Senin, 01 September 2014

AKU, KAU, DAN KUA

Oleh Fathoni Ahmad

“Semester berapa?”, tanyaku. “Semester tiga, aku pindahan dari STAI Yamisa, Soreang, Bandung”, jawabnya. “Kakak semester berapa?”, dia tanya balik. “Semester lima”, jawabku sambil melingkari jadual mata kuliah semester lima. Ya, itulah awal sapa dan percakapanku dengan Mahasiswa baru bernama Ummi Khoirunnisa yang sekarang telah menjadi istriku. 


Momen tak terlupakan tersebut terjadi saat kuliah perdana semester ganjil pada tanggal 27 September 2010 di lantai 5 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Kami satu almamater di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta. Anggap saja pertemuan ini telah diridhoi oleh para Kiai, sebab bertempat di markas besar para ulama dan kiai, pikirku.

Dari awal aku memandang dan memahami gadis ini, aku sudah merasakan aura yang berbeda. Ada semacam magnet dari Tuhan yang menarik diriku untuk mendekatinya. Sebab itu kutindak lanjuti ‘hidayah’ ini. Pertama kali kupahami dengan melihat dan merasakan, gadis ini sepertinya berkarakter introvert. Sifat pemalunya juga cukup besar. Setelah aku melihatnya saat memperkenalkan diri di depan kelas. Sifat ini tak cukup membuat seseorang menjadi maju untuk hidup di Kota sekelas Jakarta bagi manusia perantauan. Aku tergerak untuk membantu perkembangan dia. Minimal kebutuhan-kebutuhan akademiknya yang aku rasakan sendiri memerlukan mobilitas tinggi untuk sekelas mahasiswa. Tentu ini bukan sikap ‘sok tahu’ dari diriku. Namun, sikap yang didasarkan dari pengalamanku sendiri merasakan ‘nikmatnya’ (baca: kesulitan) menjadi mahasiswa di Kota Metropolitan. Aku pun tak tahu pasti, mengapa gadis ini yang menjadi perhatianku?

Esok harinya, mulailah diriku memberanikan diri untuk meminta nomor ponselnya. Awalnya aku hanya mencoba menanyakan bagaimana rasanya kuliah di almamater baru dibanding saat di Yamisa dulu. "Priben?", tanyaku. Awalnya aku mengira dia juga berbahasa jawa karena sama-sama dari Brebes. "Aku dari Bantarkawung mas, bahasanya sunda", katanya. Aku ketawa-ketiwi dalam hati, soalnya lupa bahwa daerah Bantarkawung adalah salah satu Kecamatan di Brebes yang berbahasa sunda. Aku pun ingat betul ketika masa-masa SMA, saat itu aku bercita-cita ingin sekali mempunyai istri orang sunda, bukan bermaksud apa-apa melainkan untuk proses pengayaan budaya saja. Aku tambah semangat dengan gadis ini.

Setelah tahu nomor ponselnya, cocok, ternyata nomor ponsel dia dengan punyaku satu operator sehingga murah secara biaya. Perhitungan ini wajar dilakukan oleh mahasiswa pas-pasan seperti diriku. Terlepas dari semua itu, perasaanku bahagia bisa mendapatkan nomor kontaknya. Sejak saat itulah aku rutin sms dan menelpon dia sembari aku jaga kios susu kedelai di Metro Tanah Abang yang menjadi pekerjaan part time-ku saat itu. Ajaran ayahnya tergolong ketat dan taat sehingga kita pun memilih waktu ngobrol lewat HP sekira ayah dia sedang sibuk bekerja. Mungkin ini yang menurut istilah anak zaman sekarang ‘backstreet’. Tapi sesungguhnya karakter aku bukan seperti itu. Karena aku lebih suka menjalin hubungan dengan sepengatahuan orang tua. Bukannya Tuhan tak akan meridhoi tanpa ridho orang tua?

Lewat komunikasi ponsel, aku memulai misiku untuk membantu kebutuhan akademik dia, diantaranya merencanakan ke perpustakaan nasional (perpusnas), jalan-jalan ke loakan buku di Pasar Senen atau di Gramedia serta di bazar buku-buku murah di Senayan hingga meminjamkan notebookku ke dia untuk kebutuhan menyusun makalah. Dalam menyusun makalah pun agaknya aku harus membantu agar dia benar-benar mampu menyusunnya sesuai dengan standar keilmiahan dan keilmuan.

Di hari minggu, kita sering jalan bareng ke Perpusnas yang terletak di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kebetulan perpustakaan ini nonstop tidak pernah libur sebab merupakan fasilitas layanan terbuka dari PNRI Pusat di Salemba. Aku berusaha agar dia menjadi anggota dengan membuat kartu tanda anggota Perpusnas sehingga dapat dengan mudah meminjam buku-buku untuk kebutuhan baca dan menyusun makalah. Selain itu, dengan cara ini aku pun berusaha mengubah karakater dia dari introvert ke ekstrovert atau dari eksklusif menjadi inklusif sehingga dia mampu bermobilitas sebagai manusia dan mahasiswa. Sekali lagi hal ini hanya pemikiranku berdasar sedikit pemahaman psikologi manusia yang aku pelajari di semester-semester awal.

Alhamdulillah, dia mulai membuka mata dengan mobilitas hidup di Jakarta sebagai mahasiswa. Aku pun makin semangat bersamanya. Pernah ketika itu aku mencoba ngobrol dengan dia lewat ponsel di suatu malam untuk mengenalnya lebih dalam tentang diri dan keluarganya. Ehem...ini yang benar-benar namanya ‘pedekate’. Namun lagi asik-asiknya ngobrol, bapaknya datang sehabis pulang kerja. Dia buru-buru menutup ponselnya takut ketahuan, lagi nelpon seorang pria. Dia cerita tak dikehendaki bapaknya untuk dekat dengan lelaki, apalagi hidup di Jakarta yang serba bebas.

Witing tresno jalaran soko kulino, setiap saat bersama dia, entah saat di perpus atau di toko buku, perasaanku sering berdesir-desir tak karuan. Aku berusaha memberanikan diri mengungkapkan perasaanku ke dia. Namun, rupanya dia juga sudah mengerti bahwa aku suka padanya sehingga tak membutuhkan waktu lama bagi kita untuk menyatukan perasaan satu sama lain. Sejak saat itulah aku sering perhatian kepadanya dengan menelpon tiap pagi dan mengirimkan sms motivasi untuk hubungan kita yang lebih baik. Pekerjaan rumah berikutnya bagiku adalah menemui bapaknya. Tak tahu pasti, aku tak merasa khawatir meskipun bapak dia tak memperbolehkannya berhubungan dengan seorang pria alias pacaran. Dengan aku menemui bapaknya, minimal bapaknya mengerti bahwa aku berusaha membangun hubungan yang serius ke depan. Bukan main-main.

Akhirnya bapaknya mau menerimaku sebagai pendampingnya, tentu dengan batasan-batasan tertentu sebagai manusia yang belum halal secara ikatan. Meski dengan pekerjaanku yang masih serabutan, aku memberanikan diri untuk menargetkan nikah pada usia 25 tahun yaitu tahun 2014. Dengan mempunyai target, aku mempunyai patokan untuk melangkah, pikirku. Namanya juga target, tercapai alhamdulillah, jika belum tercapai wa syukurilah. Aku tidak mau terbebani, semua sudah ada yang mengatur, manusia hanya bisa merencanakan.

Sejak tahun 2010, kami telah memahami satu sama lain. Dalam proses tersebut, tak sedikit guncangan-guncangan dahsyat menerpa kami sehingga beberapa kali sempat goyah. Kuncinya saling memahami dan tak putus komunikasi serta tak menuruti egoisme pribadi sehingga hubungan kami awet selama kurang dari 4 tahun. Gadisku ini merupakan anak pertama, dalam dirinya menempel sikap penyayang, rajin, dan perhatian. Namun, yang lebih tak mengenakan untuk karakter anak pertama, biasanya kalau sedang marah justru diam. Hal inilah yang membuatku sering harus putar otak agar komunikasi tetap berjalan dengan lancar, karena dengan keterbukaan komunikasi, semua masalah dapat terselesaikan dengan baik tanpa konflik berarti.

Dengan jungkir balik dalam proses perkuliahaan, aku berhasil lulus dengan memuaskan di tahun 2013 tepatnya bulan maret. Sedangkan dia lulus bulan April 2014. Ketika itu STAINU Jakarta menyelenggarakan wisuda pada Mei 2014. Pada saat lebaran tahun 2013, aku dan dia bersama keluarga sudah merencanakan pernikahan setelah lebaran 2014. Semua sepakat di waktu tersebut. Saat itu pendapatanku masih didapat hanya dari hasil bantu usaha kakakku di Tanah Abang. Setelah merencanakan pernikahan tersebut, alhamdulillah aku mendapat tawaran untuk bekerja di Kantor Berita kebanggaan warga Nahdlatul Ulama (NU), NU Online yang bertempat di Gedung PBNU lantai 5. Dengan demikian, pundi-pundiku bertambah untuk persiapan pernikahan yang memang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ini tentu ridho Allah, sebab hanya Dia-lah Yang Maha Mengetahui kebutuhan setiap manusia. Kali ini aku percaya dengan adagium, siapa orang yang sudah mantap berniat untuk menikah, rezeki pasti melimpah. Begitupun setelah menikah, adagium tersebut masih berlaku hingga selamanya. Biidznillah...    

Sejak saat itulah passion ku semakin meningkat, semangatku membuncah untuk memenuhi target yang sedikit lagi tercapai. Aku tak henti-hentinya memohon keridhoan Allah atas rencanaku ini. Aku pun bersyukur kepada-Nya atas gelar wisudawan terbaik saat wisuda di TMII, Jakarta, 7 Mei 2014 itu dengan penghargaan beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliah S2 di almamater yang sama. Tangisan bangga terus mengalir dalam diriku, sebab setidaknya kedua orang tua dan calon mertuaku ikut merasakan kebahagiaan ini ketika mereka juga sama-sama mengahdiri wisuda kami. Terima kasih Allah... Dengan demikian, upah dari pekerjaanku secara penuh dapat aku tabungkan untuk ongkos nikah tanpa harus membayar biaya kuliah S2. 

Sebelumnya, yaitu pada tanggal 30 Januari 2014, aku menyempatkan pulang ke kampung dengan tujuan melamar Ummi Khoirunnisa secara resmi. Aku dengan ayahku berangkat ke Desa Jipang, Bantarkawung dengan mengendarai sepeda motor. Tidak lupa, aku membawa oleh-oleh khas daerah kita, yaitu telor asin dan bawang merah. Singkat cerita, aku telah resmi mengikat calon istriku, di situ pula aku bersama anggota keluarga lain mendiskusikan tradisi pernikahan di desaku dan di desa dia agar tidak terjadi salah paham jika ada sebuah kebiasaan yang dihilangkan mengingat jarak kampung kita masing-masing yang cukup jauh.

Setelah persoalan tradisi selesai, tinggal menentukan tanggal pernikahan yang cocok. Waktu masih tetap yaitu setelah lebaran 2014. Pertama kali kita tetapkan pernikahan pada tanggal 5 Agustus 2014. Ternyata setelah melalui konsultasi lebih lanjut, tanggal diubah ke 12 Agustus 2014. Tanggal ini tidak disengaja sama dengan tanggal pernikahan calon mertuaku. Beberapa teman dan kenalan kita juga ternyata banyak yang menikah pada tanggal tersebut. Unik saja. Singkatnya, kami sepakat.

Di tiga hari awal masuknya bulan puasa, yaitu tanggal 29-30 Juni 2014 serta tanggal 1 Juli 2014, aku bersama Ummi pulang ke Jipang untuk mendaftar ke KUA serta membeli barang-barang seserahan. Sebelumnya, kami telah beres mengurus surat-surat nikah di Jakarta, sebab KTP kami DKI Jakarta. Jadi, kami hanya membuat surat numpang nikah istilahnya. Alhamdulillah, proses berjalan mudah dan lancar tanpa hambatan apapun. Dengan demikian, kami hanya butuh menyerahkan berkas-berkas yang telah dibuat oleh pejabat KUA DKI Jakarta untuk dicatat di KUA Bantarkawung. Kami hanya disuruh melengkapi surat keterangan dokter dari puskesmas, yaitu suntik TT untuk calon kedua mempelai. Proses pencatatan beserta ongkos nikah telah kami selesaikan, selain itu barang-barang seserahan juga telah kami beli. Saatnya kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaan kami sembari menunggu momen terindah tanggal 12 Agustus 2014 tersebut, kenangku saat itu.


Fathoni, suami dari gadis Jipang bernama Ummi Khoirunnisa
Jakarta, 01 September 2014 

2 komentar

Aamiin... Terima kasih doanya. Sukses selalu...


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi