Oleh Fathoni Ahmad
Orang Nusantara sejak dahulu dikenal sebagai orang-orang yang permisif dan terbuka terhadap kepercayaan atau keyakinan baru seperti halnya Islam yang datang ke wilayahnya. Tentu mereka sendiri mempunyai budaya dan tradisi sebelum tersendiri yang mengakar jauh sebelum agama monoteisme seperti Islam, dan lain-lain masuk.
Sikap permisif inilah yang
memunculkan percampuran antara budaya lokal asli dengan budaya Islam pada
umumnya sehingga mewujudkan apa yang disebut sinkretisme. Isme ini menurut Dr.
Sutiyono (2010) merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan
terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha
untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.
Seperti halnya Islam di
wilayah Kampung Sasak yang tinggal di Bayan daerah Lombok, NTB. Islam di sana
seperti dalam bukunya Erni Budiwanti ini ialah Islam Wetu Telu dan Waktu Lima
yang selama ini terjadi friksi. Wetu Telu
adalah orang sasak yang meskipun mengaku sebagai Muslim, namun masih sangat
percaya terhadap ketuhanan animistic leluhur (ancestral animistic deities) maupun benda-benda antropomorfis (anthropomorphized inanimate objects).
Menurut Budiwanti dalam hal ini mereka adalah panteis. Sebaliknya, Islam Waktu
Lima adalah orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran Syari’ah secara lebih
keras sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan Hadis.
Jika mengikuti pandangan
Geertz (1960), agama Wetu Telu lebih
mirip dengan islam abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima juga tidaklah seperti bentuk Islam santri.
Ada empat poin penting yang
diungkapkan oleh Erni Budiwanti dalam buku ini: pertama, buku ini bertujuan untuk menggambarkan watak Islam parochial
di Lombok dan bagaimana
pembagian-pembagian
social-keagamaan di kalangan orang Sasak yang terjadi dan berkembang sepanjang
waktu. Budiwanti juga menguraikan symbol-simbol dan sifat-sifat utama yang
memisahkan dua kelompok Sasak tersebut.
Kedua, buku ini memberikan suatu
catatan mengenai perkembangan misi dakwah, khususnya yang dilakukan di Bayan,
dan pengaruhnya terhadap struktur komunitas tersebut.
Ketiga, penelitian dalam buku ini
bertujuan untuk mengidentifikasi peran Negara berkaitan dengan pelestarian
budaya Wetu Telu di satu sisi, dan
promosi kegiatan-kegiatan dakwah Waktu
Lima ke daerah Wetu Telu di sisi
lain.
Keempat, studi ini juga bertujuan
untuk menganalisis karakteristik konflik sosia yang melibatkan para pemimpin
(tradisional) asli dan para da’i.
Dalam buku ini juga
mengemukakan penelitian sosiologis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde
dan Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak terdapat tiga
kelompok keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut
sebagai agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan
kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui
Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran
pencerahannya. Menurut Erni Budiwanti, agama Boda ditandai oleh
animisme dan panteisme . Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari
berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek Sasak Boda.
Selain itu, penganut Wetu Telu dalam buku ini juga dijelaskan
mengadakan ritual-ritual yang terkait dengan keyakinannya kepada Allah swt.
Ritual-ritual [upacara] yang terkait dengan kehidupan dinamakan gawe urip, yang
mencakup seluruh tahapan hidup manusia semenjak dilahirkan hingga menikah. Kemudian
warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu
Telu. Warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan
hari besar Islam, seperti : Rowah Wulan dan Sampet Jum’at, Maleman Qunut dan
Maleman Likuran, Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi, Lebaran Topat, Lebaran
Pendek, Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang, dan Maulud.
Judul : Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima
Penulis: Dr. Erni Budiwanti
Penerbit: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2000
ISBN : 979-8966-51-1
Tebal : 387 halaman
Peresensi: Fathoni
Jakarta, 17 Desember 2013
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi