Oleh Fathoni Ahmad
Anak pertamaku ini lahir tanggal 25 Oktober 2015 di Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Aku sangat bersyukur karena istriku, Ummi Khoirunnisa melahirkan dengan normal. Dua-duanya pun dalam kondisi sehat. Tak bisa dipungkiri, kondisi normal tersebut tercapai karena usaha spiritual yang tidak bisa kami tinggalkan sebagai makhluk Tuhan selain ikhtiar mental maupun material. Semua ikhtiar tersebut penting untuk menciptakan kondisi ideal saat melahirkan tiba.
Enam hari sejak kelahiran, Jumat (30/10/2015) anakku “puput”. Puput merupakan kondisi dimana tali pusar telah putus sehingga bayi sudah lazim untuk di-slameti sekaligus memberikan nama secara ‘resmi’. Memberikan nama adalah salah satu tahapan yang mestinya sudah dipersiapkan oleh orang tua sehingga saat waktunya tiba, orang tua tidak bingung dengan pemberian nama kepada bayi.
Namun demikian, ilmu dan masukan untuk memberi nama perlu juga dilakukan oleh orang tua kepada para kiai atau orang ‘alim lain. Selain mendapatkan nama dengan makna bagus, hal ini juga dilakukan agar nama yang disematkan kepada bayi mendatangkan keberkahan untuk orang tuanya.
Misal, seperti masukan teman karibku, Muhammad Yusuf Ismail, salah satu kiai muda asal Betawi. Dia menjelaskan, sebaik-baiknya nama adalah yang menggunakan bahasa Arab. Hal ini dia terangkan bukan karena Islam identik dengan Arab. Identifikasi ini lebih pada karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan seluruh manusia ketika menjalani tahap-tahapan kehidupan di akhirat.
“Konon di Yaumul Hisab nanti, pertama kali nama yang dipanggil adalah kelompok nama manusia yang menggunakan bahasa Arab,” ceritanya ketika itu. Aku pun tidak mengelaknya, karena dia ulama muda yang telah banyak meng-khatamkan kitab-kitab ulama klasik.
Aku juga mendapat masukan dari salah satu teman yang sekarang aktif mengelola sebuah lembaga di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Dari kiai-nya, dia meriwayatkan, bahwa sebaiknya nama anak tidak diawali huruf: M, N, K, R. “Karena dari huruf-huruf itu terbentuk kata MUNKAR,” terangnya. Lebih jauh dia menerangkan, pemberian nama anak yang diawali huruf: A, D, F, M juga perlu dihindari. Karena menurut riwayat yang diceritakannya, anak dengan awalan huruf-huruf tersebut akan menjadi anak yang bandel.
Dari sumber kedua ini, sepenuhnya tak kuyakini. Mengambil sikap bijak dan niat baik menurutku adalah jalan memberi nama anak. Karena di dalam huruf “M” juga terkandung nama Muhammad, kekasih Allah Swt yang ucapan, sikap, dan perilakunya menjadi panutan umat Islam, bahkan diakui keluhurannya oleh umat agama lain. Akhirnya, aku dan istriku sepakat untuk tidak meyakininya. Karena terkadang, kondisi “mistik” bisa menjadi kenyataan sebab kita meyakininya. Jadi, yakin saja jika nama anakmu baik dan akan membawa kebaikan.
Itulah sepenggal ceritaku ketika sharing pemberian nama anak. Aku dan istriku sedari dulu sepakat dengan nama yang simple, mudah diingat, tidak terlalu panjang, tetapi sarat makna. Sebelumnya, kami sendiri sudah mengetahui jenis kelamin bayi kami berdasarkan pemeriksaan Ultra Sonoghraphy (USG), yaitu laki-laki. Lagi-lagi, kami pun tak seratus persen meyakini hasil pemeriksaan USG, karena masih ada Yang Maha Penentu Segala-galanya. Kendati demikian, kami pun tak sepenuhnya menolak hasil USG tersebut.
Sebab itu, kami pun menyiapkan nama bayi, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun keyakinan kami jatuh pada jenis kelamin laki-laki. Kami sepakat memberi nama anak kami dengan panggilan “Azmi”, yang secara leksikal mempunyai makna “Berhati Teguh”. Dengan demikian, kami tinggal mencari pasangan kata yang tepat untuk digandengkan dengan “Azmi”.
Kami hanya akan memberi nama anak kami cukup dengan dua kata. Akhirnya, kami pun menemukan kata “Jazril” sehingga kami sepakat memberi nama anak kami, “Jazril Azmi”. “Jazril” berasal dari kata “Azril” yang mempunyai arti “Baik, Sempurna, Pemaaf”. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab. Jadi, untuk anak kami, sebut saja artinya, “Hamba Allah berhati teguh, baik, dan pemaaf”.
Azmi, senyum dan tertawanya
Sedari awal lahir, Azmi membuat kami tenang sebagai orang tua. Setelah oak-oak beberapa saat usai ‘mbrojol’, Azmi langsung tenang ketika disapih dan dibersihkan. Aku pun terharu dan bergetar saat meng-adzani dan meng-iqomat-kannya. Dia tidak ‘rewel’, baik ketika dimandikan, diganti bajunya, maupun saat dibersihkan ketika pipis dan buang air besar.
Dalam penglihatan seorang ayah, Azmi sangat kokoh secara lahir dan sering membuat kami tertawa dengan tingkahnya meski sampe sekarang dia baru berumur dua minggu. Ketika ‘berinteraksi’ dengannya, kami sering melihat dia senyum bahkan tertawa lebar meski tanpa suara. Itu sudah cukup membuat kami untuk terus menciumi pipinya yang terlihat berlesung.
Azmi kokoh, karena kami sering melihatnya bergerak aktif dan ‘ngulet’. Ngulet lazim dilakukan orang dewasa ketika baru bangun dari tidur. Pergerakan ini telah dia lakukan dengan berbagai style gerakan. Dia kuat melakukan gerakan-gerakan tersebut hingga kami kerap melihat raut mukanya memerah sebab banyak mengeluarkan tenaga. Kami tak habis pikir dengan umur yang sepenuhnya belum genap dua minggu tetapi sudah mampu mengeluarkan banyak tenaga untuk melakukan berbagai gerakan.
Dengan kondisi demikian, kami meyakini Azmi akan tumbuh dengan baik dan optimal, baik secara jasmani, juga semoga rohaninya, baik secara lahir dan semoga batinnya. Nak, kami sangat bahagia, selamat bertumbuh. ***
Bantarkawung, Brebes, 5 Oktober 2015
Foto: Jazril Azmi dengan berbagai ekspresinya.
Anak pertamaku ini lahir tanggal 25 Oktober 2015 di Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Aku sangat bersyukur karena istriku, Ummi Khoirunnisa melahirkan dengan normal. Dua-duanya pun dalam kondisi sehat. Tak bisa dipungkiri, kondisi normal tersebut tercapai karena usaha spiritual yang tidak bisa kami tinggalkan sebagai makhluk Tuhan selain ikhtiar mental maupun material. Semua ikhtiar tersebut penting untuk menciptakan kondisi ideal saat melahirkan tiba.
Enam hari sejak kelahiran, Jumat (30/10/2015) anakku “puput”. Puput merupakan kondisi dimana tali pusar telah putus sehingga bayi sudah lazim untuk di-slameti sekaligus memberikan nama secara ‘resmi’. Memberikan nama adalah salah satu tahapan yang mestinya sudah dipersiapkan oleh orang tua sehingga saat waktunya tiba, orang tua tidak bingung dengan pemberian nama kepada bayi.
Namun demikian, ilmu dan masukan untuk memberi nama perlu juga dilakukan oleh orang tua kepada para kiai atau orang ‘alim lain. Selain mendapatkan nama dengan makna bagus, hal ini juga dilakukan agar nama yang disematkan kepada bayi mendatangkan keberkahan untuk orang tuanya.
Misal, seperti masukan teman karibku, Muhammad Yusuf Ismail, salah satu kiai muda asal Betawi. Dia menjelaskan, sebaik-baiknya nama adalah yang menggunakan bahasa Arab. Hal ini dia terangkan bukan karena Islam identik dengan Arab. Identifikasi ini lebih pada karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan seluruh manusia ketika menjalani tahap-tahapan kehidupan di akhirat.
“Konon di Yaumul Hisab nanti, pertama kali nama yang dipanggil adalah kelompok nama manusia yang menggunakan bahasa Arab,” ceritanya ketika itu. Aku pun tidak mengelaknya, karena dia ulama muda yang telah banyak meng-khatamkan kitab-kitab ulama klasik.
Aku juga mendapat masukan dari salah satu teman yang sekarang aktif mengelola sebuah lembaga di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Dari kiai-nya, dia meriwayatkan, bahwa sebaiknya nama anak tidak diawali huruf: M, N, K, R. “Karena dari huruf-huruf itu terbentuk kata MUNKAR,” terangnya. Lebih jauh dia menerangkan, pemberian nama anak yang diawali huruf: A, D, F, M juga perlu dihindari. Karena menurut riwayat yang diceritakannya, anak dengan awalan huruf-huruf tersebut akan menjadi anak yang bandel.
Dari sumber kedua ini, sepenuhnya tak kuyakini. Mengambil sikap bijak dan niat baik menurutku adalah jalan memberi nama anak. Karena di dalam huruf “M” juga terkandung nama Muhammad, kekasih Allah Swt yang ucapan, sikap, dan perilakunya menjadi panutan umat Islam, bahkan diakui keluhurannya oleh umat agama lain. Akhirnya, aku dan istriku sepakat untuk tidak meyakininya. Karena terkadang, kondisi “mistik” bisa menjadi kenyataan sebab kita meyakininya. Jadi, yakin saja jika nama anakmu baik dan akan membawa kebaikan.
Itulah sepenggal ceritaku ketika sharing pemberian nama anak. Aku dan istriku sedari dulu sepakat dengan nama yang simple, mudah diingat, tidak terlalu panjang, tetapi sarat makna. Sebelumnya, kami sendiri sudah mengetahui jenis kelamin bayi kami berdasarkan pemeriksaan Ultra Sonoghraphy (USG), yaitu laki-laki. Lagi-lagi, kami pun tak seratus persen meyakini hasil pemeriksaan USG, karena masih ada Yang Maha Penentu Segala-galanya. Kendati demikian, kami pun tak sepenuhnya menolak hasil USG tersebut.
Sebab itu, kami pun menyiapkan nama bayi, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun keyakinan kami jatuh pada jenis kelamin laki-laki. Kami sepakat memberi nama anak kami dengan panggilan “Azmi”, yang secara leksikal mempunyai makna “Berhati Teguh”. Dengan demikian, kami tinggal mencari pasangan kata yang tepat untuk digandengkan dengan “Azmi”.
Kami hanya akan memberi nama anak kami cukup dengan dua kata. Akhirnya, kami pun menemukan kata “Jazril” sehingga kami sepakat memberi nama anak kami, “Jazril Azmi”. “Jazril” berasal dari kata “Azril” yang mempunyai arti “Baik, Sempurna, Pemaaf”. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab. Jadi, untuk anak kami, sebut saja artinya, “Hamba Allah berhati teguh, baik, dan pemaaf”.
Azmi, senyum dan tertawanya
Sedari awal lahir, Azmi membuat kami tenang sebagai orang tua. Setelah oak-oak beberapa saat usai ‘mbrojol’, Azmi langsung tenang ketika disapih dan dibersihkan. Aku pun terharu dan bergetar saat meng-adzani dan meng-iqomat-kannya. Dia tidak ‘rewel’, baik ketika dimandikan, diganti bajunya, maupun saat dibersihkan ketika pipis dan buang air besar.
Dalam penglihatan seorang ayah, Azmi sangat kokoh secara lahir dan sering membuat kami tertawa dengan tingkahnya meski sampe sekarang dia baru berumur dua minggu. Ketika ‘berinteraksi’ dengannya, kami sering melihat dia senyum bahkan tertawa lebar meski tanpa suara. Itu sudah cukup membuat kami untuk terus menciumi pipinya yang terlihat berlesung.
Azmi kokoh, karena kami sering melihatnya bergerak aktif dan ‘ngulet’. Ngulet lazim dilakukan orang dewasa ketika baru bangun dari tidur. Pergerakan ini telah dia lakukan dengan berbagai style gerakan. Dia kuat melakukan gerakan-gerakan tersebut hingga kami kerap melihat raut mukanya memerah sebab banyak mengeluarkan tenaga. Kami tak habis pikir dengan umur yang sepenuhnya belum genap dua minggu tetapi sudah mampu mengeluarkan banyak tenaga untuk melakukan berbagai gerakan.
Dengan kondisi demikian, kami meyakini Azmi akan tumbuh dengan baik dan optimal, baik secara jasmani, juga semoga rohaninya, baik secara lahir dan semoga batinnya. Nak, kami sangat bahagia, selamat bertumbuh. ***
Bantarkawung, Brebes, 5 Oktober 2015
Foto: Jazril Azmi dengan berbagai ekspresinya.
Klik Disini Untuk Membuka EmoticonTutup Lagi