Oleh Fathoni Ahmad
Menarik sekali sekilas membaca profil singkat dia yang penuh dengan gebrakan positif selama memimpin Kota Solo. Apalagi menurut sumber internal pemerintah Solo, dia tidak mengambil gajinya sebagai Wali Kota. Tambah menarik buatku disaat banyak pejabat negeri ini berlomba-lomba memperkaya diri. Dia juga dikenal warga Solo sebagai pemimpin yang sangat merakyat dan sederhana. Tentu hal ini tambah menarik perhatianku disaat banyak pamong negeri ini bergaya hidup elitis dan hedonis.
Klimaksnya
ketika namanya terus menjadi media
darling saat dia diberi mandat dan dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta
berpasangan dengan Ir. Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok.
Pertimbangan partainya adalah berbagai prestasi dirinya di level nasional
maupun internasional sebagai seorang pejabat publik. Sebelum dicalonkan menjadi
Gubernur DKI, Jokowi telah meraih penghargaan yang sangat prestisius yaitu Wali
Kota terbaik ketiga sedunia oleh City Majors Foundation, sebab prestasi ini
belum pernah dicapai oleh orang Indonesia sebelumnya. Oleh sebab itu, dia
dinilai pantas untuk mengurus Kota Jakarta yang penuh dengan problematika
kehidupan. Baru tiga bulan dikenal oleh warga Jakarta melalui kampanye
blusukannya itu, warga Ibu Kota langsung terperangah, bukan karena rupa dan
wajahnya, melainkan karena program-programnya yang pro rakyat. Selain
itu, sebagai calon pejabat, dia tak canggung-canggung berbaur dengan siapapun,
mulai dari tukang sapu jalan hingga preman sekalipun.
Singkatnya,
Jokowi-Basuki yang diusung PDIP dan Partai Gerindra dengan mengusung tagline Jakarta
Baru memenangi Pilgub DKI putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 silam mengalahkan
lima pasangan calon lainnya. Tapi perjuangan belum berhenti, Jokowi-Basuki
masih harus menghadapi putaran kedua melawan
calon incumbent Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramly (Partai Demokrat) yang mendapatkan suara terbanyak kedua di putaran pertama.
Putaran kedua dilaksanakan pada 20 September 2012. Singkat cerita,
Jokowi-Basuki juga mampu mengungguli Fauzi-Nachrowi yang tak lain adalah putera
Betawi asli.
Aku
sendiri berdomisili di DKI sejak tahun 2008 setelah lulus SMA. Aku
merasakan dua kali Pilgub DKI. Aku pun merasakan saat DKI dipimpin oleh
Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Selama setahun merasakan kepemimpinan Jokowi
di DKI, aku betul-betul melihat sendiri perbedaan kinerja dan kepemimpinan
Jokowi dengan Gubernur-gubernur sebelumnya. Jokowi sudah terbiasa kerja detail.
Mulai dari birokrasi hingga warung nasi, gorong-gorong hingga pejabat bodong,
semua mendapat sentuhan perubahan Jokowi yang sangat futuristic. Akhirnya, aku pun bisa mengetahui profil, karakter, dan
kepemimpinannya lewat buku biografi Jokowi yang ditulis oleh Alberthine Endah
dengan judul ‘Jokowi: Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta’.
Rupanya,
dia menjadi semacam idola baru dalam nurani sosialku. Ingin sekali bertemu
dengannya, walau hanya sekadar bersalaman dengannya. Ternyata Allah mengabulkan
keinginanku, ketika Ibu Kota hendak menyambut malam tahun baru 2013, semua
warga Jakarta tumplek blek di
Bundaran Hotel Indonesia (HI), salah satu ikon pusat Kota Jakarta selain
Monumen Nasional (Monas), menunggu kedatangan sang penggagas Jakarta Baru. Aku
bersama dengan belahan jiwaku, Ummi Khoirunnisa sengaja hadir untuk meramaikan
kehadiran Jokowi. Kali ini kami tidak sengaja, ketika hendak menuju Air Mancur
Bundaran HI, tiba-tiba Jokowi muncul keluar dari pintu gerbang Wisma Nusantara
yang terletak tak jauh dari lokasi tersebut. Kejadian itu pas ketika kami telah
sampai di depan Wisma Nusantara setelah jalan kaki dari lampu merah Jl. Thamrin.
Akhirnya, kami berdua dengan mudah dapat menyalami Pak Jokowi. “Pak, selamat
malam,” sapa Ummi yang saat ini sudah menjadi istriku. “Malam,” jawab
Pak Jokowi dengan senyum khasnya sambil menyambut uluran tangan Ummi. Aku pun
sama dengan menyapa seperti itu. Kami bersyukur saat itu masih longgar, sebab
setelah kami bersalaman, orang-orang berdesak-desakan penuh dengan peluh agar
bisa sekadar bersalaman dengan DKI 1 ini.
Puncaknya
ketika aku bekerja untuk kantor berita Nahdlatul Ulama, NU Online sebagai
wartawan. Ketika itu, tanggal 14 Maret 2014, aku diminta oleh Ketua Umum
Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) Ibu Hj. Khofifah Indar
Parawansa melalui perwakilannya untuk meliput Audiensi dengan Jokowi di Balai
Kota Jakarta dalam rangka penyelenggaraan Rakernas dan Mukernas Muslimat NU
bulan Mei. Saat itu, Jokowi baru digadang-gadang menjadi capres dan masih
menjabat Gubernur DKI aktif. Aku bersama rombongan PP Muslimat NU berangkat dari
Kantor PBNU. Sebelumnya, aku memang meliput kegiatan Audiensi Bu Khofifah dan
jajaran pengurus lain dengan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj di Kantor PBNU.
Setelah
sampai di Balai Kota, aku dan rombongan Muslimat langsung menuju Pendopo Balai
Kota Jakarta. Aku diizinkan masuk oleh bagian protokol Gubernur karena dianggap
‘satu paket’ dengan Muslimat NU, sedangkan wartawan lain harus menunggu di luar
Pendopo. Sebuah kebanggaan, pikirku. Kami tak membutuhkan waktu lama untuk menunggu
kehadiran Jokowi menemui kami. Hanya sekitar 3 menit. Setelah bersalaman, kami
langsung dipersilakan masuk oleh Jokowi sendiri ke ruang pertemuan. Maksud dari
Audiensi ini yaitu Bu Khofifah meminta Jokowi untuk membuka acara Rakernas dan
Mukernas Muslimat NU sebagai yang empunya Jakarta. Banyak hal yang dibicarakan
oleh kedua tokoh tersebut mulai dari masalah kebangsaan dan kesejahteraan
rakyat.
Singkat
cerita, seusai menggelar pertemuan, sebelum pamit, Bu Khofifah dengan jajaran
pengurus lainnya mendokumentasikan pertemuan dengan berfoto bareng. Aku sendiri
sama sekali tidak berpikir untuk foto bareng Jokowi. Saat itu hanya seniorku,
yang merupakan pemberita website internal Muslimat NU, mas Millah yang meminta
aku untuk ‘menjepret’ dirinya bareng Jokowi. Namun, saat itu pula, gairahku
ingin foto bareng Jokowi muncul, sehingga aku pun meminta mas Milllah dengan
kameranya untuk memfotoku bareng dengan Jokowi. “Pak, maaf, saya ingin foto
bareng Bapak,” pintaku ke Jokowi. “Ya, silakan”, ujar Jokowi dengan ramah dan penuh senyum. Kebanggaan bisa foto bareng Jokowi berlanjut ketika dia
berhasil menjadi Presiden terpilih dengan Pak Jusuf Kalla (JK) sebagai wakilnya mengungguli
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pemilu tanggal 9 Juli 2014, setelah sebelumnya benar-benar
dicapreskan berdasar aspirasi rakyat Indonesia. Sebagai rakyat, tentu sebuah
kebanggaan tersendiri bisa berfoto bareng dengan Presidennya. Iya toh?
Fathoni,
Jurnalis Pemula di NU Online
Jakarta, ditulis tanggal 2 September 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi