Oleh Fathoni Ahmad
“Semester
berapa?”, tanyaku. “Semester tiga, aku pindahan dari STAI Yamisa, Soreang, Bandung”, jawabnya. “Kakak semester berapa?”, dia tanya balik. “Semester lima”,
jawabku sambil melingkari jadual mata kuliah semester lima. Ya, itulah awal
sapa dan percakapanku dengan Mahasiswa baru bernama Ummi Khoirunnisa yang
sekarang telah menjadi istriku.
Momen tak terlupakan tersebut terjadi saat kuliah perdana semester ganjil pada tanggal 27 September 2010 di lantai 5 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Kami satu almamater di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Anggap saja pertemuan ini telah diridhoi oleh para Kiai, sebab bertempat di markas besar para ulama dan kiai, pikirku.
Momen tak terlupakan tersebut terjadi saat kuliah perdana semester ganjil pada tanggal 27 September 2010 di lantai 5 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Kami satu almamater di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Anggap saja pertemuan ini telah diridhoi oleh para Kiai, sebab bertempat di markas besar para ulama dan kiai, pikirku.
Dari
awal aku memandang dan memahami gadis ini, aku sudah merasakan aura yang
berbeda. Ada semacam magnet dari Tuhan yang menarik diriku untuk mendekatinya.
Sebab itu kutindak lanjuti ‘hidayah’ ini. Pertama kali kupahami dengan melihat
dan merasakan, gadis ini sepertinya berkarakter introvert. Sifat pemalunya juga
cukup besar. Setelah aku melihatnya saat memperkenalkan diri di depan kelas. Sifat
ini tak cukup membuat seseorang menjadi maju untuk hidup di Kota sekelas
Jakarta bagi manusia perantauan. Aku tergerak untuk membantu perkembangan dia.
Minimal kebutuhan-kebutuhan akademiknya yang aku rasakan sendiri memerlukan
mobilitas tinggi untuk sekelas mahasiswa. Tentu ini bukan sikap ‘sok tahu’ dari
diriku. Namun, sikap yang didasarkan dari pengalamanku sendiri merasakan
‘nikmatnya’ (baca: kesulitan) menjadi mahasiswa di Kota Metropolitan. Aku pun
tak tahu pasti, mengapa gadis ini yang menjadi perhatianku?
Esok
harinya, mulailah diriku memberanikan diri untuk meminta nomor ponselnya.
Awalnya aku hanya mencoba menanyakan bagaimana rasanya kuliah di almamater baru
dibanding saat di Yamisa dulu. "Priben?", tanyaku. Awalnya aku mengira dia juga berbahasa jawa karena sama-sama dari Brebes. "Aku dari Bantarkawung mas, bahasanya sunda", katanya. Aku ketawa-ketiwi dalam hati, soalnya lupa bahwa daerah Bantarkawung adalah salah satu Kecamatan di Brebes yang berbahasa sunda. Aku pun ingat betul ketika masa-masa SMA, saat itu aku bercita-cita ingin sekali mempunyai istri orang sunda, bukan bermaksud apa-apa melainkan untuk proses pengayaan budaya saja. Aku tambah semangat dengan gadis ini.
Setelah tahu nomor ponselnya, cocok, ternyata nomor ponsel dia dengan punyaku satu operator sehingga murah secara biaya. Perhitungan ini wajar dilakukan oleh mahasiswa pas-pasan seperti diriku. Terlepas dari semua itu, perasaanku bahagia bisa mendapatkan nomor kontaknya. Sejak saat itulah aku rutin sms dan menelpon dia sembari aku jaga kios susu kedelai di Metro Tanah Abang yang menjadi pekerjaan part time-ku saat itu. Ajaran ayahnya tergolong ketat dan taat sehingga kita pun memilih waktu ngobrol lewat HP sekira ayah dia sedang sibuk bekerja. Mungkin ini yang menurut istilah anak zaman sekarang ‘backstreet’. Tapi sesungguhnya karakter aku bukan seperti itu. Karena aku lebih suka menjalin hubungan dengan sepengatahuan orang tua. Bukannya Tuhan tak akan meridhoi tanpa ridho orang tua?
Setelah tahu nomor ponselnya, cocok, ternyata nomor ponsel dia dengan punyaku satu operator sehingga murah secara biaya. Perhitungan ini wajar dilakukan oleh mahasiswa pas-pasan seperti diriku. Terlepas dari semua itu, perasaanku bahagia bisa mendapatkan nomor kontaknya. Sejak saat itulah aku rutin sms dan menelpon dia sembari aku jaga kios susu kedelai di Metro Tanah Abang yang menjadi pekerjaan part time-ku saat itu. Ajaran ayahnya tergolong ketat dan taat sehingga kita pun memilih waktu ngobrol lewat HP sekira ayah dia sedang sibuk bekerja. Mungkin ini yang menurut istilah anak zaman sekarang ‘backstreet’. Tapi sesungguhnya karakter aku bukan seperti itu. Karena aku lebih suka menjalin hubungan dengan sepengatahuan orang tua. Bukannya Tuhan tak akan meridhoi tanpa ridho orang tua?
Lewat
komunikasi ponsel, aku memulai misiku untuk membantu kebutuhan akademik dia,
diantaranya merencanakan ke perpustakaan nasional (perpusnas), jalan-jalan ke
loakan buku di Pasar Senen atau di Gramedia serta di bazar buku-buku murah di
Senayan hingga meminjamkan notebookku ke dia untuk kebutuhan menyusun makalah. Dalam
menyusun makalah pun agaknya aku harus membantu agar dia benar-benar mampu
menyusunnya sesuai dengan standar keilmiahan dan keilmuan.
Di
hari minggu, kita sering jalan bareng ke Perpusnas yang terletak di Jl. Medan
Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kebetulan perpustakaan ini nonstop tidak pernah
libur sebab merupakan fasilitas layanan terbuka dari PNRI Pusat di Salemba. Aku
berusaha agar dia menjadi anggota dengan membuat kartu tanda anggota Perpusnas
sehingga dapat dengan mudah meminjam buku-buku untuk kebutuhan baca dan
menyusun makalah. Selain itu, dengan cara ini aku pun berusaha mengubah
karakater dia dari introvert ke ekstrovert atau dari eksklusif menjadi inklusif
sehingga dia mampu bermobilitas sebagai manusia dan mahasiswa. Sekali lagi hal
ini hanya pemikiranku berdasar sedikit pemahaman psikologi manusia yang aku
pelajari di semester-semester awal.
Alhamdulillah,
dia mulai membuka mata dengan mobilitas hidup di Jakarta sebagai mahasiswa. Aku
pun makin semangat bersamanya. Pernah ketika itu aku mencoba ngobrol dengan dia
lewat ponsel di suatu malam untuk mengenalnya lebih dalam tentang diri dan
keluarganya. Ehem...ini yang benar-benar namanya ‘pedekate’. Namun lagi
asik-asiknya ngobrol, bapaknya datang sehabis pulang kerja. Dia buru-buru menutup
ponselnya takut ketahuan, lagi nelpon seorang pria. Dia cerita tak dikehendaki
bapaknya untuk dekat dengan lelaki, apalagi hidup di Jakarta yang serba bebas.
Witing tresno jalaran
soko kulino, setiap
saat bersama dia, entah saat di perpus atau di toko buku, perasaanku sering
berdesir-desir tak karuan. Aku berusaha memberanikan diri mengungkapkan
perasaanku ke dia. Namun, rupanya dia juga sudah mengerti bahwa aku suka
padanya sehingga tak membutuhkan waktu lama bagi kita untuk menyatukan perasaan
satu sama lain. Sejak saat itulah aku sering perhatian kepadanya dengan
menelpon tiap pagi dan mengirimkan sms motivasi untuk hubungan kita yang lebih
baik. Pekerjaan rumah berikutnya bagiku adalah menemui bapaknya. Tak tahu
pasti, aku tak merasa khawatir meskipun bapak dia tak memperbolehkannya berhubungan
dengan seorang pria alias pacaran. Dengan aku menemui bapaknya, minimal bapaknya
mengerti bahwa aku berusaha membangun hubungan yang serius ke depan. Bukan
main-main.
Akhirnya
bapaknya mau menerimaku sebagai pendampingnya, tentu dengan batasan-batasan
tertentu sebagai manusia yang belum halal secara ikatan. Meski dengan
pekerjaanku yang masih serabutan, aku memberanikan diri untuk menargetkan nikah
pada usia 25 tahun yaitu tahun 2014. Dengan mempunyai target, aku mempunyai
patokan untuk melangkah, pikirku. Namanya juga target, tercapai alhamdulillah, jika
belum tercapai wa syukurilah. Aku tidak mau terbebani, semua sudah ada yang
mengatur, manusia hanya bisa merencanakan.
Sejak
tahun 2010, kami telah memahami satu sama lain. Dalam proses tersebut, tak
sedikit guncangan-guncangan dahsyat menerpa kami sehingga beberapa kali sempat
goyah. Kuncinya saling memahami dan tak putus komunikasi serta tak menuruti
egoisme pribadi sehingga hubungan kami awet selama kurang dari 4 tahun. Gadisku
ini merupakan anak pertama, dalam dirinya menempel sikap penyayang, rajin, dan
perhatian. Namun, yang lebih tak mengenakan untuk karakter anak pertama,
biasanya kalau sedang marah justru diam. Hal inilah yang membuatku sering harus
putar otak agar komunikasi tetap berjalan dengan lancar, karena dengan
keterbukaan komunikasi, semua masalah dapat terselesaikan dengan baik tanpa
konflik berarti.
Dengan
jungkir balik dalam proses perkuliahaan, aku berhasil lulus dengan memuaskan di
tahun 2013 tepatnya bulan maret. Sedangkan dia lulus bulan April 2014. Ketika
itu STAINU Jakarta menyelenggarakan wisuda pada Mei 2014. Pada saat lebaran
tahun 2013, aku dan dia bersama keluarga sudah merencanakan pernikahan setelah
lebaran 2014. Semua sepakat di waktu tersebut. Saat itu pendapatanku masih
didapat hanya dari hasil bantu usaha kakakku di Tanah Abang. Setelah
merencanakan pernikahan tersebut, alhamdulillah aku mendapat tawaran untuk bekerja
di Kantor Berita kebanggaan warga Nahdlatul Ulama (NU), NU Online yang
bertempat di Gedung PBNU lantai 5. Dengan demikian, pundi-pundiku bertambah
untuk persiapan pernikahan yang memang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ini
tentu ridho Allah, sebab hanya Dia-lah Yang Maha Mengetahui kebutuhan setiap
manusia. Kali ini aku percaya dengan adagium, siapa orang yang sudah mantap
berniat untuk menikah, rezeki pasti melimpah. Begitupun setelah menikah,
adagium tersebut masih berlaku hingga selamanya. Biidznillah...
Sejak
saat itulah passion ku semakin
meningkat, semangatku membuncah untuk memenuhi target yang sedikit lagi tercapai.
Aku tak henti-hentinya memohon keridhoan Allah atas rencanaku ini. Aku pun
bersyukur kepada-Nya atas gelar wisudawan terbaik saat wisuda di TMII, Jakarta,
7 Mei 2014 itu dengan penghargaan beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliah S2 di
almamater yang sama. Tangisan bangga terus mengalir dalam diriku, sebab
setidaknya kedua orang tua dan calon mertuaku ikut merasakan kebahagiaan ini
ketika mereka juga sama-sama mengahdiri wisuda kami. Terima kasih Allah... Dengan
demikian, upah dari pekerjaanku secara penuh dapat aku tabungkan untuk ongkos
nikah tanpa harus membayar biaya kuliah S2.
Sebelumnya,
yaitu pada tanggal 30 Januari 2014, aku menyempatkan pulang ke kampung dengan
tujuan melamar Ummi Khoirunnisa secara resmi. Aku dengan ayahku berangkat ke
Desa Jipang, Bantarkawung dengan mengendarai sepeda motor. Tidak lupa, aku
membawa oleh-oleh khas daerah kita, yaitu telor asin dan bawang merah. Singkat
cerita, aku telah resmi mengikat calon istriku, di situ pula aku bersama
anggota keluarga lain mendiskusikan tradisi pernikahan di desaku dan di desa
dia agar tidak terjadi salah paham jika ada sebuah kebiasaan yang dihilangkan
mengingat jarak kampung kita masing-masing yang cukup jauh.
Setelah
persoalan tradisi selesai, tinggal menentukan tanggal pernikahan yang cocok. Waktu
masih tetap yaitu setelah lebaran 2014. Pertama kali kita tetapkan pernikahan
pada tanggal 5 Agustus 2014. Ternyata setelah melalui konsultasi lebih lanjut,
tanggal diubah ke 12 Agustus 2014. Tanggal ini tidak disengaja sama dengan
tanggal pernikahan calon mertuaku. Beberapa teman dan kenalan kita juga
ternyata banyak yang menikah pada tanggal tersebut. Unik saja. Singkatnya, kami
sepakat.
Di
tiga hari awal masuknya bulan puasa, yaitu tanggal 29-30 Juni 2014 serta
tanggal 1 Juli 2014, aku bersama Ummi pulang ke Jipang untuk mendaftar ke KUA
serta membeli barang-barang seserahan. Sebelumnya, kami telah beres mengurus surat-surat
nikah di Jakarta, sebab KTP kami DKI Jakarta. Jadi, kami hanya membuat surat numpang
nikah istilahnya. Alhamdulillah, proses berjalan mudah dan lancar tanpa
hambatan apapun. Dengan demikian, kami hanya butuh menyerahkan berkas-berkas
yang telah dibuat oleh pejabat KUA DKI Jakarta untuk dicatat di KUA
Bantarkawung. Kami hanya disuruh melengkapi surat keterangan dokter dari puskesmas,
yaitu suntik TT untuk calon kedua mempelai. Proses pencatatan beserta ongkos
nikah telah kami selesaikan, selain itu barang-barang seserahan juga telah kami
beli. Saatnya kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaan kami sembari
menunggu momen terindah tanggal 12 Agustus 2014 tersebut, kenangku saat itu.
Fathoni,
suami dari gadis Jipang bernama Ummi
Khoirunnisa
Jakarta,
01 September 2014
2 komentar
Saluuut.. Semoga langgeng..
Aamiin... Terima kasih doanya. Sukses selalu...
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi