Oleh Ummi Khoirunnisa
Dalam peribahasa Jawa, ditulung mentung, demikian ditegaskan
Gus Dur atas perilaku eks Tapol yang menuduh dan mensomasi perlawanan Banser
dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) serta pihak militer (TNI) yang dianggap melakukan
kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang PKI dalam rentang waktu antara tahun
1948-1965.
Sesungguhnya bukan karakter Gus Dur menunjukkan kebaikan-kebaikan dirinya
atau komunitasnya. Namun, hal ini terpaksa dikemukakan oleh Gus Dur sebab NU
justru berusaha menyelamatkan akidah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dari pemebrontakan, bughot atau sikap
subversif PKI sendiri yang diikuti serangkaian teror, ancaman dan penyerangan
serta pembantaian sehingga mau tidak mau semua pihak melakukan perlawanan.
Pemberontakan secara brutal oleh PKI memakan banyak korban tidak hanya dari
pihak PKI, tetapi juga dari pihak TNI, sipil, dan kiai-kiai Pesantren.
Selain itu, Gus Dur juga mengungkapkan
demikian karena faktanya banyak dari Kiai NU yang berbesar hati dengan merawat,
membesarkan dan mendidik anak-anak korban serangkaian konflik horisontal yang
telah terjadi, bahkan sebagian diantara mereka telah menjadi pegawai negeri
sipil (PNS) dan berperan di banyak bidang.
Atas sebagian dasar itulah buku
Benturan NU-PKI 1948-1965 diluncurkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) yang ditulis oleh H. Abdul Mun’im DZ untuk menjawab berbagai tuduhan PKI
terhadap NU dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Buku ini juga mengungkapkan adanya
dramatisasi jumlah korban dalam beberapa sejarah yang ada. Dari sekitar belasan
atau puluhan ribu menjadi ratusan ribu, bahkan peneliti barat mengasumsikan
jumlah korban menyentuh angka hingga satu juta orang (hal. 14).
Beberapa tulisan yang diterbitkan dan
di jual bebas memang sengaja memilih asumsi angka korban paling besar agar
memunculkan efek spektakuler. Hingga saat ini, jumlah dibiarkan simpang siur
dan masyarakat barat heboh dengan ulah para peneliti mereka sendiri.
Penulis dan tim peneliti buku Benturan
NU-PKI 1948-1965 ini telah melakukan penelusuran dan mengungkapkan adanya
proses dramatisasi jumlah korban itu. Bahkan di daerah yang menjadi basis PKI,
asumsi jumlah korban yang dimunculkan itu lebih banyak dari jumlah penduduk yang
terdata waktu itu.
Ironisnya, sebagai sebuah tragedi yang
didalangi PKI sendiri, penelitian korban oleh para orientalis secara
kuantitatif hanya cenderung kepada pihak PKI dengan menafikan korban dari
kalangan NU dan umat Islam pada umumnya. Jelas hal ini menggiring asumsi publik
bahkan PBB ikut terprovokasi bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan kepada PKI
sehingga menuduh TNI dan NU sebagai penjagal dan menuntut meminta maaf serta
mengajukan ke pengadilan internasional.
Secara historiografi, penelitian ini
sudah mengalami penyimpangan (deviasi)
karena sudut pandang orientalis menempatkan PKI sebagai korban. Padahal
masyarakat Indonesia pada umumnya meyakini bahwa PKI adalah pemberontak dengan
tujuan mengkomuniskan Indonesia. Bagaimana hasil penelitian semacam ini
dianggap ilmiah?! Sehingga PBB dan aktivis-aktivis LSM menuntut NU dan TNI untuk
meminta maaf. Bahkan kemudian dipaksa melakukan rekonsiliasi.
Bagi penulis resensi ini sendiri hal
itu sangat lucu, NU itu cinta damai, apalagi kiai-kiai, pesantren, dan warga NU
pada umumnya yang tidak bersalah menjadi korban keganasan PKI. Artinya, tanpa
disuruh pun, sebagai tanggung jawab sosial kemanusiaan, NU telah menyantuni
para korban dari pihak PKI, termasuk anak cucunya yang terlantar. Hal inilah
yang akhirnya menghasilkan rekonsiliasi ilmiah dalam istilah penulis buku ini,
dan rekonsiliasi dari berbagai aspek pun telah dilakukan.
Selain itu, NU dituduh sebagai alat
TNI. NU paham betul tugas dan kewenangan TNI dalam menjaga keamanan nasional.
Oleh sebab itu, NU selalu melakukan koordinasi dengan TNI untuk menjaga
keamanan nasional dari pemberontakan (bughot)
PKI. Langkah koordinasi inilah yang dianggap, NU adalah alat TNI oleh aktivis
dan keturunan PKI.
Selain itu, buku setebal 239 halaman
ini mengetahkan rangkaian peristiwa bagaimana PKI melakukan propaganda,
memprovokasi, meneror, dan menyerang NU serta pesantren. Dideskripsikan pula
bagaimana NU dan pesantren mempertahankan diri, menyerang balik, dan menangkap
mereka yang bersalah dengan menyerahkan kepada aparat keamanan, baik polisi,
TNI, maupun kejaksanaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Kalaupun terjadi pembunuhan biasanya itu terjadi dalam posisi perang atau
bentrokan massal atau bertarung satu lawan satu.
Dalam buku ini juga dikemukakan
pelurusan tentang permintaan maaf Gus Dur terhadap para korban G30S/PKI yang
mengalami kesalahpahaman. Artinya dipahami secara salah. Selain itu, juga
megungkapkan sikap NU terhadap propaganda PKI dewasa ini.
Akhirnya, sesuai dengan endorsement KH. Miftakhul Akhyar, Rais
Syuriah PWNU Jawa Timur dalam buku ini, bahwa penulisannya sudah jelas dan
proporsional, buku ini sangat penting buat pegangan bagi warga NU dalam
menjawab berbagai tuduhan (oleh PKI, pen.)
yang dialamatkan kepada para Kiai.
Judul : Benturan NU-PKI 1948-1965
Penulis : H. Abdul Mun’im DZ
Penerbit :
Langgar Swadaya, Depok
Cetakan : II, Maret 2014
Tebal : xvi + 239 halaman
Peresensi : Ummi Khoirunnisa, Nahdliyyin Kabupaten
Brebes
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi