Jumat, 18 April 2014

Institusi-Institusi Sosial Politik Islam Nusantara

Oleh Fathoni Ahmad

Kerajaan-kerajaan Islam telah menjamur di Nusantara sekitar abad ke-13 an. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang Sultan. Nama ini sesungguhnya berasal Turki pada zaman Khalifah Turki Usmani yang pemimpinnya banyak bergelar Sultan dan gelar tersebut tentu memang berada di bawah seorang Khalifah.

Dalam perkembangannya, kerajaan-kerajaan Islam membentuk sistem kenegaraan atau pemerintahan dari mulai sistem suksesi kepemimpinan, penunjukan demang, adipati, system pemungutan pajak, upah pekerja, penyiapan prajurit perang, strategi pertahanan, dan lain-lain. 

Setiap kerajaan berbeda-beda dalam membentuk peraturan secara institusional. Biasanya sebagian besar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara masih kental dengan system pemerintahan dinasti, yaitu turun-temurun.

Dalam membentuk tatanan ketatanegaraan yang baik, kerajaan-kerajaan di Nusantara membentuk semacam peraturan, undang-undang, mandat, dan lain-lain dalam mengatur pergantian kekuasaan dan pengangkatan adipati.

1.    Kerajaan Samudera Pasai

Kesultanan Pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.

Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.

Pembentukan awal

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhamm Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Relasi dan persaingan

Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.

Pemerintahan

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.

Akhir pemerintahan

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.


2.    Kerajaan Malaka
Malaka/Malaysia adalah salah satu wilayah negara yang memegang peranan strategis dalam pengembangan Islam di Asia Tenggara. Munculnya Islam di Malaysia berkat atas jasa para pedagang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan Islam dari negeri Arab melalui Malaka.

Sejarah Melaka bermula dengan pengasasan Kesultanan Melaka oleh Parameswara, seorang bangsawan Srivijaya dari Palembang, pada tahun antara 1400 hingga 1403. Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Srivijaya. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh puteranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putrra dari Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit.

Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya berpindah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan ufti yang diberikan Kekaisaran China menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut.

Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi seorang puteri dari Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 melaporkan bahawa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi Muslim. Pada 1414 Parameswara digantikan puteranya, Sultan Megat Iskandar Shah.

Megat Iskandar Shah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Sultan Muhammad Shah. Putera Sultan Muhammad Shah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, dilihat tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelaran Seri Parameswara Dewa Shah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat kerana terbunuh pada 1445, masyarakat Melaka menggelarnya Sultan Abu Syahid. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelaran Sultan Muzaffar Syah.

Di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar Shah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Tanah Melayu dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Inderagiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan oleh Melaka.

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik takhta pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.

Sultan Mansur Shah berkuasa sehingga baginda mangkat pada 1477. Baginda digantikan oleh puteranya Sultan Alauddin Riayat Shah. Sultan ini memerintah selama 11 tahun, saat baginda meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Shah.

Sultan Mahmud Shah memerintah Melaka sehingga tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang tentera Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Ogos 1511 dan berjaya ditawan pada 24 Ogos 1511. Sultan Mahmud Shah melarikan diri ke Bentan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis telah menghancurkan Bentan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, Sumatera, tempat dia meninggal dunia dua tahun kemudian. Puteranya Sultan Mudzaffar Shah I, Perak, kemudian menjadi Sultan Perak yang pertama, sedangkan puteranya yang lain Sultan Alauddin Riayat Shah II mendirikan kerajaan baru iaitu Johor. Kesultanan Melaka ini memerintah Melaka selama 110 tahun sehingga ditewas oleh pihak Portugis pada tahun 1511.

3.    Kerajaan Aceh
Kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Pada zaman itu pula kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan–kerajaan barat termasuk Inggris, Ottoman dan Belanda. Raja Aceh digelar Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur pelayaran perdagangan internasional pada masa itu.

Pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komo- diti dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara seperti lada, pala, cengkeh dan rempah-rempah laiinnya. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yg mereka singgahi di Asia Tenggara. Ramainya aktivitas pelayaran perdagangan melalui bandar – bandar perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh dalam segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya.

A.   Kehidupan Politik
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke 12, namun sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 M. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7 Masehi. Menurut sumber-sumber Cina Arab muslim di pesisir pantai Sumatera, Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada.

Hal ini Nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi,yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.

Islam terus menjadi institusi politik Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 Masehi. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah Kesultanann Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke- 16 di Jawa dan Sumatera.

Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.

Pada abad itu pula Aceh menjadi pencaturan politik dan perkembangan ekonomi, tidak saja dalam kawasan nusantara bahkan meluas ke asia tenggara, saat itu garis hubungan Kerajaan Aceh Darussalam mencakup Tiongkok, Korea, Amerika, Eropa, Timur Tengah,India dan Afrika. Banda Aceh sebagai pusat kota Politik dan pusat kebudayaan, betul-betul hidup dan bergejolak seiring terjadi plakat-plakat plitik, ekonomi, kebudayaan dan militer sering dikunjungi para wakil dan diplomat dari bebagai negara ( Muhammad Said, 1970 halaman251).


1. Sultan Ali Mughayat Syah
Sultan Alaidin Ali Mugahayat Syah adalah pendiri Kerajaan dan sultan Aceh pertama Kesultanan Aceh, bertahta dari tahun 1514 sampai tahun 1530. Tahun 1520 beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara pulau Sumatera. Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut didirikanlah banyak pelabuhan.

Sebelum kerajaan Aceh Darusalam berdiri, yang dikatakan sebagai kerajaan Aceh adalah wilayah yang sekarang disebut sebagai kota Banda Aceh dan Aceh besar. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Ayahanda dari Ali Mughaiyat Syah. Sedangkan wilayah-wilayah lainnya, mulai dari Pidie sampai ke Sumatra Utara merupakan kesatuan-kesatuan kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah, kerajaan Pedir (sekarang kabupaten Pidie), kerajaan daya (Aceh bagian barat daya), kerajaan Samudra Pase (sekarang kabupaten Aceh Utara, kota Lhoksemawe dan Bireun), kerajaan Peurelak (Aceh timur), kerajaan Teuming (Kuala Simpang) dan kerajaan Aru di Sumatra Utara. Pada periode sekitar tahun 913 H

/1511 M, kerajaan-kerajaan kecil tersebut pada umumnya telah terpengaruhi oleh kekuasaan Portugis. Tak senang dengan kehadiran Portugis yang mulai menguasai seluruh wilayah di ujung sumatra, Ali Mughaiyat Syah meminta Ayahandanya yang sudah tua untuk meletakkan jabatannya, dan selanjutnya kerajaan dipimpin oleh Mughaiyat Syah. Setelah Sultan Ali Mughaiyat Syah meninggal pada tanggal 7 Agustus tahun 1530 Masehi, atau tahun 936 H Kerajaan Aceh pada saat itu digantikan oleh, Sultan Salahuddin, putranya.


2. Sultan Salahuddin
Dalam sejarahKesultanan Aceh, Salahuddin merupakan Sultan Aceh kedua, yang berkuasa dari tahun 1530 sampai 1537 atau 1539 antara ( 945-6 H) Ia merupakan anak tertua dariSultan Mugayatsyah, sultan pertama Aceh selama menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Oleh karena itu, Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Masih belum jelas kapan ia diturunkan dari kekuasaannya. Apakah sebelum atau sesudah penyerangan yang gagal ke Kesultanan Malaka tahun 1537. Hoesein Djajadiningrat yakin bahwa kudeta berjalan dulu dan kemudian penyerangan dilakukan oleh Sultan Alauddin Al-Qahar11, sedangkan Lombard menempatkan kudeta, dua tahun setelah penyerangan, yang mana Lombard percaya dipimpin oleh Salahuddin sendiri.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar

Ia memerintah Aceh dari tahun 1537 – 1568 M. Dalam pemerintahannya belio juga melakukan berbagai bentuk perubahan-perubahan dan perbaikan dalam menjalankan pemerintahannya. Pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya seperti serangan terhadap Kerajaan Malaka namun penyerangan tersebut tidak berhasil ditaklukkan ( gagal ). yang berhasil taklukkan dan dikuasai adalah Kerajaan Aru, pada masa itu pula Kerajaan Aceh mengalami masa suram, karena sering terjadi

pemberontakan dan perebutan wilayah.


4. Sultan Iskandar Muda
Dalam hikayat Aceh. Menguraikan sejarah tentang Sultan Iskanda Muda. Pada mulanya ada seorang pangeran dari Lamuri yang bernama Munawar Syah, keturunan Iskandar Zulkarnain dari seorang” Putri berdarah Putih” perihkayangan, keturunan Maha Wisnu, Munawar Syah mendapat dua Putra: Syah Muhammad dan Syah Mahmud, mareka memperistrikan putri kahyangan ditempat ini teks tidak lengkap: lalu diteruskan dengan sesuatu yang dapat dianggap silsilah Iskandar.

Dari leluhur Ibu Iskandar Muda keturunan keluarga Raja Darul Kamal dan dari pihak leluhur ayah keturunan keluarga Raja Mahkota Alam. Darul Kamal dan Mahkota Alam merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannnya merupakan asal mula Aceh Darusssalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu maka berhak sepenuhnya menuntut tahta. Zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, dan Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangannya menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah – daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Mudajuga menolak permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat.

Selain itu, kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah – daerah seperti Aru, pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahannya Kerajaan Aceh memiliki Zona wilayah yang sangat luas. Sultan Iskandar Muda menganut agama Islam pada masa kekeuasaannya, para sufi ahli tasawwuf yang terkenal saat itu di Aceh ada 2 (dua) orang yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-Syamsi. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat pada tanggal 27 Desember tahun 1636 atau 29 Rajab tahun 1046 H Kemudian Sultan Iskandar Thani yang naik Tahta. Sultan Iskandar Thani adalah menantunya.


4.            Sultan Iskandar Thani

Sultan Iskandar Thani memerintah Aceh pada tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahan belio juga melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin ar-Raniri. Ia juga seorang penulis buku sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin AR-Raniri sangat di hormati oleh Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat pada tgl 15 Februari 1941 M atau tahun 1050 H. Kemudian tahta kerjaan diduduki oleh permaisurinya (Isteri Sultan Iskandar Thani ) yang digelar Sultan Putri Taj ul- Alam ( 1641-1675 M ).


B.   Kehidupan Ekonomi

Dalam kejayaannya, perekonomian Kerajaan Aceh bekembang pesat. Dearahnya yang subur banyak menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh daerah pantai timur dan barat Sumatera menambah beberapa daerah di Semenanjung Malaka menyebabkan bertambahnya badan ekspor penting. Aceh dapat berkuasa dari Selat Malaka yang merupakan jalan perdagang internasional. Selain bangsa Belanda dan Inggris, bangsa asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, India, Siam, Cina, Jepang, juga berdagang dgn Aceh. Barang–barang yang di ekspor Aceh seperti beras, lada  (dari Minagkabau ), rempah – rempah ( dari Maluku ).

Bahan impornya seperti kain dari Koromendal ( india ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina), minyak wangi ( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal – kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan pelayaran sampai Laut Merah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh sangat membutuhkan investasi besar. tetapi kemampuan investasi pemerintah terbatas. Untuk itu diperlukan investasi masyarakat, termasuk dunia usaha, baik dari dalam maupun luar negeri. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain adalah mengembangkan kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat menampung kegiatan ekonomi dan membuka pusat layanan informasi bisnis.

C.   Kehidupan Sosial

Menelusuri karakter sosial budaya orang Aceh sangat erat dan kaitannya dengan kondisi Aceh masa dahulu kita ketahui bahwa Aceh terdiri dari beberapa etnis yang bebeda antara lain Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan dan Pidie masing-masing mempunyai ragam kebudayaan yang sangat berbeda. Ketika kita berbicara tentang kondisi sosial budaya masyarakat Aceh secara tidak langsung juga berbicara tentang agama Islam artinya budaya masyarakat Aceh didalamnya sudah ada nilai-nilai keislamannya. Hal ini dikarnakan masyarakat sudah sejak duhulu telah dipengaruhi oleh agama Islam maka kebudayaanpun tidak mudah terlepas dari ajaran-ajaran Islam. Meningkatnya perkembangnya sisitem feodalisme & ajaran agama Islam di Aceh. Kaum bangsawan yg memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil, kaum ulama yang disebut teungku memegang peranan penting dalam agama.

Namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemu- dian melemahkan Aceh. Sejak berkuasanya kerajaan Perlak (abad ke- 12 Masehi s.d ke-13 Masehi) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan aliran Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah – daerah kekuasaan Aceh. Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fasnsuri yang di teruskan oleh muridnya yg bernama Syamsudin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Sunnah wal Jama’ah terus dikembangkan,ia Aceh beserta ajaran agama Islam.

D.  Kehidupan Budaya

Budaya adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.(Sumber: Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM ) Aceh dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang dahsyat bahkan terkesan sangat ”fanatik”. Syariat Islam dalam masyarakat Aceh tidak hanya dalam wacana akan tetapi juga dalam kesadaran aplikasi moral dalam seluruh masyarakat karna adat aceh sebagai aspek budaya juga bersumber dari nilai-nilai agama yang menjiwai kreasi budayanya (adat ngon agama lage zat ngon sifet . (T. Alfian dkk.. 1975 hal. 17).


Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas ini pun memiliki keragaman agama. Bila dikaji lebih dalam adat dan budaya Aceh yang bernuasa Islam masih banyak juga yang dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi hindu. Hal ini sebabkan sebelum Islam masuk ke Aceh hindu

sudah duluan berkembang di Aceh, ketika Islam masuk ke Aceh dihilangkan namun tradisinya masih banyak atau masih ada yang dipertahankan sampai sekarang ini. Menurut Zainuddin dalam tulisannya ” Aceh dalam Inskripsi dan lintasan sejarah”


4.    Kerajaan Banten
Beberapa tokoh pendiri agama Islam di Banten:
1. Fatahillah (mangkat pada tahun 1570)
2. Hasanuddin Sultan Banten I (1552 - 1570)
3. Pangeran Yusuf Sultan Banten II (1570 -1580)
4. Maulan Muhammad Sultan Banten III (1580 – 1596

Ketika kerajaan yang bercorak islam berdiri, pusat kekuasaan yang semula berada di Banten Girang dipindahkan ke Surasowan di Banten lama, dekat pantai. Pemindahan pusat kekuasaan ini dimaksudkan untuk mempermudah hubungan pesisir utara Jawa dengan Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Hindia. Penunjukan Surasowan sebagai ibukota kerajaan Banten dilakukan atas perintah Faletehan (Sunan Gunung Jati) kepada puteranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi raja Banten pertama.[2]

Fatahillah mangkat pada tahun 1570, sebagaimana telah dimaklumi di atas, seorang ulama muda anak Pasai yang turun dari Mekkah, telah datang

ke Demak dan berkhidmat kepada sultan Trenggono, sehingga diambil menjadi kepala perang untuk menaklukan Banten, atau Jawa Barat. Ulama muda itu bernama Syarif Hidayatullah, Sultan Maulana Nuruddin Ibrahim.

Untuk menyebarkan Islam di jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.

Dalam pada itu kemenangan Syarif Hidayatullah menaklukan kota Banten mendapat penghargaan tertinggi dari Sultan Trenggono, sehingga beliau diberi gelar Fatahillah. Portugis menyebutnya Faletehan.

kalau Fatahillah sebagai penguasa besar Jawa Barat, meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon, apatah lagi beliau masih mengakui bahwa dia memerintah masih di bawah naungan Demak, maka yang pantas disebut sultan Banten pertama adalah ialah Hasanuddin. Sangatlah maju Banten selama pemerintahan baginda selam 18 tahun lamanya. Pelabuhan Banten ramai didatangi saudagar- saudagar dari luar negeri. Setelah 18 tahun memerintah, maka mangkatlah baginda, kebetulan tahun mangkatnya bersamaan dengan mangkat ayahnya Fatahillah, tidak berapa bulan selisihnya, Yaitu di tahun 1570. Kedukaan yang dua kali menimpa rakyat Jawa Barat dalam satu tahun itu, menyebabkan bahwa setelah mangkat Sultan Hasanuddin diberi gelar ”Marhum Sabakingking”, dan makam baginda dinamai ”Sabakingking” artinya tempat duka cita.

Setelah Sultan Hasanuddin meninggal, Dan diganti oleh anaknya, Yusuf , sebagai raja Banten kedua (1570-1580). Ia memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Banten sampai jauh kepedalaman yang semula masih dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran, dan berhasil menduduki ibukotanya, yakni Pakuan. Yusuf memperluas bangunan masjid Agung dengan membuat serambi dan juga membangun masjid lain di Kasanyutan, sebelah selatan Banten lama.

Ketika Yusuf wafat, yang berhak naik tahta menggantikannya adalah puteranya yang bernama Maulana Muhamad. Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan muhammad masih di bawah umur , kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa agung ) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud Abdulkadir.

Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Dialah raja Banten pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.

Pada masa sultan Abulfath Abdulfath ini tejadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[3] Sebagai kota metropolitan sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke -19, Banten mengalami perkembangan jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang dibuat oleh Sultan Abul Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten berjumlah 31,848 jiwa.

Selama lebih dari tiga abad, Banten sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa asing yang berdagang di Banten pada saat itu antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu dan sebagainya. Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi komiditi di kota Banten adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas angin dari Cina, kaca, gading, batu permata dari India, tekstil, dan sebagainya.

Walaupun Banten berupa kerajaan Bahari, ternyata juga mengembangkan pertanian. Pertanian telah dikembangkan sejak Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir (1596-1651). Dengan dibangunnya sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).

Pada peta ikhtisar Banten lama dari tahun 1900 terdapat nama tempat yang menunjukkan adanya sebuah tempat kefakihan pada masa itu. Adanya tempat ini menunjukkan bahwa pada jaman kesultanan Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan dan mendapat prioritas utama. Dengan demikian, harapan terhadap para alim ulama begitu tinggi, walau Banten dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada waktu itu juga lahir seorang ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa, Banten, bernama Nawawi al Banteni. Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan luar negeri, antara lain di Mesir dan Beirut. Sampai sekarang semua buku tersebut masih dipelajari dan dibaca oleh umat islam, khususnya di Indonesia.

Banten, Kesultanan, sebuah pemerintahan islam di Banten berdiri sejak tahun 1527, pada mulanya, Banten merupakan daerah kekuasaan kerajaan Hindu Budha pajajaran, pada tahun 1527 Banten direbut oleh dan diperintah oleh Faletehan dari Demak. Sejak saat ini mulai berdiri pemerintahan islam di Banten, yang kelak menjadi kesultanan setelah Demak mengalami kemunduran.

Kesultanan Banten mulai meluas kekuasaannya dan mencapai kemajuan di bidang perdagangan sejak pemerintahan Hasanuddin. Ia memerintah Banten setelah kepindahan faletehan ke Cirebon pada tahun 1552. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf 1579-1580, Pajajaran ditaklukkan.

Sejak sebelum zaman islam, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja sunda (dari Pajajaran , atau mungkin sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda kuno, cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang islam disana.

Menurut sumber tradisional , penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros, penyebaran islam di

jawa barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.

5.    Kerajaan Mataram

Pusat Kebupatian Mataram iaah Kota Gede, dekat Jogja sekarang. Perhubungan Ki Gede Pamanahan secara pribadi amat rapat dengan Adiwijoyo, sehingga putera Ki Gede yang bernama Raden Bagus dan disebut juga Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar, diangkat oleh Panembahan Adiwijoyo menjadi anak angkat karena sangat disayanginya.

Pada tahun 1575 wafatlah Ki Gede Pamanahan. Tidak pelak lagi, segala jabatan ayahnya diberikannya kepada Raden Bagus oleh Sang Panembahan, menjadi Bupati untuk Mataram dan menjadi Kepala Prajurit Pengawal Pribadi Baginda. Akhirnya dinaikkan menjadi Panglima Perang seluruhnya, diberi gelar Senopati.

Memang Senopati ini seorang yang cerdik. Pandai benar dia melihat angin ketika itu. Turunan-turunan Sultan Trenggono di Demak masih merasa bahwa merekalah yang berhak menjadi Sultan, dan wajiblah kemegahan Demak sebagai pusat Islam dikembalikan ke Demak. Sebab itu, setelah Panembahan Adiwijoyo mangkat, dengan serta merta mengangkat Arya Pangiri menjadi Sultan Demak.

Sikap Demak yang demikian melapangkan siasat baru bagi Senopati. Kepada umum dia menyatakan bahwa dia tidak ingin jadi Sultan, tetapi dia hendak mengembalikan hak kepada yang empunya, yaitu Pangeran Banowo. Dengan terburu pula Arya Pangiri mengambil sepertiga sawah orang Pajang, lalu diserahkannya kepada orang Demak. Maka datanglah orang Pajang mengadu kepada Senopati dan memohonkan pertolongan mengambil pertolongan mengambil sawah itu. Waktu itulah dia melakukan tindakan yang sangat cerdik, apatah lagi ternyata bahwa Pangeran Banowo bukan pula seorang yang dapat menandingi tindakan dengan tindakan yang lebih cepat.

Setelah saingan utamanya Arya Pangiri itu tersingkir, dengan sendirinya Pangeran Banowo menjadi insaf bahwa keselamatan dirinya dan negerinya lebih baik mengaku tunduk saja kepada Senopati. Dengan sukarelanya sendiri akhirnya kesultanan Pajang dan segala alat kebesaran pusaka Majapahit dalam istana Pajang diserahkannya kepada Senopati, artinya sahlah kekuasaan pindah ke Mataram.

Jakarta, 24 Januari 2014


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi