Minggu, 06 April 2014

Wakil Rakyat Mestinya Menjadi Pemimpin yang Mewakili Rakyat

Oleh Fathoni Ahmad

Mampu mengurus orang lain, entah itu masyarakat atau bangsa dari skala luas direpresentasikan dari bagaimana dia mampu mengurus dirinya sendiri. Menjadi pemimpin yang unggul tidak harus menunggu menjadi Kepala Desa, Bupati, Walikota, Gubernur atau bahkan menjadi Presiden. Namun, pemimpin yang unggul adalah manusia yang mampu menjadi pemimpin bagi dirinya masing-masing. Setidaknya, dia mempunyai bekal untuk dapat memimpin orang lain.


Pemimpin meninggalkan warisan berupa pola dan karakter kepemimpinan. Artinya, meskipun pemimpin utama pergi, semua rancangan program dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemimpin kedua. Dengan pola dan karakter yang sama, tentu akan menghasilkan keberhasilan yang menjadi harapan rakyat yang dipimpinnya. Rakyat membutuhkan pemimpin yang mempunyai tujuan sama yaitu menegakkan hukum berbasis keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin.

Persoalannya, selama ini tujuan mulia tersebut seakan alot untuk dicapai mengingat banyaknya partai politik (parpol) yang berperan dalam percaturan kepemimpinan nasional. Asumsinya, semakin banyak parpol, makin banyak pula kepentingan yang melingkupinya. Ironisnya, kepentingan yang menjadi agenda parpol adalah kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa yang lebih luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya produk Undang-undang (UU) yang dihasilkan oleh para wakil rakyat yang justru mencekik rakyat dengan membuat pihak kelompoknya maupun pihak kelompok yang berkepentingan dengan kebijakannya semakin tertawa jahat. 

Dengan perilaku para pemimpin rakyat atau pemimpin yang mewakili rakyat yang njijeni (menjijikan), kepercayaan masyarakat pada parpol semakin menurun secara signifikan. Angka pertisipasi masyarakat setiap hajatan pemilu mengalami penurunan, dari 93,3% pada tahun 1999, turun 80,9% di tahun 2004, kemudian hanya 70,99% di tahun 2009. Parahnya lagi, menurut salah satu survey, angka partisipasi di tahun 2014 ini kurang dari 50%. Hal ini tentu menjadi bukti kekecewaan masyarkat terhadap pemimpin yang mewakilinya, namun hanya mewakili kelompok dan memperkaya diri pribadinya. 

Jika persoalannya adalah jumlah parpol yang terlalu banyak sehingga parlemen rakyat menjadi seperti parodi anak TK, rakyat sudah tentu tidak menginginkan banyak secara kuantitas, namun minim kualitas dalam mengurus rakyat. Rakyat tentu menginginkan dengan jumlah parpol sebanyak itu, semua elemen wakil rakyat bersatu padu menyejahterakan rakyat dengan menanggalkan baju kebesaran kelompoknya masing-masing.

Yang perlu diingat oleh para wakil rakyat di parlemen ialah mereka hanya mewakili rakyat. Kesejahteraan rakyat tentu di atas kesejahteraan wakilnya, mengkilapnya sepatu wakil rakyat tentu tak patut di atas mengkilapnya sepatu yang mewakilinya, dan seterusnya. Namun, realitasnya terbalik 180 derajat. Wakilnya naik mercy, yang mewakilkan hanya naik ontel. Wakilnya narik duit hingga miliran rupiah dari berbagai komisi ‘internal’ dan ‘eksternal’, yang mewakilkan setiap hari harus bersusah payah narik pedet. Artinya, tentu yang mewakilkan seharusnya lebih baik kondisinya. Siapa yang menjadikan lebih baik? Ya pemimpin yang mewakilinya, bukan hanya sekadar duduk manis menjadi wakil, titik!

Filosofi ini lahir dari pengalaman penulis mengikuti ceramah pengajian seorang Kiai. Antara tahun 1997 hingga 2005 penulis dengan beberapa santri merasa senang jika setiap shalat Jum’at di Masjid kampung diumumkan akan ada pengajian umum. Apalagi jika sang penceramah adalah seorang Kiai idola. Saat itu, Kiai idola kami yang mampu memberi materi ceramah dengan dibumbui dengan humor-humor segar sehingga membuat suasana pengajian menjadi cair dan hangat tidak monoton meski format pengajian memang monoton.

Dari pengajian-pengajian yang sering kami ikuti, tak jarang penceramah utama ujug-ujug berhalangan hadir sehingga terpaksa dibadalkan (diwakilkan) oleh teman dekat atau asistennya yang tentu sama-sama seorang Kiai. Secara kualitas, tentu penceramah utama lebih baik daripada yang mewakilinya karena sangat diharapkan kehadirannya oleh jamaah pengajian. Dengan kata lain, yang mewakilkan itu lebih baik, dalam istilah Jawa engkek sing makilno

Jika demikian, seharusnya wakil rakyat dapat memposisikan diri sebagai pemimpin yang mewakili rakyat yang bertanggung jawab penuh atas kondisi-kondisi rakyat yang memprihatinkan. Bukankah itu hakikat berpolitik? Jangan justru sebailknya, mewakili kelompok-kelompoknya sendiri sehingga yang terjadi hanyalah parodi dalam mengurus Negara bangsa.

Dari konsep pemimpin yang mewakili rakyat, artinya baju-baju partai politik yang menjadi kendaraan mesti ditanggalkan. Dalam ruang perwakilan rakyat, rakyatlah kepentingan utama. Rakyat disini, bukan hanya konstituen yang memilihmu, bukan juga rakyat elitis dalam partaimu, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang menjadi beban tanggung jawabmu.

Pemimpin adalah lokomotif yang akan membawa gerbong-gerbong. Kondisi gerbong tentu tergantung yang membawanya. Gerbong akan selamat dalam keadaan baik hingga tujuan jika yang membawa lokomotif dapat mengemudikannya dengan baik dan benar. Sudah menjadi tugas wakil rakyat untuk menjadikan rakyat yang mewakilinya menjadi lebih baik diatas kebaikannya sendiri. 

Hal ini memerlukan pemimpin berjiwa negarawan, bukan pemimpin yang berjiwa politikus disaat dirinya sudah menjadi pemimpin. Negarawan mempunyai karakter menjadikan Negara dan bangsa lebih baik. Sebab itu, dia akan membawa gerbongnya hingga ke tujuan. Bahkan, sampai akhir masa kepemimpinanya justru dia akan memacu lokomotif semakin cepat mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, disaat masa kepemimpinanya berakhir, dia justru sibuk agar masa berikutnya dapat mempertahankan status quo-nya. Akhirnya, sidang-sidang yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dipenuhi dengan kursi-kursi kosong karena sibuk menjual diri ke daerah pemilihan ketika masa kampanye tiba. 

Tentu hal ini tidak akan terjadi jika dari awal dirinya bekerja untuk rakyat. Sehingga tanpa meninggalkan sidang pun, rakyat memahami dan besar kemungkinan akan memilihnya kembali sebagai pemimpin yang mewakilinya. Dari hal ini, terlihat perbedaannya antara negarawan dengan politisi atau negarawan karbitan. Demikian esensi dari konsep wakil rakyat adalah pemimpin yang mewakili rakyat, yaitu pemimpin rakyat yang berjiwa negarawan hingga akhir masa kepemimpinannya, bahkan hingga akhir hayatnya. 


Jakarta, 6 April 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi