Rabu, 12 Agustus 2015

1st Anniversary: Tahun Pertama yang Luar Biasa

Oleh: Fathoni Ahmad

Tepat 12 Agustus 2015 ini, usia pernikahanku dengan Istriku Ummi Khoirunnisa genap satu tahun. Tak bisa kuceritakan rasanya seperti apa. Yang jelas, pernikahan bagi kaum yang masih jomblo di usia yang sudah saatnya menjadi sangat berharga. Aku sendiri sangat bersyukur mendapatkan istri yang sangat baik hatinya seperti dia meski aku sendiri sering membuatnya kesal. Tepatnya, rasa sama-sama kesal, juga sering menginggapi rumah tangga kami.

Tapi kami selalu berusaha menjadikan gegeran yang umumnya menjadi bumbu kehidupan rumah tangga menjadi ger-geran dengan selalu mencari sisi humornya dari setiap permaslahan yang ada. Itulah yang diajarkan oleh para pendahulu kita. Bagaimana mejaga keharmonisan rumah tangga. Sebenarnya filosofinya simpel, cuma terkadang implementasinya tidak seperti yang kita bayangkan, ‘Hidup itu terlalu lurus ya jangan, terlalu bengkok ya nggak elok. Harus berusaha ada di tengah-tengah agar dapat memahami kehidupan secara menyeluruh’.

Selama satu tahun, kami sebagai keluarga pemula tidak mau hanya mengharapkan kebahagiaan, namun menjemput kebahagiaan. Artinya, kebahagiaan tak akan datang jika kita hanya mengharapkannya. Kitalah yang harus menjemputnya sehingga rasa membangun rumah tanggapun akan sangat menempel di hati dan perasaan, itulah pelajaran hidup yang terus-menerus kami pahami setiap hari.

Tak mudah, memang demikian adanya. Bahkan tulisan yang mungkin cenderung menggurui ini hanya bisa aku tulis, tapi aku pun berusaha mendalaminya, dari kata-kata menjadi sebuah praksis kehidupan. Kehidupan rumah tangga, yang untuk menaikinya, kita membutuhkan tenaga untuk mencapai tangga paling atas. Bahkan kita terkadang bercucuran keringat di tengah capeknya menggalang masa depan sehingga kerap yang terjadi hanyalah ke-mangkel-an.

Harapan sebuah rumah tangga tentu sebuah kemapanan dan kesejahteraan yang sering diimpi-impikan setiap keluarga. Namun sesungguhnya, kami berusaha menerjemahkan kemapanan itu sebagai sebuah energi batin. Sehingga tak jarang kami hanya menerjemahkan kemapanan dan kesejahteraan dalam rumah tangga sebagai sebuah senyuman yang selalu tersungging di tengah konflik. Bagaimana mungkin? Ya, kami hanya berpikir dengan selalu berusaha tersenyum, maka satu langkah untuk menjemput yang namanya kebahagiaan telah kami lalui. Aku pikir tak akan ada yang membantah jika energi kehidupan berawal dari kebahagiaan yang berasal dari sunggingan senyum.

Sekali lagi hal ini tidak mudah. Karena aku hanya berusaha menuliskan kata-kata yang seiring dengan waktu kuupayakan menjadi sebuah realitas. Perlu diingat, sedari awal Allah SWT, Tuhan kita hanya menurunkan teks-teks dalam bentuk wahyu yang terkodifikasi dalam mushaf Al-Qur’an. Kitalah yang harus menerjemahkan teks-teks tersebut sehingga menjadi kontekstual di dalam realitas kehidupan. Tentu hanya teks-teks tertentu, karena ada sejumlah teks yang hanya kita perlu laksanakan tanpa penafsiran apapun.

Melihat kehidupan rumah tangga adalah menerjemahkan teks dari kontekstualisasi yang bersliweran setiap hari. Artinya, pahitnya kehidupan rumah tangga juga bisa kita terjemahkan sebagai bumbu penyedap rasa tergantung dari sisi positif mana yang kita ambil. Itulah teks-teks yang berusaha aku pahami selama setahun pernikahanku.

Dan alhamdulillah, tak sampai setahun kebahagiaan keluargaku semakin lengkap dengan hadirnya si buah hati yang sekarang hampir mencapai tujuh bulan di kandungan istriku. Kebahagiaan ini akan selalu kami lengkapi dengan mewujudkan keluarga besar yang penuh dengan sunggingan senyum, kebesaran hati, dan kesabaran jiwa. Selama setahun ini, aku dan istriku merasakan berkah yang melimpah, selama setahun ini, kami mersakan pahit, manis, asam, pedas, dan lain-lain yang sesungguhnya kami ciptakan sendiri.

Kampung halaman yang indah selalu memotivasi keluargaku, bahwa kebersamaan adalah segala-galanya dalam rangka menciptakan harta yang paling berharga. Dari sini kupahami, bahwa inti dari awal pernikahan bukan hanya membangun keluarga, tetapi juga menyambungkan satu keluarga dengan keluarga lain yang masing-masing keluarga tersebut mempunyai keluarga.

Akhirnya, dalam kesempatan ini, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada istriku yang dengan sabar mengurus dan merawatku dengan kesabaran, kehalusan, dan ketekunan. Aku juga ingin meminta maaf atas segala perilakuku yang tidak mencerminkan seorang pemimpin keluarga. Tetapi yakinlah, sebagai manusia, suamimu ini selalu sadar untuk berbuat lebih baik dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi dan berlalu. Oleh karena itu, nostalgia kekeliruan masa lalu terkadang tak perlu sehingga kita hanya perlu merumuskan solusi yang solutif. Dengan cara seperti itulah, setiap persoalan akan tercairkan tanpa harus melupakannya agar menjadi pelajaran kehidupan.

Kuucapkan, selamat ulang tahun ke-1 untuk pernikahan kita, istriku. Semoga bangunan Sakinah, Mawaddah wa Rahmah makin kokoh di dalam sendi-sendi kahidupan lahir dan batin kita untuk kebermanfaatan bersama. Untuk Dedek bayi kami yang masih berumur hampir 7 bulan di dalam kandungan, selalu sehat ya Nak, kami menunggu hadirnya kehebatanmu di dunia ini. ***


Jakarta, 12 Agustus 2015


Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi