
parpol adalah kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa yang lebih luas.
Hal ini terbukti dengan banyaknya produk Undang-undang (UU) yang dihasilkan
oleh para wakil rakyat yang justru mencekik rakyat dengan membuat pihak
kelompoknya maupun pihak kelompok yang berkepentingan dengan kebijakannya
semakin tertawa jahat.
Dengan
perilaku para pemimpin rakyat atau pemimpin yang mewakili rakyat yang njijeni (menjijikan), kepercayaan
masyarakat pada parpol semakin menurun secara signifikan. Angka pertisipasi
masyarakat setiap hajatan pemilu mengalami penurunan, dari 93,3% pada tahun
1999, turun 80,9% di tahun 2004, kemudian hanya 70,99% di tahun 2009. Parahnya
lagi, menurut salah satu survey, angka partisipasi di tahun 2014 ini kurang
dari 50%. Hal ini tentu menjadi bukti kekecewaan masyarkat terhadap pemimpin
yang mewakilinya, namun hanya mewakili kelompok dan memperkaya diri pribadinya.
Jika
persoalannya adalah jumlah parpol yang terlalu banyak sehingga parlemen rakyat
menjadi seperti parodi anak TK, rakyat sudah tentu tidak menginginkan banyak
secara kuantitas, namun minim kualitas dalam mengurus rakyat. Rakyat tentu
menginginkan dengan jumlah parpol sebanyak itu, semua elemen wakil rakyat
bersatu padu menyejahterakan rakyat dengan menanggalkan baju kebesaran
kelompoknya masing-masing.
Yang
perlu diingat oleh para wakil rakyat di parlemen ialah mereka hanya mewakili
rakyat. Kesejahteraan rakyat tentu di atas kesejahteraan wakilnya, mengkilapnya
sepatu wakil rakyat tentu tak patut di atas mengkilapnya sepatu yang
mewakilinya, dan seterusnya. Namun, realitasnya terbalik 180 derajat. Wakilnya
naik mercy, yang mewakilkan hanya naik ontel. Wakilnya narik duit hingga
miliran rupiah dari berbagai komisi ‘internal’ dan ‘eksternal’, yang mewakilkan
setiap hari harus bersusah payah narik pedet. Artinya, tentu yang mewakilkan
seharusnya lebih baik kondisinya. Siapa yang menjadikan lebih baik? Ya pemimpin
yang mewakilinya, bukan hanya sekadar duduk manis menjadi wakil, titik!
Filosofi
ini lahir dari pengalaman penulis mengikuti ceramah pengajian seorang Kiai.
Antara tahun 1997 hingga 2005 penulis dengan beberapa santri merasa senang jika
setiap shalat Jum’at di Masjid kampung diumumkan akan ada pengajian umum.
Apalagi jika sang penceramah adalah seorang Kiai idola. Saat itu, Kiai idola
kami yang mampu memberi materi ceramah dengan dibumbui dengan humor-humor segar
sehingga membuat suasana pengajian menjadi cair dan hangat tidak monoton meski
format pengajian memang monoton.
Dari
pengajian-pengajian yang sering kami ikuti, tak jarang penceramah utama ujug-ujug berhalangan hadir sehingga
terpaksa dibadalkan (diwakilkan) oleh
teman dekat atau asistennya yang tentu sama-sama seorang Kiai. Secara kualitas,
tentu penceramah utama lebih baik daripada yang mewakilinya karena sangat
diharapkan kehadirannya oleh jamaah pengajian. Dengan kata lain, yang mewakilkan
itu lebih baik, dalam istilah Jawa engkek
sing makilno.
Jika
demikian, seharusnya wakil rakyat dapat memposisikan diri sebagai pemimpin yang
mewakili rakyat yang bertanggung jawab penuh atas kondisi-kondisi rakyat yang
memprihatinkan. Bukankah itu hakikat berpolitik? Jangan justru sebailknya,
mewakili kelompok-kelompoknya sendiri sehingga yang terjadi hanyalah parodi dalam mengurus Negara bangsa.
Dari
konsep pemimpin yang mewakili rakyat, artinya baju-baju partai politik yang
menjadi kendaraan mesti ditanggalkan. Dalam ruang perwakilan rakyat, rakyatlah
kepentingan utama. Rakyat disini, bukan hanya konstituen yang memilihmu, bukan
juga rakyat elitis dalam partaimu, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang menjadi
beban tanggung jawabmu.
Pemimpin
adalah lokomotif yang akan membawa gerbong-gerbong. Kondisi gerbong tentu
tergantung yang membawanya. Gerbong akan selamat dalam keadaan baik hingga
tujuan jika yang membawa lokomotif dapat mengemudikannya dengan baik dan benar.
Sudah menjadi tugas wakil rakyat untuk menjadikan rakyat yang mewakilinya menjadi
lebih baik diatas kebaikannya sendiri.
Hal
ini memerlukan pemimpin berjiwa negarawan, bukan pemimpin yang berjiwa
politikus disaat dirinya sudah menjadi pemimpin. Negarawan mempunyai karakter
menjadikan Negara dan bangsa lebih baik. Sebab itu, dia akan membawa gerbongnya
hingga ke tujuan. Bahkan, sampai akhir masa kepemimpinanya justru dia akan
memacu lokomotif semakin cepat mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, disaat masa
kepemimpinanya berakhir, dia justru sibuk agar masa berikutnya dapat
mempertahankan status quo-nya. Akhirnya,
sidang-sidang yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dipenuhi dengan
kursi-kursi kosong karena sibuk menjual diri ke daerah pemilihan ketika masa
kampanye tiba.
Tentu
hal ini tidak akan terjadi jika dari awal dirinya bekerja untuk rakyat. Sehingga
tanpa meninggalkan sidang pun, rakyat memahami dan besar kemungkinan akan
memilihnya kembali sebagai pemimpin yang mewakilinya. Dari hal ini, terlihat
perbedaannya antara negarawan dengan politisi atau negarawan karbitan. Demikian
esensi dari konsep wakil rakyat adalah pemimpin yang mewakili rakyat, yaitu
pemimpin rakyat yang berjiwa negarawan hingga akhir masa kepemimpinannya,
bahkan hingga akhir hayatnya.
Jakarta,
6 April 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi