Rabu, 03 September 2014

Satu Bingkai dengan Jokowi

Oleh Fathoni Ahmad

Ir. H. Joko Widodo, Presiden ke-7 RI saat ini (2014) hingga tahun 2019 mendatang adalah sosok yang aku tak pernah mengenalnya sama sekali. Bahkan ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Solo sekalipun. Pertama kali aku mengenalnya yaitu awal tahun 2012 ketika ia akan menguji mobil ESEMKA rakitan anak negeri ke Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP) Tangerang (ada cerita menarik ketika aku bersama teman-teman mahasiswa pada tahun 2011 diundang oleh H. Prabowo Subianto dalam acara sarasehannya di Istana Pak Prabowo di Bukit Hambalang, Bogor. Dalam sambutannya, Pak Prabowo memuji dan mengapresiasi karya anak negeri berupa mobil ESEMKA ini, sebab dia pun pernah mencoba mobil tersebut). Kembali tentang Jokowi hendak uji emisi ESEMKA, saat itu aku baca beritanya di Kompas media cetak. 


Menarik sekali sekilas membaca profil singkat dia yang penuh dengan gebrakan positif selama memimpin Kota Solo. Apalagi menurut sumber internal pemerintah Solo, dia tidak mengambil gajinya sebagai Wali Kota. Tambah menarik buatku disaat banyak pejabat negeri ini berlomba-lomba memperkaya diri. Dia juga dikenal warga Solo sebagai pemimpin yang sangat merakyat dan sederhana. Tentu hal ini tambah menarik perhatianku disaat banyak pamong negeri ini bergaya hidup elitis dan hedonis.

Klimaksnya ketika namanya terus menjadi media darling saat dia diberi mandat dan dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Ir. Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok. Pertimbangan partainya adalah berbagai prestasi dirinya di level nasional maupun internasional sebagai seorang pejabat publik. Sebelum dicalonkan menjadi Gubernur DKI, Jokowi telah meraih penghargaan yang sangat prestisius yaitu Wali Kota terbaik ketiga sedunia oleh City Majors Foundation, sebab prestasi ini belum pernah dicapai oleh orang Indonesia sebelumnya. Oleh sebab itu, dia dinilai pantas untuk mengurus Kota Jakarta yang penuh dengan problematika kehidupan. Baru tiga bulan dikenal oleh warga Jakarta melalui kampanye blusukannya itu, warga Ibu Kota langsung terperangah, bukan karena rupa dan wajahnya, melainkan karena program-programnya yang pro rakyat. Selain itu, sebagai calon pejabat, dia tak canggung-canggung berbaur dengan siapapun, mulai dari tukang sapu jalan hingga preman sekalipun.

Singkatnya, Jokowi-Basuki yang diusung PDIP dan Partai Gerindra dengan mengusung tagline Jakarta Baru memenangi Pilgub DKI putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 silam mengalahkan lima pasangan calon lainnya. Tapi perjuangan belum berhenti, Jokowi-Basuki masih harus menghadapi putaran kedua melawan  calon incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramly (Partai Demokrat) yang mendapatkan suara terbanyak kedua di putaran pertama. Putaran kedua dilaksanakan pada 20 September 2012. Singkat cerita, Jokowi-Basuki juga mampu mengungguli Fauzi-Nachrowi yang tak lain adalah putera Betawi asli.

Aku sendiri berdomisili di DKI sejak tahun 2008 setelah lulus SMA. Aku merasakan dua kali Pilgub DKI. Aku pun merasakan saat DKI dipimpin oleh Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Selama setahun merasakan kepemimpinan Jokowi di DKI, aku betul-betul melihat sendiri perbedaan kinerja dan kepemimpinan Jokowi dengan Gubernur-gubernur sebelumnya. Jokowi sudah terbiasa kerja detail. Mulai dari birokrasi hingga warung nasi, gorong-gorong hingga pejabat bodong, semua mendapat sentuhan perubahan Jokowi yang sangat futuristic. Akhirnya, aku pun bisa mengetahui profil, karakter, dan kepemimpinannya lewat buku biografi Jokowi yang ditulis oleh Alberthine Endah dengan judul ‘Jokowi: Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta’.

Rupanya, dia menjadi semacam idola baru dalam nurani sosialku. Ingin sekali bertemu dengannya, walau hanya sekadar bersalaman dengannya. Ternyata Allah mengabulkan keinginanku, ketika Ibu Kota hendak menyambut malam tahun baru 2013, semua warga Jakarta tumplek blek di Bundaran Hotel Indonesia (HI), salah satu ikon pusat Kota Jakarta selain Monumen Nasional (Monas), menunggu kedatangan sang penggagas Jakarta Baru. Aku bersama dengan belahan jiwaku, Ummi Khoirunnisa sengaja hadir untuk meramaikan kehadiran Jokowi. Kali ini kami tidak sengaja, ketika hendak menuju Air Mancur Bundaran HI, tiba-tiba Jokowi muncul keluar dari pintu gerbang Wisma Nusantara yang terletak tak jauh dari lokasi tersebut. Kejadian itu pas ketika kami telah sampai di depan Wisma Nusantara setelah jalan kaki dari lampu merah Jl. Thamrin. Akhirnya, kami berdua dengan mudah dapat menyalami Pak Jokowi. “Pak, selamat malam,” sapa Ummi yang saat ini sudah menjadi istriku. “Malam,” jawab Pak Jokowi dengan senyum khasnya sambil menyambut uluran tangan Ummi. Aku pun sama dengan menyapa seperti itu. Kami bersyukur saat itu masih longgar, sebab setelah kami bersalaman, orang-orang berdesak-desakan penuh dengan peluh agar bisa sekadar bersalaman dengan DKI 1 ini.

Puncaknya ketika aku bekerja untuk kantor berita Nahdlatul Ulama, NU Online sebagai wartawan. Ketika itu, tanggal 14 Maret 2014, aku diminta oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) Ibu Hj. Khofifah Indar Parawansa melalui perwakilannya untuk meliput Audiensi dengan Jokowi di Balai Kota Jakarta dalam rangka penyelenggaraan Rakernas dan Mukernas Muslimat NU bulan Mei. Saat itu, Jokowi baru digadang-gadang menjadi capres dan masih menjabat Gubernur DKI aktif. Aku bersama rombongan PP Muslimat NU berangkat dari Kantor PBNU. Sebelumnya, aku memang meliput kegiatan Audiensi Bu Khofifah dan jajaran pengurus lain dengan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj di Kantor PBNU.

Setelah sampai di Balai Kota, aku dan rombongan Muslimat langsung menuju Pendopo Balai Kota Jakarta. Aku diizinkan masuk oleh bagian protokol Gubernur karena dianggap ‘satu paket’ dengan Muslimat NU, sedangkan wartawan lain harus menunggu di luar Pendopo. Sebuah kebanggaan, pikirku. Kami tak membutuhkan waktu lama untuk menunggu kehadiran Jokowi menemui kami. Hanya sekitar 3 menit. Setelah bersalaman, kami langsung dipersilakan masuk oleh Jokowi sendiri ke ruang pertemuan. Maksud dari Audiensi ini yaitu Bu Khofifah meminta Jokowi untuk membuka acara Rakernas dan Mukernas Muslimat NU sebagai yang empunya Jakarta. Banyak hal yang dibicarakan oleh kedua tokoh tersebut mulai dari masalah kebangsaan dan kesejahteraan rakyat.

Singkat cerita, seusai menggelar pertemuan, sebelum pamit, Bu Khofifah dengan jajaran pengurus lainnya mendokumentasikan pertemuan dengan berfoto bareng. Aku sendiri sama sekali tidak berpikir untuk foto bareng Jokowi. Saat itu hanya seniorku, yang merupakan pemberita website internal Muslimat NU, mas Millah yang meminta aku untuk ‘menjepret’ dirinya bareng Jokowi. Namun, saat itu pula, gairahku ingin foto bareng Jokowi muncul, sehingga aku pun meminta mas Milllah dengan kameranya untuk memfotoku bareng dengan Jokowi. “Pak, maaf, saya ingin foto bareng Bapak,” pintaku ke Jokowi. “Ya, silakan”, ujar Jokowi dengan ramah dan penuh senyum. Kebanggaan bisa foto bareng Jokowi berlanjut ketika dia berhasil menjadi Presiden terpilih dengan Pak Jusuf Kalla (JK) sebagai wakilnya mengungguli Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pemilu tanggal 9 Juli 2014, setelah sebelumnya benar-benar dicapreskan berdasar aspirasi rakyat Indonesia. Sebagai rakyat, tentu sebuah kebanggaan tersendiri bisa berfoto bareng dengan Presidennya. Iya toh?


Fathoni, Jurnalis Pemula di NU Online  
Jakarta, ditulis tanggal 2 September 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi