Oleh: Fathoni
Ahmad
Tepat 12
Agustus 2015 ini, usia pernikahanku dengan Istriku Ummi Khoirunnisa genap satu
tahun. Tak bisa kuceritakan rasanya seperti apa. Yang jelas, pernikahan bagi
kaum yang masih jomblo di usia yang sudah saatnya menjadi sangat berharga. Aku
sendiri sangat bersyukur mendapatkan istri yang sangat baik hatinya seperti dia
meski aku sendiri sering membuatnya kesal. Tepatnya, rasa sama-sama kesal, juga
sering menginggapi rumah tangga kami.
Tapi kami
selalu berusaha menjadikan gegeran yang umumnya menjadi bumbu kehidupan rumah
tangga menjadi ger-geran dengan selalu mencari sisi humornya dari setiap
permaslahan yang ada. Itulah yang diajarkan oleh para pendahulu kita. Bagaimana
mejaga keharmonisan rumah tangga. Sebenarnya filosofinya simpel, cuma terkadang
implementasinya tidak seperti yang kita bayangkan, ‘Hidup itu terlalu lurus ya
jangan, terlalu bengkok ya nggak elok. Harus berusaha ada di tengah-tengah agar
dapat memahami kehidupan secara menyeluruh’.
Selama satu
tahun, kami sebagai keluarga pemula tidak mau hanya mengharapkan kebahagiaan,
namun menjemput kebahagiaan. Artinya, kebahagiaan tak akan datang jika kita
hanya mengharapkannya. Kitalah yang harus menjemputnya sehingga rasa membangun
rumah tanggapun akan sangat menempel di hati dan perasaan, itulah pelajaran
hidup yang terus-menerus kami pahami setiap hari.
Tak mudah,
memang demikian adanya. Bahkan tulisan yang mungkin cenderung menggurui ini
hanya bisa aku tulis, tapi aku pun berusaha mendalaminya, dari kata-kata
menjadi sebuah praksis kehidupan. Kehidupan rumah tangga, yang untuk
menaikinya, kita membutuhkan tenaga untuk mencapai tangga paling atas. Bahkan
kita terkadang bercucuran keringat di tengah capeknya menggalang masa depan
sehingga kerap yang terjadi hanyalah ke-mangkel-an.
Harapan
sebuah rumah tangga tentu sebuah kemapanan dan kesejahteraan yang sering
diimpi-impikan setiap keluarga. Namun sesungguhnya, kami berusaha menerjemahkan
kemapanan itu sebagai sebuah energi batin. Sehingga tak jarang kami hanya
menerjemahkan kemapanan dan kesejahteraan dalam rumah tangga sebagai sebuah
senyuman yang selalu tersungging di tengah konflik. Bagaimana mungkin? Ya, kami
hanya berpikir dengan selalu berusaha tersenyum, maka satu langkah untuk
menjemput yang namanya kebahagiaan telah kami lalui. Aku pikir tak akan ada
yang membantah jika energi kehidupan berawal dari kebahagiaan yang berasal dari
sunggingan senyum.
Sekali lagi
hal ini tidak mudah. Karena aku hanya berusaha menuliskan kata-kata yang
seiring dengan waktu kuupayakan menjadi sebuah realitas. Perlu diingat, sedari
awal Allah SWT, Tuhan kita hanya menurunkan teks-teks dalam bentuk wahyu yang
terkodifikasi dalam mushaf Al-Qur’an. Kitalah yang harus menerjemahkan
teks-teks tersebut sehingga menjadi kontekstual di dalam realitas kehidupan.
Tentu hanya teks-teks tertentu, karena ada sejumlah teks yang hanya kita perlu
laksanakan tanpa penafsiran apapun.
Melihat
kehidupan rumah tangga adalah menerjemahkan teks dari kontekstualisasi yang
bersliweran setiap hari. Artinya, pahitnya kehidupan rumah tangga juga bisa
kita terjemahkan sebagai bumbu penyedap rasa tergantung dari sisi positif mana
yang kita ambil. Itulah teks-teks yang berusaha aku pahami selama setahun
pernikahanku.
Dan
alhamdulillah, tak sampai setahun kebahagiaan keluargaku semakin lengkap dengan
hadirnya si buah hati yang sekarang hampir mencapai tujuh bulan di kandungan
istriku. Kebahagiaan ini akan selalu kami lengkapi dengan mewujudkan keluarga
besar yang penuh dengan sunggingan senyum, kebesaran hati, dan kesabaran jiwa.
Selama setahun ini, aku dan istriku merasakan berkah yang melimpah, selama
setahun ini, kami mersakan pahit, manis, asam, pedas, dan lain-lain yang
sesungguhnya kami ciptakan sendiri.
Kampung
halaman yang indah selalu memotivasi keluargaku, bahwa kebersamaan adalah
segala-galanya dalam rangka menciptakan harta yang paling berharga. Dari sini
kupahami, bahwa inti dari awal pernikahan bukan hanya membangun keluarga,
tetapi juga menyambungkan satu keluarga dengan keluarga lain yang masing-masing
keluarga tersebut mempunyai keluarga.
Akhirnya, dalam
kesempatan ini, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada istriku yang
dengan sabar mengurus dan merawatku dengan kesabaran, kehalusan, dan ketekunan.
Aku juga ingin meminta maaf atas segala perilakuku yang tidak mencerminkan
seorang pemimpin keluarga. Tetapi yakinlah, sebagai manusia, suamimu ini selalu
sadar untuk berbuat lebih baik dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi dan
berlalu. Oleh karena itu, nostalgia kekeliruan masa lalu terkadang tak perlu
sehingga kita hanya perlu merumuskan solusi yang solutif. Dengan cara seperti
itulah, setiap persoalan akan tercairkan tanpa harus melupakannya agar menjadi
pelajaran kehidupan.
Kuucapkan, selamat
ulang tahun ke-1 untuk pernikahan kita, istriku. Semoga bangunan Sakinah,
Mawaddah wa Rahmah makin kokoh di dalam sendi-sendi kahidupan lahir dan batin
kita untuk kebermanfaatan bersama. Untuk Dedek bayi kami yang masih berumur
hampir 7 bulan di dalam kandungan, selalu sehat ya Nak, kami menunggu hadirnya
kehebatanmu di dunia ini. ***
Jakarta, 12
Agustus 2015
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi