Oleh Fathoni Ahmad
Kerajaan-kerajaan Islam telah menjamur di Nusantara sekitar abad ke-13 an. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang Sultan. Nama ini sesungguhnya berasal Turki pada zaman Khalifah Turki Usmani yang pemimpinnya banyak bergelar Sultan dan gelar tersebut tentu memang berada di bawah seorang Khalifah.
Kerajaan-kerajaan Islam telah menjamur di Nusantara sekitar abad ke-13 an. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang Sultan. Nama ini sesungguhnya berasal Turki pada zaman Khalifah Turki Usmani yang pemimpinnya banyak bergelar Sultan dan gelar tersebut tentu memang berada di bawah seorang Khalifah.
Dalam
perkembangannya, kerajaan-kerajaan Islam membentuk sistem kenegaraan atau
pemerintahan dari mulai sistem suksesi kepemimpinan, penunjukan demang,
adipati, system pemungutan pajak, upah pekerja, penyiapan prajurit perang,
strategi pertahanan, dan lain-lain.
Setiap
kerajaan berbeda-beda dalam membentuk peraturan secara institusional. Biasanya
sebagian besar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara masih kental dengan system
pemerintahan dinasti, yaitu turun-temurun.
Dalam
membentuk tatanan ketatanegaraan yang baik, kerajaan-kerajaan di Nusantara
membentuk semacam peraturan, undang-undang, mandat, dan lain-lain dalam
mengatur pergantian kekuasaan dan pengangkatan adipati.
1.
Kerajaan
Samudera Pasai
Kesultanan Pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam
yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum
begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan
sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai
menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,
dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas
dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan
ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar
tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah
(1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Pembentukan
awal
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai,
menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia
menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah
Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun
696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama
Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda,
namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali.
Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang
ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat
nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh
kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhamm Malik az-Zahir dari
perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai,
seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan
sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326
ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan
memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn
Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Selanjutnya pada masa pemerintahan
Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan
dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Relasi
dan persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit
dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan
memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki,
dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar
208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412.
Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya
seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur,
serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara
dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide.
Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri
(Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng
Cakra Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai
mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di
Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai
untuk menyampaikan berita tersebut.
Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai
terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng
Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak
memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan
kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti
kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang
bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya
menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar
kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat
istilah menteri syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak
sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga
beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan
bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai,
kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di
Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah
menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide
(Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu
Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur,
puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Akhir
pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan
Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan
perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan
kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang
sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah
Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
2.
Kerajaan
Malaka
Malaka/Malaysia
adalah salah satu wilayah negara yang memegang peranan strategis dalam
pengembangan Islam di Asia Tenggara. Munculnya Islam di Malaysia berkat atas
jasa para pedagang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan Islam
dari negeri Arab melalui Malaka.
Sejarah Melaka bermula dengan pengasasan Kesultanan
Melaka oleh Parameswara, seorang bangsawan Srivijaya dari Palembang, pada tahun
antara 1400 hingga 1403. Parameswara merupakan turunan ketiga
dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila
Utama), seorang penerus raja Srivijaya. Sang Nila Utama mendirikan Singapura
Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh puteranya
Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh
cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401,
Parameswara putrra dari Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah
mendapat penyerangan dari Majapahit.
Parameswara pada awalnya menjadi raja
di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan
Siam, yang memaksanya berpindah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat
Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada
Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan ufti yang diberikan
Kekaisaran China menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru
tersebut.
Parameswara kemudian menganut agama
Islam setelah menikahi seorang puteri dari Pasai. Laporan dari kunjungan
Laksamana Cheng Ho pada 1409 melaporkan bahawa pada saat itu Parameswara masih
berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi Muslim. Pada 1414
Parameswara digantikan puteranya, Sultan Megat Iskandar Shah.
Megat Iskandar Shah memerintah selama
10 tahun, dan digantikan oleh Sultan Muhammad Shah. Putera Sultan Muhammad Shah
yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, dilihat tidak menganut agama
Islam, dan mengambil gelaran Seri Parameswara Dewa Shah. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat kerana terbunuh pada 1445,
masyarakat Melaka menggelarnya Sultan Abu Syahid. Saudara seayahnya, Raja
Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelaran Sultan Muzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar
Shah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Tanah Melayu dan pantai timur
Sumatera (Kampar dan Inderagiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap
Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun
serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan oleh Melaka.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya
yang naik takhta pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah, Melaka menyerbu Kedah dan
Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi
dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua
pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Sultan Mansur Shah berkuasa sehingga
baginda mangkat pada 1477. Baginda digantikan oleh puteranya Sultan Alauddin
Riayat Shah. Sultan ini memerintah selama 11 tahun, saat baginda meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Shah.
Sultan Mahmud Shah memerintah Melaka sehingga
tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang tentera Portugis di bawah
pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Ogos 1511 dan berjaya
ditawan pada 24 Ogos 1511. Sultan Mahmud Shah melarikan diri ke Bentan dan
mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis telah menghancurkan
Bentan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, Sumatera, tempat dia
meninggal dunia dua tahun kemudian. Puteranya Sultan Mudzaffar Shah I, Perak, kemudian
menjadi Sultan Perak yang pertama, sedangkan puteranya yang lain Sultan
Alauddin Riayat Shah II mendirikan kerajaan baru iaitu Johor. Kesultanan Melaka ini memerintah
Melaka selama 110 tahun sehingga ditewas oleh pihak Portugis pada tahun 1511.
3.
Kerajaan
Aceh
Kekuasaan
Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa
paling gemilang, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa
kejayaannya. Pada zaman itu pula kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan
kerajaan–kerajaan barat termasuk Inggris, Ottoman dan Belanda. Raja Aceh
digelar Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Kerajaan Aceh berkembang
sebagai kerajaan Islam dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Perkembangan pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari
letak kerajaannya yang strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian utara dan
dekat jalur pelayaran perdagangan internasional pada masa itu.
Pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komo- diti dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara seperti lada, pala, cengkeh dan rempah-rempah laiinnya. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yg mereka singgahi di Asia Tenggara. Ramainya aktivitas pelayaran perdagangan melalui bandar – bandar perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh dalam segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya.
A.
Kehidupan Politik
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke 12, namun
sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 M. Saat itu sudah ada
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia
Barat sejak abad 7 Masehi. Menurut sumber-sumber Cina Arab muslim di pesisir pantai
Sumatera, Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada.
Hal ini Nampak pada Tahun 100 H (718
M) Raja Sriwijaya Jambi,yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah
Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da’i yang
bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah
keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam
kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua
sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus
yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada
anda hadiah, yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya
ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang
hukum-hukumnya.
Islam terus menjadi institusi politik
Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1
Muharram 225 H atau 12 November 839 Masehi. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate.
Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang
Muslim bernama Bayanullah Kesultanann Islam kemudian semikin menyebarkan
ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai
kepercayaan utama pada akhir abad ke- 16 di Jawa dan Sumatera.
Hanya
Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. di kepulauan-kepulauan di
timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad
ke-16 dan17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di
kepulauan-kepulauan tersebut.
Pada abad itu pula Aceh menjadi pencaturan politik dan perkembangan ekonomi,
tidak saja dalam kawasan nusantara bahkan meluas ke asia tenggara, saat itu
garis hubungan Kerajaan Aceh Darussalam mencakup Tiongkok, Korea, Amerika,
Eropa, Timur Tengah,India dan Afrika. Banda Aceh sebagai pusat kota Politik dan pusat kebudayaan, betul-betul hidup dan bergejolak seiring terjadi plakat-plakat
plitik, ekonomi, kebudayaan dan militer sering dikunjungi para wakil dan
diplomat dari bebagai negara ( Muhammad Said, 1970 halaman251).
1. Sultan Ali Mughayat Syah
Sultan
Alaidin Ali Mugahayat Syah adalah pendiri Kerajaan dan sultan Aceh pertama Kesultanan
Aceh, bertahta dari tahun 1514 sampai tahun 1530. Tahun 1520 beliau memulai
kampanye militernya untuk menguasai bagian utara pulau Sumatera. Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah
barat laut, yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya
melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah
dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut didirikanlah
banyak pelabuhan.
Sebelum kerajaan Aceh Darusalam berdiri, yang dikatakan sebagai kerajaan Aceh
adalah wilayah yang sekarang disebut sebagai kota Banda Aceh dan Aceh besar.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh Ayahanda dari Ali Mughaiyat Syah. Sedangkan
wilayah-wilayah lainnya, mulai dari Pidie sampai ke Sumatra Utara merupakan
kesatuan-kesatuan kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Kerajaan-kerajaan
tersebut adalah, kerajaan Pedir (sekarang kabupaten Pidie), kerajaan daya (Aceh
bagian barat daya), kerajaan Samudra Pase (sekarang kabupaten Aceh Utara, kota
Lhoksemawe dan Bireun), kerajaan Peurelak (Aceh timur), kerajaan Teuming (Kuala
Simpang) dan kerajaan Aru di Sumatra Utara. Pada periode sekitar tahun 913 H
/1511 M, kerajaan-kerajaan kecil tersebut pada umumnya telah terpengaruhi oleh
kekuasaan Portugis. Tak senang dengan kehadiran Portugis yang mulai menguasai
seluruh wilayah di ujung sumatra, Ali Mughaiyat Syah meminta Ayahandanya yang
sudah tua untuk meletakkan jabatannya, dan selanjutnya kerajaan dipimpin oleh
Mughaiyat Syah. Setelah Sultan Ali Mughaiyat Syah meninggal pada tanggal 7
Agustus tahun 1530 Masehi, atau tahun 936 H Kerajaan Aceh pada saat itu
digantikan oleh, Sultan Salahuddin, putranya.
2. Sultan Salahuddin
Dalam
sejarahKesultanan Aceh, Salahuddin merupakan Sultan Aceh kedua, yang berkuasa
dari tahun 1530 sampai 1537 atau 1539 antara ( 945-6 H) Ia merupakan anak
tertua dariSultan Mugayatsyah, sultan pertama Aceh selama menduduki tahta
kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan
mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Oleh karena itu,
Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah
al-Kahar. Masih belum jelas kapan ia diturunkan dari kekuasaannya. Apakah
sebelum atau sesudah penyerangan yang gagal ke Kesultanan Malaka tahun 1537.
Hoesein Djajadiningrat yakin bahwa kudeta berjalan dulu dan kemudian penyerangan
dilakukan oleh Sultan Alauddin Al-Qahar11, sedangkan Lombard menempatkan
kudeta, dua tahun setelah penyerangan, yang mana Lombard percaya dipimpin oleh
Salahuddin sendiri.
3. Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar
Ia memerintah Aceh dari tahun 1537 – 1568 M. Dalam pemerintahannya belio juga
melakukan berbagai bentuk perubahan-perubahan dan perbaikan dalam menjalankan
pemerintahannya. Pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh melakukan perluasan wilayah
kekuasaannya seperti serangan terhadap Kerajaan Malaka namun penyerangan
tersebut tidak berhasil ditaklukkan ( gagal ). yang berhasil taklukkan dan
dikuasai adalah Kerajaan Aru, pada masa itu pula Kerajaan Aceh mengalami masa
suram, karena sering terjadi
pemberontakan dan perebutan wilayah.
4. Sultan Iskandar Muda
Dalam
hikayat Aceh. Menguraikan sejarah tentang Sultan Iskanda Muda. Pada mulanya ada
seorang pangeran dari Lamuri yang bernama Munawar Syah, keturunan Iskandar
Zulkarnain dari seorang” Putri berdarah Putih” perihkayangan, keturunan Maha
Wisnu, Munawar Syah mendapat dua Putra: Syah Muhammad dan Syah Mahmud, mareka
memperistrikan putri kahyangan ditempat ini teks tidak lengkap: lalu diteruskan
dengan sesuatu yang dapat dianggap silsilah Iskandar.
Dari
leluhur Ibu Iskandar Muda keturunan keluarga Raja Darul Kamal dan dari pihak
leluhur ayah keturunan keluarga Raja Mahkota Alam. Darul Kamal dan Mahkota Alam
merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang
gabungannnya merupakan asal mula Aceh Darusssalam. Iskandar Muda seorang diri
mewakili kedua cabang itu maka berhak sepenuhnya menuntut tahta. Zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, dan Sultan
Iskandar Muda meneruskan perjuangannya menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di
Semenanjung Malaya untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan
menguasai daerah – daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Mudajuga menolak
permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian
barat.
Selain itu, kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah – daerah seperti
Aru, pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahannya
Kerajaan Aceh memiliki Zona wilayah yang sangat luas. Sultan Iskandar Muda
menganut agama Islam pada masa kekeuasaannya, para sufi ahli tasawwuf yang
terkenal saat itu di Aceh ada 2 (dua) orang yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah
as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-Syamsi. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat
pada tanggal 27 Desember tahun 1636 atau 29 Rajab tahun 1046 H Kemudian Sultan
Iskandar Thani yang naik Tahta. Sultan Iskandar Thani adalah menantunya.
4.
Sultan Iskandar Thani
Sultan Iskandar Thani memerintah Aceh pada tahun 1636 – 1641 M. Dalam
menjalankan pemerintahan belio juga melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan
Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, muncul seorang ulama besar yang
bernama Nuruddin ar-Raniri. Ia juga seorang penulis buku sejarah Aceh berjudul
Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin AR-Raniri sangat di hormati
oleh Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah
Sultan Iskandar Thani wafat pada tgl 15 Februari 1941 M atau tahun 1050 H. Kemudian tahta kerjaan diduduki oleh
permaisurinya (Isteri Sultan Iskandar Thani ) yang digelar Sultan Putri Taj ul-
Alam ( 1641-1675 M ).
B.
Kehidupan Ekonomi
Dalam kejayaannya, perekonomian Kerajaan Aceh bekembang pesat. Dearahnya yang
subur banyak menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh daerah pantai timur dan barat Sumatera
menambah beberapa daerah di Semenanjung Malaka menyebabkan bertambahnya badan
ekspor penting. Aceh dapat berkuasa dari Selat Malaka yang merupakan jalan
perdagang internasional. Selain bangsa Belanda dan Inggris, bangsa asing lainnya
seperti Arab, Persia, Turki, India, Siam, Cina, Jepang, juga berdagang dgn
Aceh. Barang–barang yang di ekspor Aceh seperti beras, lada (dari Minagkabau ), rempah – rempah ( dari
Maluku ).
Bahan impornya seperti kain dari Koromendal ( india ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina), minyak wangi ( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal – kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan pelayaran sampai Laut Merah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh sangat membutuhkan investasi besar. tetapi kemampuan investasi pemerintah terbatas. Untuk itu diperlukan investasi masyarakat, termasuk dunia usaha, baik dari dalam maupun luar negeri. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain adalah mengembangkan kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat menampung kegiatan ekonomi dan membuka pusat layanan informasi bisnis.
Bahan impornya seperti kain dari Koromendal ( india ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina), minyak wangi ( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal – kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan pelayaran sampai Laut Merah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh sangat membutuhkan investasi besar. tetapi kemampuan investasi pemerintah terbatas. Untuk itu diperlukan investasi masyarakat, termasuk dunia usaha, baik dari dalam maupun luar negeri. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain adalah mengembangkan kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat menampung kegiatan ekonomi dan membuka pusat layanan informasi bisnis.
C.
Kehidupan Sosial
Menelusuri
karakter sosial budaya orang Aceh sangat erat dan kaitannya dengan kondisi Aceh
masa dahulu kita ketahui bahwa Aceh terdiri dari beberapa etnis yang bebeda
antara lain Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tenggara, Aceh
Tengah, Aceh Selatan dan Pidie masing-masing mempunyai ragam kebudayaan yang
sangat berbeda. Ketika kita berbicara tentang kondisi sosial budaya masyarakat
Aceh secara tidak langsung juga berbicara tentang agama Islam artinya budaya
masyarakat Aceh didalamnya sudah ada nilai-nilai keislamannya. Hal ini
dikarnakan masyarakat sudah sejak duhulu telah dipengaruhi oleh agama Islam
maka kebudayaanpun tidak mudah terlepas dari ajaran-ajaran Islam. Meningkatnya
perkembangnya sisitem feodalisme & ajaran agama Islam di Aceh. Kaum
bangsawan yg memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil, kaum ulama yang disebut
teungku memegang peranan penting dalam agama.
Namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemu- dian melemahkan Aceh. Sejak berkuasanya kerajaan Perlak (abad ke- 12 Masehi s.d ke-13 Masehi) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan aliran Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah – daerah kekuasaan Aceh. Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fasnsuri yang di teruskan oleh muridnya yg bernama Syamsudin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Sunnah wal Jama’ah terus dikembangkan,ia Aceh beserta ajaran agama Islam.
Namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemu- dian melemahkan Aceh. Sejak berkuasanya kerajaan Perlak (abad ke- 12 Masehi s.d ke-13 Masehi) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan aliran Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah – daerah kekuasaan Aceh. Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fasnsuri yang di teruskan oleh muridnya yg bernama Syamsudin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Sunnah wal Jama’ah terus dikembangkan,ia Aceh beserta ajaran agama Islam.
D. Kehidupan Budaya
Budaya adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai
nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan
dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita,
pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.(Sumber: Drs.
Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM ) Aceh dikenal sebagai pemeluk agama
Islam yang dahsyat bahkan terkesan sangat ”fanatik”. Syariat Islam dalam
masyarakat Aceh tidak hanya dalam wacana akan tetapi juga dalam kesadaran aplikasi
moral dalam seluruh masyarakat karna adat aceh sebagai aspek budaya juga bersumber
dari nilai-nilai agama yang menjiwai kreasi budayanya (adat ngon agama lage zat
ngon sifet . (T. Alfian dkk.. 1975 hal. 17).
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan
ulama pun mendapat tempat yang terhormat. keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur
kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk
agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing.
Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas ini
pun memiliki keragaman agama. Bila dikaji lebih dalam adat dan budaya Aceh yang
bernuasa Islam masih banyak juga yang dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi
hindu. Hal ini sebabkan sebelum Islam masuk ke Aceh hindu
sudah duluan berkembang di Aceh, ketika Islam masuk ke Aceh dihilangkan namun
tradisinya masih banyak atau masih ada yang dipertahankan sampai sekarang ini.
Menurut Zainuddin dalam tulisannya ” Aceh dalam Inskripsi dan lintasan sejarah”
4.
Kerajaan Banten
Beberapa
tokoh pendiri agama Islam di Banten:
1. Fatahillah (mangkat pada tahun 1570)
2. Hasanuddin Sultan Banten I (1552 -
1570)
3. Pangeran Yusuf Sultan Banten II (1570
-1580)
4. Maulan Muhammad Sultan Banten III
(1580 – 1596
Ketika kerajaan yang bercorak islam
berdiri, pusat kekuasaan yang semula berada di Banten Girang dipindahkan ke
Surasowan di Banten lama, dekat pantai. Pemindahan pusat kekuasaan ini
dimaksudkan untuk mempermudah hubungan pesisir utara Jawa dengan Sumatra
melalui Selat Sunda dan Samudra Hindia. Penunjukan Surasowan sebagai ibukota
kerajaan Banten dilakukan atas perintah Faletehan (Sunan Gunung Jati) kepada
puteranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi raja Banten pertama.[2]
Fatahillah mangkat pada tahun 1570,
sebagaimana telah dimaklumi di atas, seorang ulama muda anak Pasai yang turun
dari Mekkah, telah datang
ke Demak dan berkhidmat kepada sultan
Trenggono, sehingga diambil menjadi kepala perang untuk menaklukan Banten, atau
Jawa Barat. Ulama muda itu bernama Syarif Hidayatullah, Sultan Maulana Nuruddin
Ibrahim.
Untuk menyebarkan Islam di jawa Barat,
langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang
sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota
pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.
Dalam pada itu kemenangan Syarif
Hidayatullah menaklukan kota Banten mendapat penghargaan tertinggi dari Sultan
Trenggono, sehingga beliau diberi gelar Fatahillah. Portugis menyebutnya
Faletehan.
kalau Fatahillah sebagai penguasa besar
Jawa Barat, meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon, apatah lagi beliau masih
mengakui bahwa dia memerintah masih di bawah naungan Demak, maka yang pantas
disebut sultan Banten pertama adalah ialah Hasanuddin. Sangatlah maju Banten
selama pemerintahan baginda selam 18 tahun lamanya. Pelabuhan Banten ramai
didatangi saudagar- saudagar dari luar negeri. Setelah 18 tahun memerintah,
maka mangkatlah baginda, kebetulan tahun mangkatnya bersamaan dengan mangkat
ayahnya Fatahillah, tidak berapa bulan selisihnya, Yaitu di tahun 1570.
Kedukaan yang dua kali menimpa rakyat Jawa Barat dalam satu tahun itu,
menyebabkan bahwa setelah mangkat Sultan Hasanuddin diberi gelar ”Marhum
Sabakingking”, dan makam baginda dinamai ”Sabakingking” artinya tempat duka
cita.
Setelah Sultan Hasanuddin meninggal, Dan
diganti oleh anaknya, Yusuf , sebagai raja Banten kedua (1570-1580). Ia
memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Banten sampai jauh kepedalaman yang
semula masih dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran, dan berhasil menduduki
ibukotanya, yakni Pakuan. Yusuf memperluas bangunan masjid Agung dengan membuat
serambi dan juga membangun masjid lain di Kasanyutan, sebelah selatan Banten
lama.
Ketika Yusuf wafat, yang berhak naik
tahta menggantikannya adalah puteranya yang bernama Maulana Muhamad. Setelah
Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang
masih muda belia. Selama Sultan muhammad masih di bawah umur , kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa agung ) bersama empat
pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan serangan terhadap
raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596. Ia meninggalkan
seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara
langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan
seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada
tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Dialah raja Banten pertama dengan
gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh
cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.
Pada masa sultan Abulfath Abdulfath ini
tejadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan
disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[3] Sebagai kota metropolitan
sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke -19, Banten mengalami perkembangan
jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang dibuat oleh Sultan Abul
Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten berjumlah 31,848 jiwa.
Selama lebih dari tiga abad, Banten
sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat persinggahan dan transaksi
perdagangan internasional. Bangsa asing yang berdagang di Banten pada saat itu
antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu dan sebagainya.
Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi komiditi di kota Banten
adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas angin dari Cina, kaca,
gading, batu permata dari India, tekstil, dan sebagainya.
Walaupun Banten berupa kerajaan Bahari,
ternyata juga mengembangkan pertanian. Pertanian telah dikembangkan sejak
Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir (1596-1651). Dengan dibangunnya
sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Pada peta ikhtisar Banten lama dari
tahun 1900 terdapat nama tempat yang menunjukkan adanya sebuah tempat kefakihan
pada masa itu. Adanya tempat ini menunjukkan bahwa pada jaman kesultanan
Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan dan mendapat prioritas utama. Dengan
demikian, harapan terhadap para alim ulama begitu tinggi, walau Banten
dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada waktu itu juga lahir seorang
ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa, Banten, bernama Nawawi al
Banteni. Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan luar negeri, antara lain
di Mesir dan Beirut. Sampai sekarang semua buku tersebut masih dipelajari dan
dibaca oleh umat islam, khususnya di Indonesia.
Banten, Kesultanan, sebuah pemerintahan
islam di Banten berdiri sejak tahun 1527, pada mulanya, Banten merupakan daerah
kekuasaan kerajaan Hindu Budha pajajaran, pada tahun 1527 Banten direbut oleh
dan diperintah oleh Faletehan dari Demak. Sejak saat ini mulai berdiri
pemerintahan islam di Banten, yang kelak menjadi kesultanan setelah Demak mengalami
kemunduran.
Kesultanan Banten mulai meluas
kekuasaannya dan mencapai kemajuan di bidang perdagangan sejak pemerintahan
Hasanuddin. Ia memerintah Banten setelah kepindahan faletehan ke Cirebon pada
tahun 1552. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf 1579-1580, Pajajaran
ditaklukkan.
Sejak sebelum zaman islam, ketika masih
berada di bawah kekuasaan raja-raja sunda (dari Pajajaran , atau mungkin
sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda kuno,
cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten Girang. Nama ini dapat
dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung barat pantai utara Jawa.
Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi
pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang islam
disana.
Menurut sumber tradisional , penguasa
Pajajaran di Banten menerima Sunan gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik
masuk islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Dengan segera
ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara jawa yang
memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros, penyebaran islam di
jawa barat tidak melalui jalan damai,
sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin
terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan
menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.
5.
Kerajaan
Mataram
Pusat
Kebupatian Mataram iaah Kota Gede, dekat Jogja sekarang. Perhubungan Ki Gede
Pamanahan secara pribadi amat rapat dengan Adiwijoyo, sehingga putera Ki Gede
yang bernama Raden Bagus dan disebut juga Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar,
diangkat oleh Panembahan Adiwijoyo menjadi anak angkat karena sangat
disayanginya.
Pada
tahun 1575 wafatlah Ki Gede Pamanahan. Tidak pelak lagi, segala jabatan ayahnya
diberikannya kepada Raden Bagus oleh Sang Panembahan, menjadi Bupati untuk
Mataram dan menjadi Kepala Prajurit Pengawal Pribadi Baginda. Akhirnya
dinaikkan menjadi Panglima Perang seluruhnya, diberi gelar Senopati.
Memang
Senopati ini seorang yang cerdik. Pandai benar dia melihat angin ketika itu.
Turunan-turunan Sultan Trenggono di Demak masih merasa bahwa merekalah yang
berhak menjadi Sultan, dan wajiblah kemegahan Demak sebagai pusat Islam
dikembalikan ke Demak. Sebab itu, setelah Panembahan Adiwijoyo mangkat, dengan
serta merta mengangkat Arya Pangiri menjadi Sultan Demak.
Sikap
Demak yang demikian melapangkan siasat baru bagi Senopati. Kepada umum dia
menyatakan bahwa dia tidak ingin jadi Sultan, tetapi dia hendak mengembalikan
hak kepada yang empunya, yaitu Pangeran Banowo. Dengan terburu pula Arya
Pangiri mengambil sepertiga sawah orang Pajang, lalu diserahkannya kepada orang
Demak. Maka datanglah orang Pajang mengadu kepada Senopati dan memohonkan
pertolongan mengambil pertolongan mengambil sawah itu. Waktu itulah dia
melakukan tindakan yang sangat cerdik, apatah lagi ternyata bahwa Pangeran
Banowo bukan pula seorang yang dapat menandingi tindakan dengan tindakan yang
lebih cepat.
Setelah
saingan utamanya Arya Pangiri itu tersingkir, dengan sendirinya Pangeran Banowo
menjadi insaf bahwa keselamatan dirinya dan negerinya lebih baik mengaku tunduk
saja kepada Senopati. Dengan sukarelanya sendiri akhirnya kesultanan Pajang dan
segala alat kebesaran pusaka Majapahit dalam istana Pajang diserahkannya kepada
Senopati, artinya sahlah kekuasaan pindah ke Mataram.
Jakarta, 24 Januari 2014
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi